Didalam sebuah rumah gubug di puncak gunung Tangkuban Perahu, seorang pemuda berambut gondrong yang mempunyai tanda luka diatas alis sebelah kanannya nampak tak sadarkan diri sedang direndam didalam sebuah gentong raksasa berisi air mendidih yang mengeluarkan bau aneh, hingga tak ubahnya pemuda itu nampak sedang direbus didalam sebuah gentong raksasa. Pemuda itu yang tak lain adalah Jaka mulai menggeliat merasakan kesakitan diseluruh bagian tubuhnya, perlahan matanya mulai membuka.
Perlahan kesadarannya mulai pulih, pandangan matanya mulai jelas, ia mendapati sedang berada didalam gentong raksasa, direndam semacam air panas yang mengeluarkan bau aneh hingga layaknya ia sedang direbus! "Ah air ini panas sekali, membuat seluruh tubuhku makin sakit! Ahhh… Apakah ini di Neraka? Apakah aku sedang disiksa di neraka?" rintihnya.
Jaka kemudian merintih menahan sakit disekujur tubuhnya, dan ternyata kedua tangannya terikat pada bagian telinga gentong raksasa itu, "Ah aku ingat, aku jatuh ke jurang setelah adu tanding dengan Kakang Dharmadipa, setelah itu pandanganku menjadi gelap semua aku tak ingat apa-apa lagi, tapi sekarang dimana aku?"
Tiba-tiba terdengarlah suara tawa seorang pria lanjut usia, suara tawa itu terdengar pelan saja dan halus, tapi seolah menggetarkan tempat itu, membuat jantung Jaka pun berdegup kencang, "Apakah ia seorang malaikat yang bertugas menyiksaku?" tanya Jaka.
"Hehehe… Aku bukan seorang malaikat, aku manusia biasa, dan tempat ini masih berada diatas muka bumi, di alam fisik manusia," jawab orang tua yang tiba-tiba muncul dihadapan Jaka tanpa Jaka sadari kehadirannya. Orang tua itu bertubuh tinggi kurus, rambutnya yang panjang serta kumis janggutnya telah memutih, ia memakai sorban dan jubbah biru tua serta berpakaian dan bercelana putih, wajah orang tua itu nampak klimis.
Orang tua itu tersenyum pada Jaka, tapi senyumnya terlihat sangat menakutkan bagi Jaka, baru kali ini ia merasa gentar melihat wajah seorang tua seperti orang tua yang ada dihadapannya itu, pancaran wajahnya sangat berbeda dengan Kyai Pamenang yang menyejukan hati itu, pancaran wajah orang tua ini sangat angker! Namun begitu Jaka memberanikan diri bertanya, "Kalau begitu mengapa engkau menyiksaku sedemikian rupa orang tua? Apa salahku padamu?"
Si Orang Tua itu menyeringai, "Hahaha… Sungguh pemuda tak berbudi, kau langsung menuduhku yang macam-macam!"
Jaka heran dengan ucapan orang tua itu, "Kalau kau tidak menyiksaku, kenapa kau merebusku begini? Seluruh tubuhku sakit terasa oleh air aneh ini! Apalagi kau juga mengikat tangan dan kakiku!"
Orang tua itu mencelupkan tangannya ke air mendidih yang merendam seluruh tubuh Jaka dari leher ke bawah, "Ini adalah air belerang yang aku ambil dari curug Jodo tempat Sangkuriang bertemu dengan Dayang Sumbi, sumber mata air panas itu mengandung belerang di bawah puncak gunung ini yang sangat berkhasiat untuk menyembuhkan luka luar, aku mencampurnya dengan ramuan obat-obatan untuk mengobati luka luar dalammu, uap dari air belerang campur ramuan ini juga dapat mengobati luka dalammu, itulah mengapa aku merendam seluruh tubuhmu dalam gentong ini, aku sengaja mengikat kaki dan tanganmu agar kau tidak banyak gerak supaya obat ini bisa lebih cepat merasuk kedalam tubuhmu!" jelas si orang tua.
"Ini adalah ramuan obat? Jadi kau sedang mengobatiku bukan menyiksaku?" Tanya Jaka.
"Benar, aku menemukanmu tiga hari yang lalu didasar jurang Tangkuban Perahu ini dengan sekujur tubuh penuh luka, maka aku rendam kamu dalam air belerang ramuan obat ini!" jawab orang tua itu.
"Astagfirullah… Maafkan aku orang tua, aku sudah menuduhmu yang bukan-bukan, aku juga mengucapkan terimakasih sudah menolongku," sesal Jaka.
