Disuatu gubug yang sederhana diatas puncak Gunung Tangkuban Perahu, nampak seorang tua yang sudah berusia lanjut mengenakan sorban, pakaian, serta jubbah serba putih sedang duduk tafakur mengheningkan cipta. Matanya terpejam, dia duduk dalam sikap bersemedi dengan mematikan seluruh panca indranya dengan khusyuknya.
Tiba-tiba ruangan di sana diselimuti oleh kabut yang tak tembus pandang, selarik sinar putih dari atas langit melesat turun masuk kedalam gubug tersebut kehadapan si kakek yang sedang bersemedi itu, perlahan sinar putih itu berubah menjadi sesosok kakek berwujud baying-bayang yang sangat lanjut usianya berjanggut panjang lebat berawrna putih, mengenakan pakaian serba putih pula.
"Supit Pramana, anakku bangunlah!" ucap si Kakek berwujud bayang-bayang itu.
Kakek berpakaian putih-putih itupun bangun dari semedinya dan membuka kedua matanya, dia langsung menjura hormat pada Kakek berpakaian putih dihadapannya, "Hamba Eyang Guru Sutalaksana".
Si Kakek berpakaian serba putih berwujud bayang-bayang itu ternyata adalah Kyai Sutalaksana, sesepuh di bumi Pasundan. Dia juga adalah seorang ahli silat baik ilmu kanuragan maupun ilmu kebathinan, konon dia adalah salah satu keturunan dari mendiang Prabu Wastukencana, "Supit Pramana anakku, kekuatan tapamu telah sampai ke belahan bumi hargadumilah, tapamu kuterima".
"Terimakasih Eyang, Eyang guru tentu telah mengetahui keadaan di bumi Pasundan sekarang ini, suatu angkara murka telah merajalela, pertumpahan darah telah disulut oleh seorang raja muda yang sakti mandraguna dari Mega Mendung bernama Kertapati. Keangkara murkaan Prabu itu telah banyak menyengsarakan rakyat di Bumi Pasundan dan membuat perdamaian semakin menjauh".
"Anakku Supit Pramana, ucapanmu menyatakan betapa hati sanubarimu menunjukkan bakti yang sangat tinggi terhadap kemaslahatan manusia di alam fana ini, aku paham bagaimana bahayanya Prabu dari Negeri Mega Mendung itu, apalagi ia telah mengadakan perjanjian Wasiat Iblis dengan Arwah Terkutuk dari dasar kawah Gunung Patuha melalui perantara si Topeng Setan! Maka kedatanganku kemari adalah berhubungan dengan permasalahan itu, Bagi dirimu, ada satu tugas yang sebenarnya sudah tersurat di alam gaib sejak tujuh belas tahun yang lalu..."
Dalam kejutnya mendengar ucapan Gurunya, Kyai Supit Pramana kembali rundukkan tubuh dan kepala. "Eyang Guru, saya mohon diberikan petunjuk atas tugas yang menjadi kewajiban saya itu".
"Tiga hari ke muka pada saat matahari hendak terbenam dari ufuk barat, kau harus menolong seorang pemuda yang terluka parah di dasar jurang lembah Tangkuban Perahu ini. Pemuda itulah yang kelak akan mampu menumpas kelaliman Prabu Kertapati. Kau harus menggemblengnya dengan berbagai ilmu yang kau miliki! Tanamkanlah perilaku budi pekerti yang baik padanya hingga ia akan menjadi seorang pendekar yang yang tahu budi pekerti, serta anggaplah ia sebagai anak kandungmu sendiri!"
Kyai Supit Pramana terdiam sejenak karena ia belum mengerti dengan apa yang dikatakan Kyai Sutalaksana padanya, maka ia bertanya lagi "Mohon maaf Eyang Guru, saya belum mengerti dengan tugas saya itu, siapakah pemuda itu?"
"Pemuda itu adalah anak dari Prabu Kertapati sendiri, dia telah membuang anaknya sendiri karena ia tidak tega untuk membunuh anaknya sendiri sebagaimana yang diminta oleh Arwah Terkutuk didasar kawah Gunung Patuha. Demi keamanan anaknya, ia telah menitipkannya pada Kyai Pamenang di Padepokan Sirna Raga di bukit Tagok Apu agar ia dapat mengawasi pertumbuhan putra sulungnya dari jauh. Dialah yang kelak akan memadamkan angkara murka ayahnya dan dialah satu-satunya orang yang terpilih untuk menghadapi Si Topeng Setan yang menjadi sumber angkara murka diantara keturunan Prabu Siliwangi!"
Kyai Supit Pramana mengangguk-nganggukan kepalanya "Baiklah, Hamba mengerti tugas hamba Eyang Guru, hamba akan melaksanakannya sebaik mungkin."
"Ucapan sudah kau dengar, petunjuk sudah kau dapat. Sekarang laksanakan tugasmu."
Kyai Supit Pramana kembali rundukkan tubuh dan kepala "Guru, saya siap melaksanakan tugas."
"Semoga Yang Maha Kuasa melindungi dan memberi pertolongan padamu" perlahan tubuh Kyai Sutalaksana mengabur, kabut tak tembus pandang itupun semakin menipis, hingga akhirnya secara ajaib, tubuh Kyai Sutalaksana hilang dari pandangan Kyai Supit Pramana disertai dengan lenyapnya kabut putih.
