Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 34 - Bisikan Iblis (1)

Chapter 34 - Bisikan Iblis (1)

Di keraton Mega Mendung di Rajamandala, tampak sedang ada keramaian. Rombongan keluarga Keraton Pasir Wangi sebuah negeri kecil yang terletak di pantai selatan Pasundan telah tiba di Keraton Mega Mendung. Prabu Kertapati pun meyambut kehadiran Prabu Karmasura dan Pangeran Munding Sura yang henak melamar Mega Sari.

Alangkah kecewanya hati Mega Sari mendapati ayahnya telah menerima pinangan dari Raja Pasir Wangi tanpa persetujuannya. Setelah tiba di keraton ia hanya bisa menangis dan menangis meratapi nasibnya yang dijadikan alat oleh ayahnya untuk memperoleh sekutu guna menghadapi perang dengan Padjadjaran ataupun Banten.

Di Balairiung keraton, Prabu Kertapati menerima kedatangan tamu agungnya itu, mereka asik bercengkrama. Mega Sari beberapa kali mendapati Pangeran Munding Sura yang usianya telah cukup lanjut itu memandangi dirinya dengan tatapan penuh nafsu, bagaimana ia tidak bernafsu melihat kemolekan tubuh Mega Sari yang sintal dibungkus oleh kulit putih mulus bersih itu? Mega Sari hanya bisa menundukan kepalanya menahan kedongkolan hatinya, sebagai seorang putri keraton memang ia dilarang untuk bersikap kurang ajar atau tidak sopan pada tamu-tamunya.

Sebenarnya kebencian Mega Sari pada Pangeran Munding Sura dan Prabu Karmasura sangat beralasan, kedua ayah dan anak itu dikenal mata keranjang dan memiliki banyak selir. Pangeran Munding Sura sendiri pun telah memiliki banyak selir walau ia belum memutuskan untuk memiliki permaisuri atau istri yang sah (selir tidak dianggap sebagai istri raja atau pangeran yang sah), ia hanya tahu bersenang-senang dengan selir-selirnya, begitupun ayahnya sama saja.

Awalnya Pasir Wangi adalah bawahan Padjadjaran yang setia, tapi setelah Prabu Suriawisesa meninggal dan Padjadjaran mengalami kemunduran, mereka melepaskan diri dari Padjadjaran. Disaat-saat mereka menikmati kemerdekaannya tersebut, tersiarlah kabar bahwa Prabu Kertapati dari Mega Mendung memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita, penasaranlah hati Munding Sura, maka ia meminta ayahnya untuk melamarkan dirinya pada Prabu Kertapati.

Gayung pun bersambut, Prabu Kertapati yang sedang mencari sekutu dan berencana menyerbu kerajaan Bojanegara di kaki gunung Pangranggo menerima pinangan itu dengan syarat Pasir Wangi harus menjadi sekutu abadi Mega Mendung dan memberikan 100% dukungan militer!

Malam harinya Mega Sari menangis tersedu-sedu, ia menangisi nasibnya pada ibunya dan Emak Inah, "Kenapa hamba harus mengalami nasib sedemikian rupa Ibu? Kenapa?! Padahal hamba mempunyai orang lain yang hamba cintai!" rintihnya dengan perih.

"Sabarlah anakku, ini memang sudah kodrat kita sebagai kaum wanita, sudah pandum bagi seorang putri seperti dirimu," ucap Dewi Nawang Kasih membesarkan hati putri semata wayangnya.

"Tapi calon yang hamba cintai itu adalah seorang Pangeran dari Parakan Muncang Ibu! Walaupun negerinya sudah hancur beberapa belas tahun silam!" sergah Mega Sari.

"Anakku, memang secara garis keturunan pria itu juga berhak untuk meminangmu, tapi kamu tahu kan bagaimana keadaan negeri kita? Ramamu sangat membutuhkan sekutu untuk mempertahankan negeri ini!" jawab Ibunya.

"Tapi Ibu tahu sendiri bagaimana kelakuan Pangeran durjana itu! Ia senang sekali merusak kehormatan perempuan! Ia hanya tahu bersenang-senang dengan perempuan! Apakah ibu mau kelak negeri ini dipimpin oleh raja seperti dia?!" tangis Mega Sari malah semakin hebat mendengar ucapan ibunya itu.

