Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 30 - Tautan Janji (1)

Chapter 30 - Tautan Janji (1)

Kereta hitam yang diatarik oleh dua ekor kuda yang berwarna hitam pula tersebut melaju dengan cepatnya melintasi hutan yang cukup lebat di bawah kaki gunung Tangkuban Perahu, keadaan tempat itu memang sangat menyeramkan, tempat itu berupa celah yang diapit oleh dua tebing yang tak seberapa tinggi namun ditutupi oleh semak belukar yang sangat lebat.

Dahulu di tempat itu pernah terjadi peperangan antara pasukan Mega Mendung yang dipimpin oleh Prabu Kertapati melawan pasukan Padjadjaran yang dipimpin oleh Rakean Rangga Sumpena, berkat taktik yang brilliant dari Prabu Kertapati. Pasukan Padjadjaran bersama Rakeran Rangga Sumpena yang jumlahnya lebih dari tiga lipatnya pasukan Mega Mendung itu, menemui ajalnya di tempat tersebut, namun harus dibayar mahal dengan kematian seluruh pasukan Balamati sang Prabu, hingga saat ini bekas peperangan belasan tahun yang lalu itu masih tersisa di sana, senjata-senjata, roda keretakuda, sampai tengkorak-tengkorak masih berserakan di sana.

Tempat itu menjadi tempat angker yang disebut Lembah Akhirat oleh penduduk sekitar, tidak ada yang berani melewati jalan itu kecuali kereta hitam yang ditumpaki oleh Mega Sari tersebut, mereka terpaksa melewati jalan ini untuk memotong jalan agar bisa lebih cepat sampai ke Rajamandala. Kilat petir dilangit membuat tempat disekitarnya yang telah gelap akibat langit mendung menjadi terang untuk sesaat, suara gelegarnya terdengar sangat mengerikan, tak lama kemudian turunlah hujan mengguyur tempat tersebut.

Tepat ketika kereta hitam yang dikusiri oleh Ki Silah tersebut memasuki celah angker tersebut, tiba-tiba petir berkilat disusul suaranya yang menggelegar, hujan yang disertai angin deras pun turun. Ki Silah yang tahu tempat itu sangat berbahaya tetap memacu kuda-kudanya untuk membawa kereta hitam itu melewati celah yang angker itu, akan tetapi di ujung celah itu ada sebongkah pohon besar yang memblokir jalan tersebut hingga Ki Silah terpaksa menghentikan kudanya.

Orang tua berbadan tinggi kurus itu langsung turun dari kereta lalu berlari mencoba menyingkirkan pohon besar yang menghalangi jalan mereka tersebut, tetapi bagaimana pun ia mengerahkan seluruh tenaga luar dalamnya ia tidak sanggup menyingkirkannya. Saat itu Dharmadipa yang sedang berjalan seorang diri kebetulan memasuki celah itu, dia melihat Ki Silah sedang kesusahan untuk mengangkat pohon tersebut, Degghhh! Tiba-tiba jantung pemuda itu berdegup kencang melihat kereta hitam itu "Itu kan kereta Mega Sari, berarti Mega Sari ada didalamnya!" pikirnya.

Akhirnya Ki Silah menyerah, ia lalu berlari menghampiri kertea kudanya, ia mengetuk jendela kereta itu. "Ampun Gusti Putri, saya tidak sanggup untuk menyingkirkan batang pohon raksasa itu!"

Mega Sari berdecak sambil menghela nafas berat. "Coba sekali lagi Abah, jangan sampai kita kemalaman di tempat ini!"

Ki Silah pun mengangguk, "Baik Gusti," kemudian ia kembali berlari ke tempat pohon itu.

Dharmadipa segera berlari menghampiri Ki Silah. "Kenapa Bah?" tanyanya.

Ki Silah menoleh pada Dharmadipa, ia terkejut setengah mati melihat pemuda itu. "Lho Aden kan murid padepokan Sirna Raga? Kenapa ada disini?" tanyanya keheranan.

"Ah saya hanya kebetulan lewat sini, kenapa pohon ini ada disini Bah?" sahut pemuda itu.