***
Dharmadipa terus memacu kudanya menuruni bukit Tagok Apu, hatinya telah bulat untuk mencari Mega Sari ke Gunung patuha meskipun beberapa minggu yang lalu ia gagal menuju ke puncak gunung yang diselubungi kabut misteri itu. Kudanya terus dipacu hingga sang mentari pun berpulang ke ufuk barat, untunglah saat hari maulai gelap ia menemukan satu desa, ia pun memasuki desa itu.
Setelah memasuki desa itu ia celingukan melihat kesekelilingnya, desa itu nampak sangat sepi, lampu-lampu rumah banyak yang gelap, hanya beberapa saja yang dinyalakan, jalan utama di desa itupun sangat gelap tanpa diterangi satu obor pun. Dharmadipa merasakan firasat yang buruk, setelah berpikir sejenak ia memutuskan untuk melihat kesekeliling desa, baru saja kudanya berjalan perlahan beberapa langkah, telinga tajam pemuda itu menangkap suara dari sudut desa, ia pun segera memacu kudanya kesana.
Sesampainya di sana pemuda itu sangat terkejut melihat seorang pria paruh baya yang terluka parah, tangannya kutung sebelah, pria itu merintih-rintih dan mengerang kesakitan, Dharmadipa pun segera turun dari kudanya dan menghampiri pria itu "Bapak kenapa? Siapakah yang melakukan ini pada Bapak?" tanyanya.
Pria paruh baya menggenggam tangan Dharmadipa dan menatapnya dengan penuh ketakutan "Tolong… Ki Dulur tolong…"
Dharmadipa segera menotok luka di pangkal lengan pria tua yang dikutungi itu untuk menghentikan pendarahannya, ia lalu menatap orang itu dengan penuh rasa iba sebab seluruh tubuhnya dipenuhi oleh luka-luka bekas siksaan yang sangat berat "Saya pasti akan menolong Bapak, tapi siapa yang melakukan ini pada Bapak?"
"Macan Seta!!! Gerombolan Macan Seta akan segera ke desa ini… Tolonglah anak istriku… Akkkhhhh…" usai berkata demikian, pria paruh baya itu menghembuskan nafas terakhirnya karena terlalu banyak kehilangan darah.
Dharmadipa menggeram penuh amarah "Jahanam! Macan Seta akan aku bakar tubuhmu hidup-hidup!" geramnya, tanda rajah cakra bisma di keningnya memerah jelas.
Saat itulah tiba-tiba berdatangan seluruh penduduk desa ke tempat itu, Dharmadipa menoleh dan memelototi mereka semua "Kalian baru datang?! Apa saja yang kalian lakukan?! Kalian tidak menolong Bapak warga kalian ini?!" semprotnya.
Seorang pria paruh baya yang mengenakan pakaian paling bagus diantara mereka maju menghampiri Dharmadipa "Ki Dulur, perkenalkan saya Bayana, saya Demang di Desa Gondangsari ini, kami tidak bisa menolongnya, dia dijadikan contoh oleh Gerombolan Perampok Macan Seta kepada seluruh rakyat desa ini, barang siapa yang tidak bersedia memberikan hartanya dan berani melawannya akan menjadi seperti dia, maka kalau kami menolongnya kami pasti akan mengalami nasib seperti dia".
Dharmadipa melotot pada Ki Demang Bayana "Bedebah! pengecut sekali kalian! Jadi kalian lebih memilih untuk menyerahkan harta benda kalian tanpa melawan?"
Ki Demang melirik sejenak pada seluruh rakyatnya lalu menatap Dharmadipa dari ujung kepala ke ujung kaki "Ki Dulur pasti bukan orang dari daerah sini, siapa yang tidak tahu gerombolan perampok Macan Seta yang sangat ganas dan kejam itu? Seluruh desa di kaki gunung Masigit ini yang berani melawannya akan rata dengan tanah! Apalagi pemimpinnya, Si Macan Seta yang terkenal sakti digdaya!"
Mata Dharmadipa mendelik mendengarnya "Kalau kalian begitu pengecut untuk melawannya, biar aku saja yang melabrak gerombolan perampok itu! Kalian diam saja di rumah sembunyi dibawah ketiak istri kalian! Dan biar aku yang menguburkan Bapak tua ini saat ini juga!" makinya dengan jumawa.
Ki Demang melirik lagi pada warganya seolah meminta pendapat mereka, beberapa orang menganggukan kepalanya, wajah Ki Demang pun berubah menjadi ramah pada Dharmadipa "Benarkah Ki Dulur bersedia menolong kami untuk menumpas gerombolan perampok Macan Seta?"
"Iya aku akan menumpas mereka semuanya!" tegas pemuda conkak ini, wajah Ki Demang berubah menjadi berseri-seri ekspresi wajah seluruh warga yang di sana pun berubah menjadi ramah.
"Kalau begitu kami ucapkan terimakasih, sekarang bagaimana kalau Ki Dulur menginap saja dulu di rumah saya?" ajak Ki Demang.
"Terima kasih, tapi bagaimana dengan jenazah Bapak ini?" jawab Dharmadipa sambil menunjuk jenazah tersebut.
"Kami akan menguburkannya esok pagi, sekarang mari Ki Dulur beristirahat dulu di rumah saya."
Beberapa orang menggotong jenazah pria paruh baya yang malang itu, Dharmadipa lalu ikut bersama KI Demang Bayana ke kademangan, sesampainya Dharmadipa langsung dijamu oleh Ki Demang, "Maaf siapa nama Ki Dulur?" Tanya Ki Demang Bayana.
"Dharmadipa, saya dari bukit Tagok Apu."
Ki Demang mengangguk-nganggukan kepalanya "Hmm… Dari Bukit Tagok Apu?"
Dharmadipa mengangguk. "Benar Ki Demang."