Akhirnya karena tidak tega dan apa yang dikatakan Mega Sari memang benar "Kamu benar anakku… Tapi dengan menikahinya kamu tidak harus meladeninya bukan?"

Mega Sari termenung menatap senyum simpul ibunya yang penuh arti, tangannya mengepal keras-keras. "Ya… Ya! Aku tidak akan membiarkan pria durjana itu menyentuhku! Akan kusingkirkan dia dan ayahnya yang sama-sama bejat itu dari hadapanku, dari dunia ini untuk selamanya!" tekadnya.

"Tapi berhati-hatilah anakku, mereka berdua bukan orang sembarangan!" peringat Dewi Nawang Kasih.

"Ibu Tenanglah! Aku akan meminta bantuan Eyang Guru Nyai Lakbok dan Kakang Dharmadipa untuk menyingkirkan mereka!" tekadnya.

***

Keesokan pagi harinya, kaki Dharmadipa telah sampai menyentuhkan kakinya di Kutaraja Rajamandala Ibu Kota Mega Mendung. Sesaat ia celingukan menatap keramaian di Ibukota Mega Mendung ini, ternyata tidak seramai yang ia bayangkan, sehingga membuat pemuda ini kebingungan. "Apakah yang dikatakan oleh Guru dan Ki Demang Bayana benar kalau pajak di Mega Mendung ini terlalu tinggi dan pemerintah hanya mengejar kemajuan militernya hingga perdagangannya menjadi lesu? Heran, aku kira ibukota Negara lebih ramai dari ini." gumamnya.

Saat itu tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya dari belakang, pemuda ini langsung menoleh sambil bersiap-siap kalau ternyata yang menepuk punggungnya dari belakang itu seorang copet, tapi ternyata yang menepuknya adalah seorang pria paruh baya berperawakan tinggi kerempeng. Dharmadipa segera mengenali pria itu yang tak lain adalah Ki Silah, sais sekaligus pengawal pribadi kepercayaan Mega Sari, ia dapat mengenali orang tua itu dengan baik walaupun wajahnya ditutupi oleh topi caping lebarnya. "Abah?" sapa Dharmadipa.

Ki Silah segera memberikan isyarat pada Dharmadipa untuk tidak berbicara keras-keras. "Ssttthhh… Jangan keras-keras Den, Gusti putri meminta anda agar jangan langsung ke keraton!" ucapnya setengah berbisik.

"Lho kenapa? Bukankah Gusti Putri memintaku untuk langsung ke keraton dan melamar jadi prajurit di sana?" tanya Dharmadipa dengan keheranan.

"Itu betul, tapi tadi pagi Gusti berkata lain dan memintaku untuk mencegat Aden disini." Ki Silah lalu mengeluarkan segulung surat kecil dari balik bajunya. "Ini surat dari Gusti putri, harap Aden jangan membacanya di kutaraja ini, bacalah di luar Kutaraja!"

Dharmadipa menerima surat itu dengan seribu tanya di benaknya, ia masih ingin mendapat keterangan dari Ki Silah, tapi orang tua berbadan tinggi kurus itu langsung pergi meninggalkannya dengan tergesa-gesa, Dharmadipa segera memasukan surat itu kebalik bajunya."Hmm…Melihat dari tingkah polah Ki Silah yang tergesa-gesa dan sangat berhati-hati itu nampaknya surat ini sangat penting".

Dharmadipa lalu menatap lurus ke jalan didepannya, didepan pasar itu sudah masuk ke alun-alun Kutaraja Rajamandala, di depan alun-alun itulah Keraton Mega Mendung yang megah berdiri. Ia berpikir sejenak, ia sudah sampai kesini tapi Mega Sari malah memintanya untuk membaca suratnya di luar Kutaraja, setelah berpikir beberapa saat ia pun menuruti Mega Sari, kakinya meninggalkan Kutaraja.

Diluar benteng Kutaraja, Dharmadipa mencari tempat yang sepi, setelah memastikan tempat itu benar-benar aman dan sepi, ia pun membuka gulungan surat kecil itu, isinya ternyata singkat saja.

