Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 27 - Awal Dendam Kesumat (2)

Chapter 27 - Awal Dendam Kesumat (2)

Saat itu datanglah para pembantu Ki Demang yang menyediakan beraneka makanan dan minuman "Silakan Ki Dulur, ini sealakadarnya saja, maafkan kalau hidangan ini kurang berkenan di hati Ki Dulur" ucap Ki Demang.

Dharmadipa pun menerima hidangan itu "Ah tidak apa-apa Ki Demang, justru hidangan ini sangat berlebih untuk saya".

"Sebenarnya hendak kemanakah tujuan Ki Dulur ini? Barangkali kami bisa bantu" Tanya Ki Demang sambil menyantap hidangannya.

"Saya hendak menuju ke Gunung Patuha" jawab Dharmadipa dengan polosnya.

"Ke Gunung Patuha?!" Ki Demang nampak sangat kaget mendengarnya.

"Kenapa nampaknya Ki Demang sangat kaget?" Tanya Dharmadipa.

"Ah, tidak apa-apa hanya saja menurut cerita gunung itu sangat angker dan menyimpan sejuta misteri" sahut Ki Demang.

"Iya benar, saya tidak heran dengan keterkejutan Ki Demang, namun saya ingin menyingkap tabir misteri di sana" jawab Dharmadipa yang saat itu tiba-tiba kepalanya terasa pusing dan rasa kantuk yang hebat menghampirinya.

"Ah anda sangat berani Ki Dulur, semangat anak muda" sahut Ki Demang sambil menyunggingkan senyum aneh.

Kepala Dharmadipa terasa semakin pusing dan rasa kantuk yang datang semakin hebat, pemuda ini lalu menampar-nampar kepalanya "Ah kepalaku, kenapa sangat pusing… Ahhh…" tubuh pemuda itupun ambruk dari tempat duduknya tanpa sadarkan diri.

Setelah melihat tamunya pingsan Ki Demang berdiri dari duduknya sambil tertawa sinis "Pemuda kemarin sore yang congkak! Mana bisa kami mempercayakan nasib kami pada pemuda bau kencur begini untuk menghadapi gerombolan Macan Seta yang ganas?!"

Ki Demang menepuk-nepukan tangannya, datanglah dua orang pengawal Kademangan "Ikat dia dan taruh di penjara! Aku tidak ingin seluruh warga desa ini celaka oleh ulahnya yang takabur dan sok berani!" perintah Ki Demang, dua pengawal itupun segera mengikat Dharmadipa dan menjebloskannya kedalam penjara Kademangan.

***

Beberapa jam kemudian saat tengah malam, Dharmadipa yang tergeletak didalam sel kurungan penjara perlahan membuka matanya, samar-samar dilihatnya belasan orang mengelilinginya, setelah pandangannya jelas, nampaklah Ki Demang Bayana beserta beberapa tokoh serta warga desa Gondangsari berdiri sambil menatap tajam padanya. Meskipun kepalanya masih pusing tapi ia dapat merasakan kalau seluruh tubuhnya dililit oleh tali tambang yang kokoh dan Keris Pusakanya yang biasanya terselip di punggungnya telah hilang, maka amarah pemuda brangasan ini segera mengemuka "Kenapa saya diikat?! Ki Demang?!"

"Terpaksa kami lakukan, untuk menjaga keamanan desa Gondangsari! Kami tidak mungkin menyerahkan nasib kami pada pemuda kemarin sore seperti Ki Dulur! Kami tidak ingin membahayakan nyawa kami! Jadi untuk sementara Ki Dulur kami tahan sampai gerombolan perampok Macan Seta pergi dari Desa ini!" tegas Ki Demang.

Dharmadipa melotot mendengar ucapan Ki Demang itu. "Jadi kalian meragukan kemampuanku untuk menolong kalian?!"

