Wanita itu lalu mengambil sekantong uang dari saku Pak Haji dan hendak membayar Holiang, tapi si Ncek tua itu menolaknya, "Halah, tidak usah wayal, Pak Haji telluka gala-gala owe, jadi yang owe lakukan hanya untuk menewus kesalahan owe!"
Holiang lalu bangkit, seakan baru tersadar dengan keadaan kedai yang berantakan ini ketika ia melihat si Bapak pemilik kedai dan putrinya menangis meratapi nasib apes mereka hari ini, Holiang lalu mengambil sekantong uang dari balik bajunya. "Bapak pemilik kedai, maaf owe sudah bikin kedai ini welantakan, ini telimalah walau tidak sebelapa untuk mempelbaiki kelusakan kedai ini." Si Bapak kedai itu menerima uang pemberian dari Holiang itu lalu berterima kasih pada si Ncek tua ini.
Jaya menarik nafas lega melihat semua sudah selesai, dia lalu melihat keluar, hujan sudah reda, maka ia pun pamit permisi, tapi segera ditahan oleh Holiang. "Tuan Pendekal tunggu!"
Jaya menoleh, "Ada apa Ncek?".
Holiang lalu mengajak Jaya jalan berbarengan "Haiya jangan tinggalin owe dulu, owe mau beltelima kasih kalena tuan sudah menolong owe, kalau tidak ada tuan tidak tahu nasib owe bagaimana."
Jaya tersenyum lalu merendah "Ah Ncek bisa saja, sama-sama Ncek, bukankah sesama manusia kita mesti saling menolong."
"Tuan jika anda belkenan saya ingin minta tolong satu hal lagi." ucap Holiang.
"Kalau saya sanggup, Insyaallah saya akan berkenan menolong Ncek." jawab Jaya.
"Owe wenal-wenal khawatil sama nasibnya Julagan Kalta setelah empat begundal tadi masuk ke desa ini, Julagan Kalta adalah saudagal telholmat yang mullah hati yang senang menolong lakyat-lakyat yang membutuhkan!"
Jaya agak heran dengan ucapan si Ncek, "Juragan Karta? Bukankah yang dicari keempat begundal tadi bernama Gundala?"
Holiang menepuk-nepuk keningnya sendiri. "Haiya owe lupa! Julagan Kalta itu dulunya belnama Gundala, owe khawatil meleka belempat hendak menculi halta Julagan Kalta!"
Jaya menangguk-ngangguk. "Oh jadi Gundala itu adalah Juragan Karta? Dimanakah rumah beliau?"
Holiang menunjuk ke atas puncak bukit, "Lumahnya Julagan ada di puncak wukit itu… Kita halus menolongnya sebab keempat begundal itu benal-benal jahat! Dua hali yang lalu desa sebelah dioblak-ablik meleka, wanyak kolban tak beldosa!"
Jaya mengangguk-ngangguk, "Ya mereka harus dihentikan" tapi kemudian dia jadi penasaran pada motif si Ncek ini "Oya kenapa Ncek ingin menolong Juragan Karta?"
Holiang tertawa cengengesan. "Julagan Kalta olang baik, musti ditolong, dia yang bayalkan setiap walga desa yang tidak mampu buat bayal obat owe"
Jaya menyeringai, "Oh jadi alasan ncek menolong Juragan Karta karena uang?"
Holiang mengangguk "Itu salah satunya, tapi kau pasti akan mengelti begitu beltemu dengan Julagan Kalta"
Si Ncek juga merasa perlu menjelaskan sesuatu pada Jaya, "Tapi tuan pendekal jangan salah duga juga, owe mau mengobati siapa saja, yang kaya ataupun yang miskin, yang mampu silakan bayal, yang tidak mampu tidak usah bayal, hanya kebetulan Julagan Kalta olang yang sangat baik, beliau dengan senang hati membayalkan obat bagi meleka yang tidak mampu." jelas Holiang, Jaya pun mengangguk.
Mereka terus berjalan hingga tibalah mereka di tepi sungai yang sedang pasang akibat hujan deras tadi. "Hmm… Sungainya sedang pasang, Ncek bisa menyebrang?" Tanya Jaya.
Holiang tidak langsung menjawab, dia mengeluarkan sebuah kain panjang dari buntelan yang ia bawa, ia lalu mengambil sebongkah batu kali besar, sambil bernyanyi-nyanyi lagu mandarin, dia mengikatkan batu itu dengan kainnya dan melilikan kain itu ke tubuhnya. "Jago-jago Kungfu di Tiongkok tidak memellukan pelahu untuk menyeblang!" ia memutar-mutarkan batu itu di udara dan melemparkannya ke sebrang, tubuh tua si Ncek itu melayang mengikuti batu itu menyebrang ke tepi sungai!
