Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 11 - Putri Mega Sari (4)

Chapter 11 - Putri Mega Sari (4)

Dua penunggang kuda yang mencegat mereka tak lain adalah Jaka dan Dharmadipa, seolah tidak mempedulikan Ki Silah, Dharmadipa langsung lantang berteriak "Mega Sari! Ini aku Dharmadia dan Jaka! Kami mohon keluarlah sebentar!"

Mega Sari yang mendengar suara itu sangat terkejut, ia langsung membuka pintu kereta itu dan keluar diikuti oleh Emak Inah, begitu melihat dua sosok pemuda yang telah sejak lama mengambil perhatiannya itu air matanya langsung meleleh "Kang Jaka! Kang Dharma!" jeritnya.

Melihat itu Ki Silah segera melompat turun dari kursi sais kereta kudanya "Kalian murid Padepokan Sirna Raga? Mau apa kalian?" hardiknya.

"Benar, kami saudara seperguruan Mega Sari, tolong izinkanlah kami untuk berbicara sebentar" jawab Dharmadipa.

Ki Silah marah bukan kepalang sebab mereka terus memanggil nama Mega Sari tanpa menyebut Gusti Putri "Jaga mulut kalian! Meskipun kalian saudara seperguruannya, kalian tetap harus memanggil Gusti putri dengan sebutan Gusti Putri! Kaum jelata seperti kalian tidak pantas memanggil namanya!"

Bukan main marahnya Dharmadipa mendengar bentakan dari Ki Silah, keangkuhannya tidak mengizinkannya untuk dipanggil kaum jelata seperti yang Ki Silah sebutkan "Kurang ajar! Jangan menghinaku!" bentaknya.

Sebelum keadaan semakin memanas, Mega Sari segera berlari menghampiri Dharmadipa dan Jaka untuk melerai mereka, melihat Mega Sari menghampiri mereka, Dharmadipa dan Jaka pun turun dari kudanya masing-masing, Jaka segera menjura membungkukan kepala dan badannya untuk memberi hormat pada Mega Sari, sementara Dharmadipa hanya berdiri tegak sebab ia merasa sama-sama dari golongan priyayi maka ia tidak merasa harus untuk memberi hormat pada Mega Sari.

Mega Sari segera membangunkan Jaka yang memberi hormat padanya "Kang Jaka, kenapa Kang Jaka bersujud segala padaku?" tanyanya dengan sedih.

Jaka pun bangun namun kepalanya tetap menunduk "Mohon ampuni kelancangan hamba Gusti Putri, tapi hamba yang hanya rakyat biasa harus menjaga tata karma dan eweh pakewuh pada Gusti Putri". (Eweh Pakewuh = Etika)

Alangkah sedihnya Mega Sari mendengar jawaban dari Jaka, sambil menangis ia berkata "Kang Jaka, Mega Sari mohon jangan lakukan ini pada Mega Sari, tolonglah Mega Sari ingin hubungan kita seperti biasa, seperti saat di padepokan!"

"Mega Sari benar Jaka! Jangan rendahkan harga dirimu untuk hal yang konyol seperti ini! Mega Sari adalah saudara kita! Adik kita!" sahut Dharmadipa.

Mendengar ucapan DHarmadipa, Ki Silah tak dapat lagi menahan kesabarannya sebab sikap pemuda satu ini sudah dianggapnya melebih batas, maka ia pun menghampirinya dan menghardik pemuda ini "Kali ini ucapanmu benar-benar keterlaluan! Seluruh tempat ini termasuk kedalam wilayah kekuasaan Mega Mendung! Kau harus menghormati Gusti Putri Mega Sari sebagaimana mestinya!"

Mata Dharmadipa melotot, dia langsung berkacak pinggang dan membusungkan dadanya "Hai aki-aki Sais kereta Mega Sari! Sudah cukup aku dengar penghinaanmu! Dengarlah baik-baik! Aku ini adalah Dharmadipa! Putra dari Prabu Wangsadipa dan Ratu Sekar Ningsih dari Parakan Muncang! Meskipun Negeri itu sudah hancur belasan tahun silam namun aku tetaplah seorang Pangeran! Jadi aku juga adalah seorang Pangeran, setingkat dengan Gusti Putrimu ini!"

Mega Sari terkejut mendengarnya, tetapi Ki Silah nampaknya tidak percaya begitu saja pada Dharmadipa "Apa kau seorang pangeran? Lalu bagaimana kau bisa membuktikannya? Kau tentu tidak bisa membuktikannya dengan bertanya pada orang yang sudah meninggal dan pada negeri yang telah hancur bukan?"

"Kurang ajar! Jangan hina orang tuaku dan negeriku! Kalau perlu bukti kau bisa minta Kyai Pamenang bersumpah bahwa aku adalah putera dari Prabu Wangsadipa dan Ratu Sekar Ningsih dari Parakan Muncang! Atau kalau masih kau ragu juga, bagaimana kalau nyawa tua bangkamu kuakhiri disini sekarang juga!" bentak Dharmadipa sambil memasang kuda-kudanya.