Si orang tua tertawa mengkehkeh, "Jangan salah sangka anak muda, menolong sesama adalah kewajiban semua manusia jadi aku tidak butuh terimakasihmu, aku juga sudah memaafkanmu, hanya saja lain kali kau jangan pernah lagi menuduh orang sembarangan, curiga boleh untuk waspada tapi hati-hatilah dengan mulutmu, jangan sampai kau menuduh orang sembarangan karena dapat menimbulkan fitnah! Camkan itu baik-baik anak muda!"
"Baik orang tua, aku akan mengingatnya baik-baik" angguk Jaka.
Jaka lalu memperhatikan orang tua dihadapannya itu, dia mengingat-ngingat rasa-rasanya ia pernah melihat orang tua itu mengunjungi Kyai Pamenang, "Tunggu, sepertinya kita pernah bertemu orang tua, aku pernah melihatmu berkunjung ke Padepokan Sirna Raga di Tagok Apu! Orang tua, namaku Jaka Lelana, aku murid Kyai Pamenang dari padepokan Sirna Raga, kau pernah menonton pertandinganku melawan Kakang Dharmadipa bukan?"
Si orang tua menyeringai kecil "Akhirnya kau ingat anak muda, aku adalah sahabat gurumu, dan aku berkunjung saat seluruh murid-murid di padepokan itu bertanding unjuk kebolehan yang diadakan oleh Kyai Pamenang."
Jaka menangguk-ngangguk "Ya… mohon maaf aku terlambat mengingatmu eyang, kalau tidak salah nama Eyang adalah Kyai Supit Pramana bukan?" si Orang Tua yang bernama Kyai Supit Pramana itu menangguk perlahan sambil tersenyum.
Ingatan Jaka pun melayang pada peristiwa beberapa tahun silam, saat ia dan Dharmadipa masih kecil, ketika itu Kyai Pamenang mengadakan semacam pertandingan silat antara murid-muridnya, ia juga mengundang beberapa tokoh dan para sahabatnya, beberapa tokoh silat golongan putih dan para ulama terkemuka dari Pasundan dan Jawa (Wilayah Kesultanan Demak) datang sebagai tamu undangan, termasuk Kyai Supit Pramana, Kyai yang dulunya punya pesantren besar di wiliayah Subang yang entah mengapa ia tinggalkan, kemudian ia menyepi di Gunung Tangkuban Perahu.
Saat itu ada seorang anak yang menyita perhatian Kyai Supit Pramana, anak kecil itu begitu sopan dan pandai merendah, bahkan kalau tidak dipaksa oleh gurunya untuk naik ke panggung pertandingan, ia tidak mau bertanding. Anak itu adalah Jaka Lelana. Saat itu gurunya memilihkan Dharmadipa sebagai lawan tandingnya, mereka pun bertanding dengan serunya. Saat itu Jaka lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh sehingga gerakannya lebih cepat, ia memilih untuk lebih banyak menghindar, sementara Dharmadipa lebih unggul dalam hal tenaga dalam dan tenaga luar kian bernafsu menyerang Jaka. Pada suatu kesempatan Dharmadipa berhasil mengirimkan serangan beruntun yang membuat Jaka terlempar jatuh dari panggung pertandingan.
Sambil memegang dadanya yang sesak Jaka bangkit dari jatuhnya, ia lalu mengelap darah yang mengucur dari sela-sela bibirnya, sementara Dharmadipa merayakan kemenangannya dengan jumawa dan penuh rasa bangga diatas panggung. Jaka keluar meninggalkan tempat itu. Jaka lalu merenung di bawah sebuah pohon yang rindang, saat itulah tiba-tiba ada seorang tua menghampirinya, "Kau kecewa karena kekalahanmu?" tanyanya.
Jaka terkejut melihat tiba-tiba ada seorang tua berada dihadapannya, ia sama sekali tidak melihat, mendengar, atau merasakan kehadirannya, "Benar saya kecewa, tapi saya lebih kecewa lagi karena harus bertanding dengan Kakang Dharmadipa."
Orang tua itu bertanya lagi, "Namamu Jaka Lelana bukan? Kenapa? Bukankah pertandingan itu bagus untuk mengukur seberapa jauh ilmu kita."
Jaka menghela nafasnya, "Benar, tapi menurut apa yang saya pahami tentang ilmu bela diri, kita malah harus menghindari sebuah pertarungan, akan tetapi kalau sudah bertarung kita harus menang! Dan saya kalah, sebab saya sudah tahu tidak akan bisa menang dari Kakang Dharmadipa."
"Kenapa kau sudah yakin tidak akan menang dari saudaramu itu?" Tanya Kyai Supit Pramana.
"Sebab tenaga luar dan dalamnya jauh lebih unggul daripada saya," jawab Jaka.