"Kakang Dharmadipa yang aku cintai, aku bersedia untuk menikah dengan Kakang, akan tetapi sesuai dengan apa yang aku katakan saat pertemuan terakhir kita, aku mempunyai satu syarat yang harus engkau penuhi, syarat itu akan aku sampaikan malam ini padamu, temui aku di sebuah gubug reyot di hutan luar kota raja, ciri-cirinya gubug itu berada di bawah pohon waru doyong yang sudah amat tua, tunggu aku di sana, tepat tengah malam aku akan mengatakan persyaratan itu. Dari calon istrimu –Mega Sari-".

Setelah membaca surat tersebut, seluruh tubuh Dharmadipa bergetar, jantungnya berdegup kencang. "Mega Sari… Ia sudah mengakui kalau aku adalah calon suaminya!" ucapnya dalam hati, ia pun berjalan meninggalkan tempat itu sambil bertanya-tanya apa kira-kira syarat yang akan diajukan oleh Mega Sari.

***

Sebenarnya sejak 3 hari yang lalu Mega Sari sudah menjalani masa dipingit sebagai calon pengantin wanita selama 7 hari, tapi malam itu dia nekat keluar dari keraton untuk dapat menemui Dharmadipa di tempat yang telah ditentukan, lagipula ia tidak pernah menginginkan pernikahan ini dan telah bertekad untuk menghabisi nyawa calon suaminya bersama calon ayah mertuanya itu.

Mega Sari memanggil seorang dayang istana yang perawakannya sama dengannya. Ia lalu menotok bagian belakang kepala dayang itu hingga kehilangan kesadarannya dan memakaikan pakaiannya pada dayang tersebut kemudian dayang itu dibaringkan diatas kasurnya dan seluruh tubuh hingga kepalanya diselimuti oleh selimutnya. Ia sendiri memakai pakaian pria rakyat biasa berwarna hitam-hitam dan menutupi wajahnya dengan sebuah cadar yang hitam pula.

Ia mengendap-ngendap keluar dari kamarnya, diluar kamar ia membaca ajian sirep hingga semua penjaga kaputren tertidur pulas, dengan diantar oleh Ki Silah, tubuhnya melesat melompati dinding istana yang tinggi, kemudian langsung menggunakan ilmu lari cepatnya yang ia pelajari dari padepokan Sirna Raga menuju ke tempat tujuannya diamana Dharmadipa sudah menunggu.

Di sebuah gubug reyot di hutan luar kota raja, Dharmadipa sedang melamun sambil menghangatkan dirinya pada api unggun yang dibuatnya, berkali-kali ia menguap dan menggigil menahan dinginnya malam. Ketika matanya mulai diserang kantuk, telinga pemuda beralis tebal yang tajam ini mendengar suara derap lari dua orang yang sangat cepat tapi juga ringan yang sesekali melompat-lompat keatas pohon.

Dharmadipa segera bersiap-siap ketika dilihatnya seorang berpakaian serba hitam yang wajahnya ditutupi cadar hitam, tapi ia mengenali sosok pria tua berpakaian kelabu bercelana komprang hitam yang mengenakan topi caping lebar itu yang tak lain adalah Ki Silah.

"Abah Silah? Siapa ini? Mana Mega Sari?" Tanya Dharmadipa sambil menatap orang berpakaian hitam-hitam itu dengan penuh selidik.

Orang berpakaian hitam-hitam itu segera membuka cadarnya "Ini aku Mega Sari Kakang Dharmadipa."

Dharmadipa tertegun melihat wajah Mega Sari yang ayu itu, matanya yang bulat tajam indah, hidungnya yang bangir, bibirnya yang ranum, rambutnya yang hitam panjang lurus, serta kulitnya yang putih seolah memancarkan cahaya di antara gelapnya malam dan cahaya remang dari api unggun. Dharmadipa menelan ludahnya, imannya goyah. Ia memang sudah lama memendam asmara dan dendam kesumat rindu pada gadis itu, tapi surat yang ia baca tadi siang membuatnya semakin tergila-gila pada gadis itu, ingin benar ia memeluk Mega Sari!

Mega Sari tertawa kecil manis tapi penuh godaan melihat Dharmadipa yang melotot memandanginya dengan kerongkongan turun naik. "Kakang Dharmadipa apa kabar? Sudah 14 hari sejak pertemuan kita yang terakhir ketika Kakang menolongku dari kawanan begal di lembah akhirat di kaki gunung tangkuban perahu." ucapnya dengan suara manja.