Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 44 - Tabib Dari Tionggoan (3)

Chapter 44 - Tabib Dari Tionggoan (3)

"Haiya! Lagi-lagi geombolan pengemis dali Bukit Tunggul! Meleka selalu mengganggu ketenangan Julagan Kalta!" maki Holiang.

"Gerombolan Pengemis Dari Bukit Tunggul? Mengapa mereka menurunkan tangan jahatnya pada orang-orang juragan Karta?" Tanya Jaya.

"Meleka adalah olang-olang kolban pelang dan kolban pajak yang telampau tinggi di Mega Mendung ini! Entah bagaimana meleka jadi suka melampok dali olang-olang yang belada, Haiya! Padahal Julagan Kalta belsedia membantu meleka tapi meleka malah lebih memilih belbuat onal ha!" jelas Holiang.

Pertumpahan darah di luar gedung Juragan Karta itu semakin hebat membuat Jaya menjadi khawatir. "Kedua belah pihak adalah mereka yang pahit hidupnya, yang satu hanya orang kecil yang harus melindungi majikannya, yang satu korban kekejaman para penguasa! kita harus mencegah pertumpahan darah lebih lanjut!" tegas Jaya, Holiang pun setuju, mereka berdua melayang lalu turun ditengah-tengah perang campuh itu untuk melerai. "Hentikan! Hentikan pertumpahan darah yang sia-sia ini!" bentak Jaya.

Tetapi gerombolang pengemis itu malah bergerak mengerubungi Jaya dan Holiang sambil mulutnya tak henti-henti bersuara, "Beri kami sedeqah tuan… Beri kami sedeqah tuan, agar perjalanan tuan kea lam baza dimudahkan!"

Mau tak mau Jaya dan Holiang pun terpaksa mengahalau mereka, angin deras berseorang dari setiap gerakan Jaya membuat tubuh para pengemis itu berpelantingan bagaikan daun-daun yang berguguran! Tubuh-tubuh yang terkena pukulan maupun tendangan Jaya langsung muntah darah akibat hebatnya tenaga dalam yang terkandung dalam setiap gerakan Jaya, hingga suatu bentakan bergema menghentikan mereka semua "Hentikan!"

Sesosok tubuh ramping melompat kehadapan Jaya, ia mengenakan pakaian kumal sobek-sobek serba biru dan wajahnya ditutupi cadar butut yang berwarna biru pula "Sungguh hebat orang-orang kaya seperti kalian, membantai orang-orang miskin seperti kami bagaikan memotong rumput liar!" sarkasnya.

Meskipun suara itu terdengar samar dan serak akibat diiringi dengan tenaga dalam, tapi Jaya dapat menebak kalau orang dibalik cadar itu adalah seorang perempuan, samar-samar ia juga mencium bau belerang di antara bau asam dan apek dari tubuh perempuan itu yang cukup menyengat, Jaya juga dapat mengetahu kalau dari logat bicaranya ia bukan orang dari Pasundan, logat bicaranya seperti logat pesisir utara Jawa. "Kami tidak hendak membantai kalian, kami hanya membela diri mempertahankan nyawa kami dari serangan kalian!" jawab Jaya.

Si perempuan bercadar yang masih menyamarkan suaranya itu tertawa terbahak-bahak, "Hahaha! Ya kalian pantas mempertahankan nyawa kalian dari kami sang pengadil sebab kalianlah yang membuat hidup kami menderita!"

Jaya tertawa sinis mendengarnya, "Sang pengadil? Hehehe… Benar-benar klaim sepihak yang tak masuk akal, bagaimana mungkin kami membuat kalian menderita? Kenal saja tidak!"

Si perempuan bercadar itu mendengus marah, "Jangan banyak omong! Rasakan!" dia langsung menerjang Jaya, Jaya pun langsung meladeninya, Jaya cukup terkejut meladeni silat perempuan ini, ilmu silatnya cukup tinggi dan beberapa kali mengancam Jaya, maka Jaya pun tak sungkan-sungkan meladeninya dengan jurus-jurus andalan dari padepokan Sirna Raga.