Jaya kagum melihat cara menyebrang si Ncek itu, "Ilmu meringankan diri orang tua itu sangat sempurna!" gumamnya dalam hati.
"Woi Tuan Pendekal, sekalang gililan Tuan Pendekal menyebrang menggunakan ilmu silat tuan!" teriak Holiang dari sebrang sungai.
Jaya pun melompat ke tengah sungai, kakinya menotol air sungai yang sedang pasang itu bagaikan menotol daratan saja. Dua kali kakinya menotol air sungai sebagai piJayan untuk menyebrang, sampailah ia disebrang sungai, Holiang berdecak kagum melihat cara Jaya menyebrang sungai. "Haiya cala menyeblang Tuan Pendekal benal-benal hebat! Ilmu melingankan dili Tuan sudah sangat sempulna!"
Jaya pun balas memuji Holiang, "Ah ilmu meringankan diri Ncek juga sangat hebat, cara Ncek menyebrang kemari sungguh mengagumkan!" balas Jaya. "Ilmu bela diri Ncek juga hebat, tadi saya sempat melihat ilmu bela diri Ncek, gerakan-gerakannya sangat ringan, nampak tak bertenaga tapi sangat cepat dan sangat bertenaga!" lanjutnya.
"Bela dili di Tiongkok namanya Kungfu. Julus owe tadi namanya Taichi, Julus yang paling dasal dali ilmu kungfu, Taichi memanfaatkan tenaga lawan sehingga semakin besal tenaga lawan, semakin hebat efek Taichi pada tubuhnya!"
Jaya menngangguk-ngangguk, "Memanfaatkan tenaga lawan? Hebat sekali Taichi itu Ncek."
Holiang tertawa lebar. "Tapi Ilmu Silat tanah pasundan juga hebat-hebat, banyak yang ajaib dali ilmu silat Pasundan! Tadi owe menyaksikan sendili bagaimana hebatnya ilmu silat Tuan Pendekal yang bisa membekuk keempat begundal itu dengan mudah!"
Jaya jadi merasa tidak enak dengan pujian itu "Ah ilmu Ncek juga luar biasa… Nampaknya semua ilmu bela diri mempunyai keunikannya tersendiri sesuai dengan budaya tempat mereka dilahirkan"
Holiang mengacungkan jempolnya "Owe setuju! Itu tepat sekali Tuan Pendekal!"
Mereka asyik mengobrol tentang ilmu bela diri selama perjalanan ke rumah Juragan Karta, dari obrolan tersebut tahulah Jaya bahwa Holiang adalah seorang Tabib ahli pengobatan dari perguruan Kungfu Wudang di Tiongkok, ia mengembara sampai ke Pasundan untuk mengamalkan ilmu pengobatannya, ia sudah sepuluh tahun mengembara di Bumi Parahyangan ini berkeliling untuk mencari orang yang membutuhkan pengobatannya, hingga akhirnya sampai di Kaki Gunung Tangkuban Perahu dan bertemu dengan Juraga Karta yang memintanya untuk mengobat warga-warga desa yang tidak mampu.
Menjelang Bada Ashar, sampailah mereka di sebuah gedung terpencil yang ada diatas bukit ini, meskipun sudah hampir senja, tapi keadaan gedung itu masih ramai, kereta-kereta yang mengangkut hasil bumi nampak keluar masuk ke gedung itu, beberapa warga desa yang membutuhkan bantuan Sang Juragan pun nampak mengantri untuk mendapatkan bantuan bahan pokok.
Tapi yang menarik perhatian Jaya dan Holiang adalah banyak sekali pengemis yang berdatangan ke gedung itu. Pakaian mereka seragam, semuanya berbaju kumal sobek-sobek, menggunakan topi caping lebar yang sudah rusak, di punggungnya ada gulungan caping bambu, dan semuanya membawa tongkat kayu, gerakan mereka sungguh ganjil. "Minta sedeqahnya Tuan, agar perjalanan tuan di alam Baqa mudah!" ucap mereka semua, beberapa pengawal Juraga Karta segera menindak mereka, tapi rupanya mereka bukan pengemis-pengemis sembarangan, dengan mudah mereka membunuh pengawal-pengawal Juragan Karta! Pertumpahan darah pun langsung terjadi!