Ki Silah pun bersiap-siap, sementara Jaka ikut bersiap untuk menahan Dharmadipa, tapi Mega Sari segera melerai mereka "Cukup! Hentikan!", dia lalu menoleh pada Ki Silah "Abah, mohon maafkanlah mereka, bagaimana pun mereka adalah saudara seperguruanku dan kawan-kawan dekatku, sekarang tolong berikan waktu sebentar pada kami!"

Ki Silah segera menjura hormat pada Mega Sari "Baiklah Gusti, Abah mohon maaf", dia lalu menjauh menuju ke kereta kudanya.

Mega Sari lalu menoleh pada Dharmadipa "Benarkah apa yang kau katakan itu Kakang? Maaf aku bertanya sebab yang aku tahu kau adalah anak dari Kyai Guru dan Nyai Guru"

Dharmadipa mengangguk jumawa "Tentu saja benar Mega, sayangnya negeriku telah hancur diserang oleh pasukan gabungan Demak, Cirebon, dan Banten, bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat ayahku meninggal terbunuh oleh pasukan mereka ketika melindungi aku dan ibuku di kamar keprabuan, Ibuku juga meninggal terbunuh untuk melindungiku, untunglah Kyai Pamenang melerai pasukan itu lalu menolongku dan menjadikan aku anak angkatnya serta murid di Padepokan Sirna Raga".

Mega Sari mengangguk-ngangguk, hatinya karena ternyata Dharmadipa juga adalah seorang keturunan priyayi yang membuat batas perbedaan status social di antara mereka menipis, kemudian dia berharap juga kalau Jaka adalah seorang yang sama dengan Dharmadipa, diapun menoleh pada Jaka "Kalau Kang Jaka bagaimana?"

Jaka tertunduk lesu, dengan berat hati ia menjawab "Maafkan hamba Gusti Putri, hamba hanya orang biasa, berbeda dengan Kakang Dharmadipa, identitas hamba tidak jelas, bahkan hamba tidak pernah ingat orang tua hamba, menurut Kyai Guru, ayah hamba meninggal terbunuh ketika menitipkan hamba dipadepokan, sementara hamba tidak tahu tentang ibu hamba" jawabnya pelan dengan suara bergetar menahan gejolak di dadanya.

"Ooohhh…" hanya itulah kata yang terucap dari Mega Sari, namun jelas terdengar kesedihan dan kekecewaan didalamnya, ia sangat kecewa bahwa ternyata Jaka hanya orang biasa, bukan seorang keturunan priyayi seperti Dharmadipa, kembali kesedihan menyelimuti dirinya membuat dua titik air bening jatuh dari mata bulat indahnya yang telah memerah, kembali ia sesegukan sehingga Emak Inah yang maklum dengan perasaan Mega Sari pada dua pemuda ini, menghampirinya dan merangkul putri junjungannya itu.

Jaka hanya terdiam menundukan kepalanya, sementara Dharmadipa merasa tidak enak dan agak tersinggung melihat perubahan sikap Mega Sari setelah mengetahui bahwa Jaka adalah seorang rakyat biasa, kini tahulah ia perasaan Mega Sari pada Jaka yang membuatnya cemburu, namun ia memilih untuk diam menunggu Mega Sari untuk lebih tenang.

Setelah agak tenang dan dapat menguasai dirinya, Mega Sari mengusap air matanya, dia lalu menatap Jaka dan Dharmadipa lekat-lekat, lalu tergambarlah senyum di wajahnya yang dipaksakan, keluarlah kata-kata dari mulutnya "Kakang berdua… Aku minta maaf karena tidak bisa berpamitan pada kalian secara khusus, aku minta maaf karena kepergianku dari padepokan begitu mendadak dan harus meninggalkan kalian secara tiba-tiba, sejujurnya aku pun tidak ingin keluar dari padepokan dan berpisah dengan Kakang berdua, namun apalah dayaku, Rama Prabu menyuruhku untuk memperdalam ilmuku pada seorang guru yang ditunjuk Rama Prabu saat ini juga, maka maafkanlah aku karena aku harus pergi meninggalkan kalian".

Kata-kata bersuara halus yang keluar dari bibir manis Mega Sari sangat melukai hati kedua pemuda ini, terutama Jaka yang sedari kemarin patah hati sebab dengan status sosialnya ia tidak mungkin akan dapat bersanding dengan Mega Sari. Belum lagi luka itu pulih, Mega Sari kini harus pergi meninggalkannya, tapi sebagai seorang lelaki pantang baginya untuk memperlihatkan air matanya pada seorang wanita, dengan segala daya, ia berusaha agar air matanya tidak tumpah. Dharmadipa juga terluka, hatinya terasa sungguh berat untuk melepas Mega Sari, tapi ia masih sangat penasaran pada Mega Sari "Kalau boleh tahu, ke manakah engkau hendak pergi?"

"Ke gunung Patuha, di sanalah guruku bertapa, aku akan berada di sana selama beberapa bulan" jawab Mega Sari, Dharmadipa mengangguk-ngangguk "Gunung Patuha… Hmmm…" dia lalu kembali menatap mata Mega Sari "Mega Sari, aku sangat berharap bahwa ini bukan perjumpaan kita yang terakhir, ini juga bukan perpisahan untuk selamanya… Apakah engkau akan mengizinkan aku kalau aku hendak berjumpa lagi denganmu?"