Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 12 - Dharmadipa (1)

Chapter 12 - Dharmadipa (1)

Mega Sari tersenyum sambil mengangguk "Tentu saja, Kakang berdua boleh menemuiku, datanglah ke Rajamandala, kalau Kakang berdua mengabdi pada Rama Prabu dan Mega Mendung, tentu saja Kakang berdua bisa menemuiku!", Dharmadipa tersenyum senang karena diberi harapan seperti itu, sedangkan Jaka masih tetap menundukan kepalanya tidak berani menatap wajah Mega Sari walaupun harapan di hatinya tumbuh juga.

Melihat gelagat sepertinya Mega Sari sangat berat untuk berpisah dengan kedua pemuda tersebut, Emak Inah menghampiri Mega Sari "Gusti Putri, maaf, hari sudah mulai siang, perjalanan ke Gunung Patuha masih jauh lagi penuh rintangan".

Dengan kepala yang terasa sangat berat, Mega Sari mengangguk perlahan, dia lalu menatap Dharmadipa dan Jaka bergantian sambil senyum terpaksa, air matanya kembali meleleh "Kakang, maaf aku harus segera pergi… Aku sangat menantikan pertemuan kita bertiga selanjutnya, aku harap kita bisa bertemu lagi Rajamandala suatu saat nanti…"

Jaka dan Dharmadipa terdiam mendengar ucapan tersebut, dengan berat kedua pemuda murid kesayangan Kyai Pamenang tersebut memakasan diri untuk menatap wajah Mega Sari, gadis yang kini menguasai hati dan pikirannya, yang singgah di sanubarinya setiap waktu, yang seolah selalu menari-nari di pelupuk matanya, dan membuatnya sulit tidur, bahkan pada saat tidur pun gadis itu seolah selalu hadir didalam mimpinya.

Kembali suara sesegukan terdengar dari Mega Sari, tubuhnya terasa sangat lemas bagaikan tak bertulang, Emak Inah pun merangkulnya dan menuntunnya berjalan menuju ke kereta kudanya, Dharmadipa menguatkan hatinya lalu ia berteriak lantang "Mega Sari, aku pasti akan menemuimu! Kami berdua pasti akan ke Rajamandala dan mengabdi pada Gusti Prabu Kertapati! Tunggulah kami Mega!"

Mega Sari membalikan kepalanya, ia lalu melempar satu senyuman manis namun pilu kepada Jaka dan Dharmadipa untuk yang terakhir kalinya, lalu ia masuk kedalam kereta dan melanjutkan perjalannya, Jaka dan Dharmadipa menatap kepergian kereta kuda itu sampai hilang dari pandangan mata mereka dengan perasaan mengambang.

Di dalam kereta saat melanjutkan perjalanannya, Mega Sari terus menangis "Mak, sungguh berat hatiku untuk meninggalkan mereka berdua, aku telah terlanjur menjatuhkan segenap perhatianku pada mereka berdua sejak pertama kali aku datang ke padepokan, terutama pada Kang Jaka!"

"Jaka? Bukankah ia yang mengatakan bahwa identitasnya sendiri tidak jelas? Aduh Gusti Putri, dalam memilih jodoh bibit bebet bobot itu sangat penting, apalagi Gusti adalah seorang putri dari seorang Prabu!" sahut Emak Inah.

"Benar Mak, dari penampilan dan auranya sepertinya ia bukan orang biasa, meskipun ia memiliki bekas luka di kening sebelah kanannya tak mengurangi ketampanan dan kegagahannya, sikapnya juga sangat baik dan terpuji, perangainya sangat halus, tutur kata dan tindak-tanduknya penuh tata karma, malah aku merasa sepertinya Jaka bukan orang dari kalangan biasa, ia lebih seperti dari golongan priyayi atau keraton".

"Emak paham betul dengan perasaan Gusti Putri, dan Emak juga memang mempunyai firasat seperti itu ketika melihat pemuda yang bernama Jaka Lelana itu, tapi tetap saja kita harus melihat bibit bebet bobot orang yang kita sukai Gusti Putri" ucap Emak Inah dengan lembut sambil mengelus-elus punggung Mega Sari.

"Tapi bukankah pemuda yang bernama Dharmadipa tadi mengatakan bahwa ia adalah seorang Pangeran dari Parakan Muncang meskipun negeri itu telah hancur belasan tahun silam? Kalau benar dia seorang pangeran meskipun negerinya telah hancur, Emak pikir dia lebih memiliki peluang untuk dapat bersama dengan Gusti Putri" lanjut Emak Inah.

