Keesokan tengah malam harinya, cuaca malam itu sangat dingin mencucuk tulang, angin bertiup kencang berseoran menimbulkan suara yang menggidikan bagaikan menggetarkan rumah-rumah penduduk di sekitar Kutaraja Rajamandala, bulan purnama bersinar kelabu tidak putih seperti biasanya, cahanya sangat pucat sehingga nampak kelabu, bintang-bintang seakan enggan bersinar, hewan-hewan malam enggan bersuara, yang terdengar hanya lolongan anjing srigala dan kaokan burung-burung gagak hitam yang sekonyong-konyong berterbangan diatas keraton Mega Mendung.
Didalam kamar tamu kehormatan keraton Mega Mendung, Prabu Karmasura terbangun dari tidurnya. Tubuh pria paruh baya tersebut bermandikan keringat, sungguh aneh di tengah malam yang dinginnya sangat hebat hingga menusuk sumsum itu sang Prabu malah kegerahan, istrinya sendiri Permaisuri Wahyusih tidur dengan dilapisi beberapa selimut untuk menangkal dinginnya hawa malam itu. Sang Prabu sendiri merasa sangat aneh karena ketika dilihatnya semua orang di keraton seperti yang kedinginan.
Prabu Karmasura lalu membuka pakaiannya yang telah basah oleh keringatnya, kemudian dengan hanya memakai kain samping dan celana komprang ia berjalan keluar dari kamarnya untuk mencari angin di taman istana. Prabu Karmasura terus berjalan menuju ke air mancur di taman istana, ia lalu duduk di tepi kolam itu, saat itulah tiba-tiba angin yang terasa sangat panas namun pengap bertiup kencang menerbangkan debu-debu di sekitar taman itu. Ketika angin panas itu berhenti ia melihat ada sesosok mahluk yang sangat menyeramkan berdiri di bawah pohon besar yang ada di taman itu.
Bukan main kagetnya Prabu Karmasura melihat mahluk ghaib menyeramkan berbadan hijau tinggi besar yang wajahnya sangat buruk itu. Tampang mahluk ghaib berwarna hijau itu memang sangat menakutkan, saking menakutkannya hingga membuat Prabu Karmasura tidak bisa menggerakan tubuhnya! Mahluk itu menyeringai sambil menatap tajam pada Prabu karmasura yang tidak dapat bergerak itu dengan matanya yang merah menyala bagaikan kobaran api, lalu meledaklah tawanya yang seolah menggetarkan seluruh keraton Mega Mendung!
Setelah puas tertawa, mahluk ghaib itu pun menghilang bagaikan kabut pagi yang dihalau mentari pagi. Prabu Karmasura pun dapat menggerakan tubuhnya kembali, ia lalu lari terbirit-birit dengan sangat ketakutan menuju kekamarnya. Tepat ketika ia membuka pintu kamarnya, ia merasa perutnya sangat mual, ia pun muntah, tapi yang dimuntahkannya adalah darah beserta bunga tujuh rupa, kemenyan, paku hitam, dan ulat-ulat bulu! Kontan seisi istana Mega Mendung pun menjadi gempar oleh sebab kejadian tersebut. Berbagai dukun, tabib, serta orang-orang sakti dari Mega Mendung, Pasir Wangi dan seluruh pelosok wilayah Pasundan dipanggil untuk mengobati penyakit Prabu Karmasura yang aneh itu.
Dua hari kemudian, ketika matahari tenggelam, Prabu Karmasura yang tertidur dari tadi siang karena kelelahan menahan sakit, terbangun dari tidurnya, dia lalu berteriak-teriak tidak jelas, dan mengamuk sejadi-jadinya, merusak apa saja yang berada di hadapannya, kacau balaulah kamar tamu kehormatan di Keraton Mega Mendung itu, seisi keraton gempar.
Mega Sari dan Prabu Kertapati berpura-pura panik mendapati kesurupannya Prabu Karmasura itu, seorang dukun dari Gunung Ceremai segera turun tangan, dengan disiram air mantra kembang tujuh rupa, Prabu Karmasura pun jatuh pingsan, beberapa prajurit segera menggotong tubuh Prabu Karmasura kembali ke kamarnya.