Telinga Mega Sari yang tajam mendengar percakapan mereka, dia langsung mengintip dari jendelanya "Kakang Dharmadipa!" desisnya dengan hati senang pada Emak Inah, Emak Inah pun mengangguk sambil tersenyum.

"Pohon longsor, Den! Tapi saya curiga seperti ada yang melongsorkannya, sebab hujan ini belum begitu lama!" jawab Ki Silah.

Dharmadipa mengangguk setuju sebab walaupun hujan ini sangat lebat disertai angin kencang, tapi belum lama, firasatnya yang tajam pun mencium akan suatu bahaya yang mengintai mereka. Matanya yang tajam menangkap ada pergerakan-pergerakan halus di antara kedua tebing yang mengapit celah tersebut, dan ia tahu pasti kalau itu bukan binatang buas!

Dharmadipa lalu menoleh pada Ki SIlah. "Abah, tunggulah di kereta untuk berjaga-jaga, sepertinya kita telah menjadi tamu tak diundang di rumah orang yang tidak baik!"

Ki Silah yang juga melihat pergerakan-pergerakan aneh itu mengangguk, dia lalu kembali ke kereta yang ditumpangi Mega Sari dan Emak Inah, tangan kanannya segera memegang hulu golok saktinya yang terselip di pinggangnya.

Sesaat kemudian meluncurlah beberapa buah pisau mengarah Dharmadipa, pemuda ini segera berjumpalitan menghindari serangan-serangan pisau tersebut. Ia lalu memungut beberapa buah pisau tersebut lalu melemparnya ke semak-semak, terdengarlah jerit beberapa lelaki yang disusul oleh rubuhnya beberapa tubuh yang tak bernyawa!

Sekonyong-konyong beberapa sosok tubuh melesat dari kedua tebing yang tertutupi oleh semak-semak rimbun itu, golok-golok di tangan mereka segera menyambar ke beberapa bagian tubuh Dharmadipa yang vital! Pemuda itu segera menyambut mereka dengan 'mesra'! Ternyata mereka hanya begal-begal biasa, kemampuan silat mereka tidak sehebat gerombolan Macan Seta, hingga dalam waktu singkat Dharmadipa sudah berhasil melumpuhkannya.

Setelah berhasil melumpuhkan para begal itu Dharmadipa segera mengeluarkan ajian Liman Sewu, pohon besar tumbang yang memblokade jalan itu pun diangkat oleh kedua tangannya dengan mudah lalu dilemparkannya ke tempat kosong! Setelah menyingkirkan pohon itu, ia berlari menghampiri kereta kuda hitam tersebut, Mega Sari langsung membuka pintu keretanya dan mengumbar senyum manisnya pada Kakak seperguruannya itu.

"Kakang Dharmadipa, kita berjumpa lagi," sapa Mega Sari sembari tersenyum.

"Apa kabar Mega Sari? Lama tak jumpa," sahut Dharmadipa sambil tersenyum senang sebab akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan gadis pujaan hatinya ini.

"Kabarku baik Kakang, terimakasih Kakang sudah menolongku" ucap Mega Sari sambil tersenyum manis sambil memainkan rambutnya yang sukses membuat jantung Dharmadipa semakin berdegup kencang.

"Ah itu bukan apa-apa Mega Sari."

Seakan baru teringat sesuatu, Mega Sari celingukan melihat kesekelilingnya "Oya mana Kang Jaka? Biasanya kan kalian selalu berdua, apa ia tidak ikut?"

Ekspresi wajah Dharmadipa berubah, dengan suara bergetar ia menjawab, "Mega Sari… Jaka sudah meninggal!"

Bagaikan disambar petir, bukan main terkejutnya Mega Sari! "Apa?! Kenapa ia bisa meninggal?! Bagaimana?!" tanyanya histeris.

Dharmadipa menjawab sambil menundukan kepalanya "Kemarin ketika kami hendak menyusulmu ke Gunung Patuha kami bertemu dengan gerombolan perampok yang menamakan diri mereka Macan Seta, ketika sedang bertarung dengan mereka, Jaka jatuh kedalam jurang" Jawab Dharmadipa berbohong.