Beberapa jurus berlangsung seru, hingga pada suatu ketika Jaya merasakan angin panas yang keluar dari kedua telapak tangan si perempuan bercadar, jika telapak tangan berhasil mengenai Jaya pasti celakalah pemuda ini, hingga pada suatu kesempatan si perempuan bercadar melancarkan pukulan jarak jauhnya, satu larik sinar berwarna putih disertai angin panas menggubu dahsyat! Jaya berhasil menghindarinya, pohon dibelakang Jaya yang menjadi sasaran pukulan itu hangus terbakar itulah kehebatan jurus pukulan "Telapak Kawah Tunggul"!

Holiang yang melihat pukulan itu segera mengingatkan Jaya, "Tuan Pendekal, hati-hati! Itu Pukulan Telapak Kawah Tunggul! Pukulan itu mengandung racun belerang dan sangat berbahaya!"

Si perempuan bercadar itu tertawa sambil menoleh ke arah Holiang "Jadi kau tahu pukulan itu? Bagus kalau begitu bersiap-siaplah mati!"

Akan tetapi Jaya berkata lain, "Nona sebaiknya kita hentikan pertikaian tidak jelas juntrungannya ini! Kalau Nona dan kawan-kawan Nona hendak meminta sedeqah pada Juragan Karta, saya yakin juragan akan bermurah hati memberikannya untuk kalian!"

Semua yang ada di sana kaget ketika Jaya menyebut orang bercadar itu dengan sebutan nona, gerombolan pengemis itu pun kaget, Si perempuan bercadar ini yang paling kaget sebab ia tidak mengira Jaya dapat menebak kalau ia seorang perempuan, murkalah ia. "Bangsat! Memangnya kenapa kalau aku wanita?! Apa kau kira aku akan bersikap lemah hanya karena aku seorang wanita?!" bentaknya yang kini terdengar jelas itu suara seorang wanita.

"Aku tidak bermaksud untuk meremehkanmu hanya karena kamu seorang wanita Nona, aku hanya ingin kita sudahi pertikaian tak berarti ini!" jawab Jaya.

"Diam bedebah!" bentak perempuan itu yang lalu mengamuk sejadi-jadinya hingga membuat Jaya kewalahan, sebenarnya Jaya sudah hampir kepepet untuk mempertahankan dirinya dan terpaksa harus mencelakai perempuan itu ketika jurus bertahan "Empat Gunung Berbaris Delapan Bukit Melintang" yang ia dapat dari Kyai Pamenang dapat dijebol amukan perempuan itu, tapi Jaya tidak ingin mencelakai lawannya itu, maka ia mencari kesempatan untuk menotok lawannya, pada suatu kesempatan Jaya berhasil mendapatkan kesempatan untuk melepaskan totokan jarak jauh, dan selarik angin berhasil menotok pangkal leher perempuan itu hingga ia tidak dapat bergerak!

"Laki-laki pengecut! Hanya becus main totok saja!" makinya marah sekali.

"Nona sudahlah! Ayo kita sudahi pertikaian tak berarti ini, sudah banyak korban di antara kedua belah pihak!" ucap Jaya.

"Diam! Kau dan kalian semua mana tahu penderitaan kami?! Bagaimana sakitnya hidup kami!" teriak histeris perempuan itu.

Jaya dapat mengetahui kalau perempuan bercadar itu menangis dari suaranya. "Maaf, aku memang tidak tahu Nona, tapi mengapa kalian melakukan ini sebagai pembenar dari derita yang kalian dapatkan?" Tanya Jaya.

Gerombolan pengemis itu langsung mengepung Jaya dengan tatapan penuh nfasu membunuh dan tekad siap mati, tapi tiba-tiba si perempuan bercadar itu menjerit, ia dapat meloloskan diri dari totokan Jaya hingga tubuhnya bisa bergerak kembali, ia lalu memberi isyarat agar kawan-kawannya mundur, dia lalu menatap Jaya dengan tajam. "Hei kau laki-laki sombong! Baiklah hari ini kami mengalah! Tapi ingatlah, selama langit masih biru, nyawamu tidak akan lolos dariku Si Dewi Pengemis dari Bukit Tunggul dan kami Gerombolan Pengemis Bukit Tunggul! Ingat itu baik-baik!" mereka semua pun pergi meninggalkan tempat itu.