Keesokan tengah malamnya, kembali terjadi keanehan di keraton Mega Mendung. Hawa di keraton itu mendadak menjadi sangat panas dan gerah, padahal Kutaraja Rajamandala yang terletak di kaki Gunung gede adalah kota yang mempunyai curah hujan yang sangat tinggi, maka udara di kota ini biasanya terasa dingin apalagi saat malam hari, dinginnya sampai mencucuk ke tulang sumsum, tetapi setiap malam udaranya menjadi panas gerah bahkan jauh lebih panas daripada siang hari!
Saat itu terdengar lolongan anjing srigala yang saling bersahutan dengan kaokan Gagak hitam dan suara burung hantu yang menegangkan bulu roma bagi siapa saja yang mendengarnya, kuda-kuda serta hewan-hewan lain di keraton nampak gelisah dan saling meringkik.
Dharmadipa yang bathinnya cukup awas ini menjadi gelisah, sejak kejadian beberapa malam yang lalu saat Prabu Karmasura mulai mengalami sakit yang aneh, suasana di keraton bagian kestariaan tempat kamar tamu agung Prabu Karmasura menginap menjadi aneh, suasananya selalu mencekam terutama saat matahri mulai terbenam, hawa panas dan pengap pun kerap terjadi di keraton kesatriaan ini.
"Hmm… Sepertinya ada yang tidak beres!" pikirnya, dengan penuh penasaran ia pun turun dari tempat tidurnya dan mengambil Keris Pusakanya, kemudian ia keluar dari kamarnya. Pemuda ini memperhatikan keadaan disekitar kesatriaan, ketika dilihatnya ketas langit, kawanan burung gagak hitam berterbangan mengitari kesatriaan. "Apakah ini teluh? Menurut cerita guru, teluh itu ada bermacam-macam dan bisa berwujud apa saja, kadang-kadang bisa berwujud gagak hitam seperti itu atau bisa langsung mewujud mahluk ghaib yang tak kasat mata" pikirnya.
Pada saat itu datanglah Pangeran Munding Sura menghampiri Dharmadipa, Dharmadipa pun segera menjura hormat pada 'saingannya' itu, "Adi Tumenggung, apakah adi merasakan keanehan ini?" tanyanya.
"Iya saya dapat merasakannya raden" jawab Dharmadipa. "Saya yakin ini adalah teluh yang sangat ampuh raden," lanjutnya.
"Hmm… Padahal kami sudah menyewa Ki Tunggulaya dari Ceremai dan ia sudah memagari keraton ini dengan manteranya," ujar Mundingsura.
"Maaf Raden, tapi bagaimana dengan suasana ini? Dan saya sangat curiga dengan kawanan gagak hitam yang terbang diatas itu" tunjuk Dharmadipa keatas.
Pangeran Mundingsura pun memandang keatas kearah kawanan burung gagak hitam itu, "Raden, manusia terlalu dipengaruhi oleh keadaan akal dan pikiran, sehingga perasaannya selalu majal, untuk dapat menangkap sesuatu yang halus sifatnya." jelas Dharmadipa.
Pangeran Mundingsura mengangguk-ngangguk. "Aku setuju Adi Tumenggung, tapi siapakah pelakunya? Di Pasir Wangi tidak ada yang berani melawan kami… Mungkinkah ini teluh yang dikirim oleh Prabu Bojakerti dari Bojanegara karena ia tahu kita akan menyerbu negerinya?"
Saat itu, pembicaraan mereka terhenti ketika diatas langit mereka melihat ada bola api yang sangat terang melesat kearah atap kamar tamu yang ditempati Prabu karmasura, bola api itu masuk kedalam genteng kamar tersebut. Berbarengan dengan itu terdengarlah suara Prabu Karmasura yang menjerit-jerit! Pangeran Mundingsura dan Dharmadipa segera berlari memasuki kamar itu. "Aneh kenapa tidak ada prajurit yang melihatnya?" tanya Mundingsura.
"Maaf Raden, yang bisa melihatnya hanya mereka yang waskita, yang mempunyai kemampuan lebih!" jawab Dharmadipa sambil membuka pintu kamarPrabu Karmasura.