Ki Demang mengangguk "Iya, mana mungkin pemuda kemarin sore sepertimu bisa mengalahkan Macan Seta?! Gerombolan perampok itu sangat ganas, mereka membunuh semua warga desa kecuali kaum wanita yang masih muda untuk mereka perkosa, mereka membakar rumah-rumah penduduk dan meratakannya dengan tanah!"

"Lalu, apakah kalian akan diam saja tidak melawan?!" tanya Dharmadipa.

"Bagaimana kami mau melawan para perampok beringas yang mempunyai ilmu yang tinggi itu?" sahut Ki Demang.

"Maka dari itu biarkan aku membantu kalian dan membalaskan korban-korban perampok ganas itu! Aku Dharmadipa murid Kyai Pamenang dari padepokan Sirna Raga, kalian boleh mempercayai aku!" bentak Dharmadipa.

Tapi Ki Demang malah tertawa sinis. "Saya dan para warga disini sangat mengenal Kyai Pamenang dan watak murid-muridnya, murid-murid Padepokan Sirna Raga sangat sopan, tidak brangasan dan takabur seperti Kau! Malahan kami mulai mencurigai kalau Ki Dulur adalah seorang penipu yang mengincar harta kami!"

Bukan main geramnya Dharmadipa mendengar pelecehan Ki Demang pada dirinya, "Masih untung hanya kecubung wulung yang aku bubuhkan pada minumanmu, tega-teganya penipu seperti dirimu hendak menguras harta kami yang sedikit ini yang sedang terancam oleh Macan Seta!" sambung Ki Demang.

"Kalau begitu setidaknya tolong kembalikan Keris saya, itu pusaka keluarga saya!" pinta Dharmadipa.

Ki Demang mengeluarkan Keris itu dari balik pakaiannya. "Ini bukan Keris biasa, ini pasti Keris Pusaka kerajaan, kau pasti mendapatkan ini dari hasil menipu!"

Belum Dharmadipa membuka mulutnya, saat itu datanglah seorang pemuda tergopoh-gopoh mendatangi Ki Demang "Ki Demang, gerombolan Macan Seta sudah datang! Mereka menunggu di alun-alun desa dan menagih janji kita!"

Ki Demang jadi panik mendengarnya, keluarlah satu perintah darinya "Baiklah, kalian semua taruh seluruh harta benda kalian di alun-alun, tenanglah jangan sampai kalian melawan sedikitpun!" setelah itu Ki Demang beserta yang lainnya pun keluar meninggalkan Dharmadipa, Dharmadipa bangun dan mengintip dari jendela penjara itu.

Hanya dalam waktu singkat seluruh harta benda dan hasil bumi warga desa Gondangsari telah terkumpul di alun-alun desa di hadapan gerombolan perampok yang semuanya memakai cadar hitam. Seorang perampok menggunakan topeng macan, berpakaian hitam-hitam berjubah kulit Macan yang nampaknya pemimpin mereka, menghampiri seluruh harta benda itu "Hanya inikah harta kalian?"

Ki Demang menghampiri dan menjawab "Benar tuan, hanya inilah harta benda kami".

Si pemimpin perampok yang tak lain bernama Macan Seta mendengus "Miskin amat kalian! Kalau begitu kumpulkan juga seluruh ternak kalian kemari cepat!"

Ki Demang segera memohon "Ampun tuan, kalau seluruh ternak kami diambil juga kami tidak akan bisa bekerja dan menyambung hidup!"

Deshhh! Baru saja Ki Demang menutup mulutnya, satu tendangan bersarang di perutnya hingga lelaki paruh baya itu terjengkang dan muntah darah "Aku tidak peduli dengan nasib desa ini! Sekarang kita ambil seluruh ternak dan wanita muda yang ada disini, lalu bakar dan ratakan dengan tanah desa ini!" perintah Macan Seta pada puluhan anak buahnya, mereka pun langsung bergerak melaksanakan perintah pemimpinnya, api mulai berkobar menjilati rumah-rumah di desa kecil itu!