"Emak benar, Kakang Dharmadipa juga tampan lagi gagah, namun aku lebih menyukai Jaka yang perangainya lembut" desah Mega Sari.

"Sudahlah Gusti Putri, kita sudahi dulu pembicaraan tentang mereka, mereka berdua memang pemuda yang tampan dan gagah, saat ini Dharmadipa yang lebih mempunyai peluang, tapi mungkin saja Jaka juga bisa mempunyai peluang kalau ia menepati janjinya untuk mengabdi di Mega Mendung dan bisa menarik hati Gusti Prabu… Dan seperti yang Emak katakan kemarin, kalau Gusti Putri bisa menyelesaikan tugas Gusti dengan baik, bukan tidak mungkin Gusti Prabu akan mengabulkan keinginan Gusti Putri".

Mega Sari pun mengangguk lemah, "Semoga saja Emak… Semoga…".

***

Di sebuah taman bunga yang luas, Jaka mengenakan pakaian seorang raja berwarna biru tua lengkap dengan topi mahkotanya yang bertahta emas dan kain samping batik berwarna cokelat bermotif sama dengan ikat kepalanya yang selalu ia pakai, berjalan perlahan mengikuti Mega Sari yang mengenakan baju kebaya berwarna biru tua, rambut gadis ini digelung dan diikat oleh untaian melati lengkap dengan perhiasaan yang terbuat dari emas murni juga berlian serta mengenakan kain samping batik berwarna cokelat bermotif sama dengan yang Jaka kenakan, ia bersenandung riang sambil memetik bunga-bunga di taman bunga itu.

Alangkah bahagianya hati Jaka melihat Mega Sari yang bersenandung gembira seperti itu, tapi tiba-tiba Mega Sari menjerit dan memeluk Jaka dengan erat, taman bunga itu tiba-tiba dipenuhi ular-ular kobra, burung-burung gagak berterbangan di angkasa, lapat-lapat suara anjing srigala terdengar!

Belum habis keterkejutan mereka berdua, tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar hebat, kemudian bumi terbelah, lalu entah darimana tiba-tiba tempat itu dipenuhi kobaran api, Mega Sari menjerit berteriak-teriak ketakutan sementara Jaka hanya bisa terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa, sekonyong-konyong pemandangan itu bergetar dan semakin pudar, sosok Mega Sari pun menghilang.

Jaka pun terbangun, dalam keadaan masih setengah sadar dan jantung berdebar kencang ia memandang keadaan disekitarnya, ternyata ia berada di kamarnya sendiri di padepokan, berkali-kali ia beristighfar, lalu ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya "Astagfirullah! Mimpi apa itu tadi?" tanyanya pada diri sendiri.

Ia lalu merebahkan dirinya lagi, matanya menatap langit-langit kamarnya "Mega Sari… Pertanda apakah mimpi tadi? Apakah itu memang suatu pertanda bahwa aku memang tidak berjodoh dengan Mega Sari?" lama Jaka terdiam merenungi mimpinya, ia meyakini mimpi itu memang pertanda sesuatu sebab saat itu hari sudah hamper subuh, menurut kepercayaan orang tua mimpi pada saat menjelang subuh adalah suatu pertanda atau peringatan, maka Jaka pun bangun lalu duduk, ia pun kembali mengucap istighfar berkali-kali untuk menenangkan hatinya.

***

Di sebuah halaman keraton yang megah dan luas, Dharmadipa mengenakan pakaian seorang ponggawa berlari mengejar Mega Sari yang mengenakan pakaian seorang ratu, Dharmadipa terus berlari mengejar hingga akhirnya ia berhasil mendekati Mega Sari, ia lalu melompat menerkam Mega Sari hingga mereka jatuh berguling-guling di hamparan bunga-bunga yang berwarna-warni serta menebar bau yang sangat harum sambil tertawa-tawa.

Kedua pemuda-pemudi tersebut lalu bangun dan Mega Sari meminta Dharmadipa untuk mengganti pakaiannya, Dharmadipa pun mengganti pakaian Ponggawa itu dengan pakaian seorang raja, mereka lalu mengobrol dan saling tersenyum sambil saling berangkulan mengelilingi taman bunga di keraton itu. Pada saat mereka sampai di sebuah kolam air mancur, mereka berhenti, mereka lalu saling bertatapan, mereka mendekatkan wajahnya masing-masing.

Saat bibir mereka hendak bertemu, tiba-tiba mata Dharmadipa terbuka, dilihatnya keadaan disekitarnya, ternyata ia sedang berada di kamarnya sendiri, pria ini pun menghela nafas "Ah indahnya mimpi tadi… Sayang itu hanya sebatas mimpi" gumamnya.