Alangkah terkejutnya Dharmadipa ketika melihat sesosok mahluk ghaib bertubuh tinggi besar berwarna hijau, bertaring, bertanduk, berwajah buruk, dengan bola mata merah yang menyala-nyala bagaikan bola api sedang mencekik-cekik Prabu karmasura! Nampaknya hanya ia sendiri yang berada di ruangan itu yang dapat melihat mahluk ghaib yang menyeramkan itu, maka ia pun membantu Pangeran Mundingsura dengan membacakan mantera ajian agar dapat melihat mahluk ghaib itu. Saat ia hendak bertindak, Ki Tunggulaya sang Dukun dari Gunung Ceremai segera menahannya, Sang Dukun langsung duduk bersila, bertafakur sambil mulutnya berkomat-kamit membaca mantera.
Aneh bin ajaib! Ruh Ki Dukun Tunggulaya berpisah dari tubuh kasarnya dan segera menyerang mahluk ghaib tersebut. Mahluk ghaib itu melepaskan cekikannya pada Prabu Karmasura lalu bertarung dengan Ki Tunggulaya, tapi pertarungan itu hanya terjadi sebentar saja, mahluk ghaib itu nampaknya jauh lebih sakti daripada Ki Dukun Tunggulaya, Dharmadipa melihat mahluk itu merobek dada dan mengorek jantung Ki Tunggulaya, seketika itu pula tubuh kasar Ki Tunggulaya yang sedang duduk bersemedi, muntah darah lalu jatuh tidak berkutik lag dengan mata melototi!
Dharmadipa segera mencabut Keris Pusaka Naga Putihnya, mahluk ghaib itu menatap Dharmadipa dengan mata yang menyala bagaikan kobaran api, mahluk itu lalu tertawa terbahak yang suara tawanya menggetarkan tempat itu, ia lalu menghilang lenyap entah ke mana!
"Adi Tumenggung, sebagai penanggung jawab keamanan keraton, aku perintahkan kamu untuk mengejar dan memusnahkan mahluk itu!" perintah Pangeran Mundingsura yang percaya akan kemampuan Dharmadipa setelah melihatnya mengalahkan Liman Wadag yang mengamuk saat hari pernikahannya.
"Baik Raden!" jawab Dharmadipa, dia pun mengacungkan Keris Pusakanya dan memakainya sebagai 'radar' untuk mencari keberadaan mahluk itu.
Sementara Prabu Karmasura terbangun dan langsung muntah darah yang disertai kembang tujuh rupa, belasan paku hitam, dan puluhan ulat-ulat bulu! "Rama Prabu! Rama tidak apa-apa?" Tanya Mundingsura.
"Tadi aku bermimpi ruang pusaka keraton Pasir Wangi diobrak-abrik dan dibakar oleh mahluk-mahluk ghaib yang mengerikan, mereka lalu mencekikku dengan rantai dan menyeretku mengelilingi keraton yang telah dilahap api!" jawab Prabu Karmasura dengan nafas terengah-engah.
"Sebaiknya Kakang Prabu tidak usah terlalu memikirkannya, itu hanya mimpi buruk!" ujar Dewi Wahyusih membesarkan hati suaminya
"Tidak bisa istriku, kalau hanya mimpi bagaimana dengan sakitku yang aneh ini? Aku mendapat firasat bahwa Wahyu Keprabuan Pasir Wangi telah lenyap…" keluh Prabu Karmasura.
Sementara itu, Dharmadipa terus berjalan mengikuti petunjuk dari Keris pusakanya hingga keluar dari keraton, terus hingga keluar dari kutaraja, ia terus berjalan ke arah barat hingga akhirnya ia sampai di gubug reyot yang berada di hutan luar Kutaraja tempat ia bertemu dengan Mega Sari tempo hari. "Aneh mengapa aku bisa sampai disini?" tanyanya pada diri sendiri, ia terdiam sesaat, lalu ia memutuskan untuk masuk kedalam gubug.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat Mega Sari dan seorang nenek bertampang menyeramkan yang ada didalam gubug itu yang sedang melakukan semacam ritual perdukunan "Mega Sari?!" desisnya tak percaya.
Mega Sari membalikan tubuhnya dan langsung melemparkan senyumnya pada Dharmadipa. "Kakang!" sahutnya.