Dharmadipa yang melihat semuanya menjadi sangat geram! Di matanya tergambar peristiwa beberapa belas tahun silam, saat itu ia sedang dipeluk oleh ibunya, sedangkan ayahnya nampak sedang bersiap-siap, seluruh keraton Parakan Muncang sudah dikepung oleh pasukan gabungan Demak, Cirebon, dan Banten. Pasukan yang berjumlah sangat besar dengan persenjataan lengkap itu mulai merangsek memasuki keraton. api mulai menjalar kemana-mana membakar keraton Parakan Muncang. Prabu Wangsadipa beserta anak isrinya terpaksa bersembunyi di kamar Keprabuan karena seluruh keraton sudah terkepung.

Tiba-tiba… Bruk! Bruk! Bruk! Pintu kamar raja itu didobrak dari luar, Prabu Wangsadipa segera memeluk istri dan anaknya, "Kalian bersembunyilah di bawah tempat tidur! Begitu aku berhasil menghalau mereka, larilah tinggalkan keraton ini!" pesannya pada istri dan anaknya, Ratu Sekar Ningsih dan Dharmadipa pun bersembunyi kebawah tempat tidur, berbarengan dengan itu, pintu kamar itu jebol didobrak belasan prajurit Islam, api pun mulai menjalari kamar itu.

"Panas! Panas!" jerit Dharmadipa yang masih bocah ketika melihat api mulai membakar kamarnya dan ia merasakan hawa panas yang luar biasa dari si jago merah itu, Ratu Sekar Ningsih segera memeluk Dharmadipa di kolong tempat tidur itu.

Prabu Wangsadipa segera menghunus Keris Kyai Gajah Putih pusakanya, dengan segala kesaktiannya ia menerjang para prajurit Islam itu, namun jumlah prajurit itu seolah tidak berkurang sebab kawan-kawannya terus berdatangan hingga membuat Prabu Wangsadipa kelabakan, hingga akhirnya ia rubuh dengan tubuh penuh luka, sukmanya terbang meninggalkan dunia ini!

Ratu Sekar Ningsih yang melihat terbunuhnya suaminya itu menjerit histeris, ia langsung keluar dari kolong tempat tidurnya untuk memeluk jenasah suaminya, namun salah seorang prajurit yang panik terkejut melihat sesosok tubuh yang tiba-tiba keluar dari kolong tempat tidur, dengan sigap ia menusukan tombaknya, zlebbb! Tombak itu menancap tepat di perut Ratu Sekar Ningsing sampai tembus ke punggungnya, dengan seluruh sisa tenaganya, Ratu Sekar Ningsing merangkak dan memeluk jasad suaminya, kemudian berakhirlah hidup perempuan cantik berwajah khas Sunda tersebut.

Kini giliran Dharmadipa yang menjerit histeris, ia melompat keluar dari kolong tempat tidur, dengan nekat ia meraih Keris Kyai Gajah Putih milik ayahnya, dengan berurai air mata, ia mengacungkan Keris Itu ke arah para Prajurit itu, tanda rajah cakra bisma di keningnya memerah bagaikan menyala, matanya berkilat-kilat melotot menyala bagaikan bara api yang membakar daun-daun kering!

Saat itulah masuklah seorang lelaki tua mengenakan pakaian dan sorban serba putih melerai mereka, orang itu tak lain adalah Kyai Pamenang yang hendak menjadi juru damai antara pasukan Islam dengan Prabu Wangsadipa, tetapi ia terlambat, Prabu Wangsadipa serta istrinya sudah tewas terbunuh, air mata orang itu meleleh tatkala melihat Dharmadipa yang mengacungkan Keris pada para prajurit itu dengan tatapan yang penuh dendam, dengan tenang ia pun menenangkan Dharmadipa, lalu dengan penuh asih ia merawat Dharmadipa dan mengangkatnya menjadi anak.