Ia lalu teringat pada Mega Sari, perih sekali rasanya, dadanya terasa sangat sesak ketika mengingat sosok Mega Sari "Mega Sari… Ah hatiku sakit sekali setiap kali aku teringat kamu… Aku sangat merindukanmu Mega Sari… Aku yakin seseorang yang sering dipertemukan dalam mimpi adalah jodoh yang sejati untuk kemudian hidup bersama!" desahnya.

***

Hari berganti hari, malam berganti malam, waktu terus berputar hingga tak terasa sudah tiga bulan Mega Sari meninggalkan padepokan Sirna Raga, tapi waktu yang diyakini bisa menyembuhkan luka di hati itu ternyata tak bisa mengobati luka di hati Jaka dan Dharmadipa.

Jaka selalu berusaha menahan dirinya ketika setiap kali ia teringat pada Mega Sari, ia selalu beristighfar dan membaca doa agar dirinya tidak tergoda oleh rasa rindunya pada Mega Sari, akan tetapi tidak dengan Dharmadipa, ia tidak dapat menahan dirinya setiap kali teringat pada Mega Sari, ia sangat tersiksa dengan rasa rindunya pada Mega Sari, setiap malam ia bermimpi berjumpa dengan Mega Sari, hingga pada suatu saat ia nekat untuk pergi ke gunung Patuha saat Kyai Pamenang dan Nyai Mantili pergi ke Banten untuk pentasbihan Panembahan Yusuf sebagai Sultan Banten menggantikan Sultan Hassanudin.

"Kakang ingat pesan guru kita yang sedang berangkat ke Banten, jangan pergi dulu setidaknya sampai guru pulang!" ucap Jaka yang mencoba mencegah kepergian Dharmadipa.

"Diam kau Jaka! Jangan halangi aku! Katakan pada guru kalau aku pergi ke gunung Patuha untuk menemui Mega Sari!" bentak Dharmadipa yang melangkah menuju ke istal kuda.

Jaka lalu menoleh kepada Kadir, murid tertua padepokan Sirna Raga "Kang Kadir, Kakang murid tertua di padepokan ini, tolong ingatkan Kakang Dharmadipa!" pinta Jaka, tapi Kadir hanya terdiam dengan wajah kebingungan, sepertinya ia ragu untuk mengambil tindakan sebab Dharmadipa adalah murid sekaligus anak angkat Kyai Pamenang yang sangat dimanja dan diistimewakan oleh sang Kyai dan istrinya.

Kecewa pada Kadir yang tidak bisa mengambil sikap, Jaka kembali mencegah kepergian Dharmadipa dengan merebut tali kekang kuda Dharmadipa "Kakang! Aku mohon sekali ini saja untuk mendengarkan aku! Guru berpesan agar kita tidak pergi kemana-mana dari pedepokan ini sebab ada suatu hal penting yang ingin beliau sampaikan sepulangnya dari Banten! Bersabarlah untuk menunggu guru kembali Kakang, baru Kakang pergi ke Patuha!"

"Diam kau Jaka! Biasanya kau selalu ikut denganku! Kenapa kau sekarang malah menghalangi aku?!" bentak Dharmadipa.

"Sebab kali ini perbuatan Kakang besar sekali kesalahannya, selama ini aku selalu mengikuti Kakang walaupun melakukan perbuatan yang salah! Sekarang aku mohon Kakang yang mendengarkan aku!"

Dharmadipa mendengus kesal, ia turun dari kudanya lalu memelototi Jaka "Jadi selama ini aku salah?! Atau kau mencegah aku pergi karena cemburu padaku? Kau cemburu padaku sebab kau yang hanya rakyat jelata tidak bisa mendapatkan cintanya Mega Sari?!"

Jaka tersentak mendengar ucapan Kakangnya yang sudah keterlaluan itu, emosinya pun mulai terpancing "Kakang, jaga bicaramu! Aku tidak ada maksud apapun menghalangimu pergi! Aku hanya melakukan apa yang guru pesankan pada kita semua!" bentaknya.

Sekonyong-konyong Dharmadipa menendang ke arah wajah Jaka, Jaka segera melompat menghindar kebelakang, Dharmadipa lalu tertawa sambil berkacak pinggang "Hahaha… Berani juga kau melawanku Jaka! Kang Kadir saja tidak berani melawanku! Sekarang terimalah akibatnya!"

Jaka terkejut dengan tantangan dari Dharmadia. "Kakang tahanlah emosimu! Kita tidak perlu bertengkar lagi!".