Rentetan peristiwa itu tergambar kembali di pelupuk mata Dharmadipa, amarahnya memuncak, dadanya sangat sesak, matanya berkilat-kilat, tanda rajah cakra bisa di dahinya menyala-nyala, seluruh energinya meluap-luap! Dengan tenaga dalamnya yang meluap-luap, ia berusaha membuka tali itu, dengan hawa panas yang keluar dari kedua tangannya, tali tambang yang melilitnya terbakar! Setelah bebas dari ikatannya, ia mendobrak tembok penjara itu hingga hancur berantakan oleh Ajian Liman Sewu!

Sementara itu di alun-alun desa, gerombolan perampok itu mengamuk membantai seluruh warga Desa, para warga desa pun terpaksa melawan mereka dengan putus asa, akan tetapi menghadapi gerombolan perampok yang rata-rata mempunyai ilmu yang cukup tinggi itu membuat perlawanan mereka hampir sia-sia, terutama untuk menghadapi pemimpin perampok itu si Macan Seta yang bersenjatakan kuku-kuku besi di ujung sepuluh jarinya, sehingga kepala rampok ini bagaikan seorang el maut yang membantai seluruh warga desa Gondangsari!

Di gerbang batas desa, seorang pemuda berbadan tinggi tegap, berambut gondrong, berpakaian ringakas berwarna biru, mengenakan ikat kepala batik, terkejut dengan apa yang terjadi desa itu "Edan! Tengah malam begini ada begalan pati di desa ini!" umpatnya.

Pemuda yang tak lain adalah Jaka Lelana tersebut segera memacu kudanya memasuki desa Gondangsari. Betapa terkejutnya ia melihat pertumpahan darah didalam desa itu, perang yang tidak seimbang terjadi di desa itu, hatinya serasa terkoyak-koyak melihat pembantaian tak berprikemanusiaan itu, dimana-mana terdengar jeritan yang menyayat hatinya, maka ia segera melompat dari kudanya dan langsung melabrak gerombolan perampok itu.

Sesaat kemudian, dari dalam kademangan meluncurlah sesosok tubuh ke udara, begitu kakinya menginjak bumi, ia langsung mengamuk melabrak gerombolan perampok itu, saat sedang mengamuk melabrak kawanan perampok itulah ia melihat Dharmadipa yang juga sedang mengamuk melabrak para perampok tersebut "Kakang Dharmadipa!" panggil Jaka yang langsung menghampiri Dharmadipa.

"Tahan dulu apa yang hendak kau ucapkan Jaka, sekarang mari kita bantai dulu perampok-perampok laknat ini!" tegas Dharmadipa.

Jaka pun mengangguk, mereka berdua pun terus menggasak gerombolan perampok itu dengan tangan kosongnya, tubuh-tubuh perampok yang menjadi korban amukan mereka berterbangan lalu terjatuh dan muntah darah! Banyak dari mereka yang tidak berkutik lagi, nyawanya terbang ke akhirat oleh tangan maut Dharmadipa dan Jaka Lelana!

Bukan main marahnya Macan Setamelihat anak buahnya dibantai demikian rupa oleh dua orang pemuda tak dikenal, pemimpin perampok yang sakti mandraguna ini pun melompat menerjang Dharmadipa, Dharmadipa yang hatinya memang sedang membara ini segera meladeni Macan Seta!

Sungguh di luar dugaan Macan Seta, ternyata pemuda yang ia hadapi bukan pemuda sembarangan! Meskipun ia bersenjatakan sepuluh kuku besi di seluruh jari tangannya, ia kelabakan juga meladeni pemuda yang hatinya sedang dibakar dendam itu, maka ia pun segera menguras seluruh jurus silat Macannya, sementara Dharmadipa meladeninya dengan jurus "Silat Harimau Gunung", jurus yang ia dapatkan dari Kyai Pamenang yang tidak diturunkan pada Jaka.