Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 10 - Putri Mega Sari (3)

Chapter 10 - Putri Mega Sari (3)

Malam harinya, Mega Sari Nampak sedang termenung seorang diri di kamarnya, dia memegang sepucuk surat, dia lalu membaca surat tersebut untuk kesekian kalinya. Isi suratnya adalah menyuruh Mega Sari untuk keluar dari Padepokan Sirna Raga dengan diantar Emak Inah abdinya yang setia dan Ki Silah kusir kereta sekaligus pengawal pribadinya untuk sowan pada Topeng Setan dan memperdalam ilmu teluhnya pada Nyai Lakbok guru ilmu teluh dan ilmu hitamnya di Gunung Patuha.

Mega Sari terus termenung, teringat ia pada peristiwa beberapa tahun silam saat ia masih berusia tujuh tahun, saat itu ayahnya Prabu Kertapati mengenalkannya kepada seorang nenek-nenek yang sangat menyeramkan bernama Nyai Lakbok. Prabu Kertapati meminta dirinya untuk belajar ilmu hitam dan ilmu teluh dari Nyai Lakbok, ia lalu menceritakan ambisinya untuk dapat mengalahkan seluruh negeri lain di tanah pasundan sehingga ia bisa menguasai seluruh tanah Pasundan di bawah kekuasaan Mega Mendung.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ia meminta Mega Sari untuk mendukung rencananya dengan cara belajar ilmu hitam dan ilmu teluh yang dahsyat pada Nyai Lakbok, maka terpaksa ia menurutinya meskipun saat itu ia sangat ketakutan pada Nyai Lakbok.

Ternyata Mega Sari adalah seorang gadis yang cerdas, dalam tempo singkat ia berhasil menguasai ilmu-ilmu dasar dari ilmu teluh, lambat laun sifat-sifat jahat atau sifat-sifat negatif dalam dirinya terus tumbuh seiring kemajuan ilmu teluhnya. Nampaknya ia mewarisi ambisi dan keserakahan dari ayahnya hingga di usia yang masih kecil, ia sudah memiliki sifat untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Sifat jahatnya tersebut dapat ia sembunyikan dibalik senyum manisnya dan tutur katanya yang lembut. Semua tak lepas dari ajaran gurunya yang berjuluk Iblis Teluh Dari Patuha.

Betapa gembiranya hati Prabu Kertapati melihat kemajuan pesat pelajaran teluh anak gadisnya itu, apalagi setelah mengetahui bahwa Mega Sari adalah seorang gadis yang sangat ambisius dan culas, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya dan mendapatkan apa yang ia inginkan.

Setelah dirasa cukup bekalnya, Prabu Kertapati mengirim Mega Sari ke Padepokan Sirna Raga sebagai pencitraan bahwa ia menerima Islam dengan sangat terbuka sampai menitipkan putri semata wayangnya ke Padepokan Sirna Raga, juga demi menepis isu bahwa keluarga keraton menganut ilmu hitam.

Kini ayahnya mengirimi surat, menyuruhnya untuk kembali memperdalam ilmu teluhnya pada Nyai Lakbok di gunung Patuha, hatinya terasa berat untuk meninggalkan padepokan ini, sebab di tempat inilah dia mengenal dunia luar, dunia di luar tembok kaputren keraton, dunia manusia biasa bukan dunia yang dipenuhi ilmu-ilmu hitam ghaib seperti di Gunung Patuha, dan yang paling membuatnya berat hati ialah ia harus meninggalkan Jaka Lelana dan Dharmadipa, dua orang pria yang telah mencuri perhatiannya.

Emak Inah yang mengantarkan surat Prabu Kertapati pada Mega Sari mafhum dengan apa yang dirasakan oleh Mega Sari, kegalauan gadis belia itu nampak jelas dari raut wajahnya yang ayu. "Maaf gusti Putri, apakah Gusti Putri keberatan untuk meninggalkan padepokan ini?" Tanya wanita tua itu.

Mega Sari menghela nafas berat "Kalau boleh jujur… Iya Emak, hatiku berat untuk meninggalkan padepokan ini".

"Emak maklum dengan keberatan hati Gusti Putri, apalagi kalau nanti Gusti harus kembali ke keraton, emak juga memperhatikan Gusti Putri sedari tadi siang sewaktu Emak tiba disini, Gusti sering memperhatikan dua pemuda murid disini bukan?"

Wajah Mega Sari memerah mendengar ucapan Emak Inah tersebut, rupanya wanita tua yang telah mengasuhnya sejak kecil itu sangat awas pada apa yang ia lakukan, maka dengan suara terbata ia mengakuinya "… Benar Mak…"

Emak Inah tersenyum, namun wajahnya kemudian berubah menjadi sendu "Gusti putri maafkan kalau Emak lancang, akan tetapi kalau Emak boleh mengingatkan, ingatlah bahwa Gusti Putri adalah seorang putri raja dari Negeri Mega Mendung yang kini namanya kian disegani di bumi Pasundan ini, itu artinya suami gusti lah yang akan menjadi Raja di Mega Mendung ini… Harap diingat kalau Gusti putri tidak boleh sembarangan menaruh hati pada seorang pria".

Mega Sari seakan baru teringat bahwa ia adalah seorang tuan putri dari Mega Mendung, kehidupan di Padepokan Sirna Raga yang tidak memandang status dan hanya sesuai dengan norma agama seolah membuatnya lupa akan siapa dirinya, air matanya pun menetes keluar dari kedua bola matanya yang bulat indah mengingat perasaannya pada Jaka dan Dharmadipa "Oh Emak… Aku baru teringat siapa diriku ini, kehidupan di padepokan ini membuat aku terlena…"

Emak Inah ikut bersedih mendengarnya, Mega Sari mulai menangis sesegukan, ia menyandarkan kepalanya ke bahu perempuan tua itu, Emak Inah pun mengelus kepala Mega Sari "Maafkan Emak Gusti Putri, Emak sangat menyesal mengatakan hal tersebut, namun kalau Emak tidak mengatakannya Emak akan lebih salah lagi, Maafkanlah EMak hanya mengingatkan Gusti Putri saja agar tidak salah melangkah".

"Tidak apa-apa Emak, aku mengerti…" isak Mega Sari.

Emak Inah pun membesarkan hati gusti putrinya "Akan tetapi ingatlah Gusti Putri, kalau Gusti putri sudah dapat menyempurnakan ilmu yang diajarkan oleh Nyai Lakbok dan dapat menyenangkan hati Gusti Prabu, mungkin Gusti Putri dapat melakukan dan mendapatkan apapun yang Gusti Putri inginkan, maka dari itu Gusti Putri harus bersemangat untuk menyempurnakan ilmu Gusti dan menjalankan tugas dari Gusti Prabu dengan baik".

Mega Sari mengangkat kepalanya lalu mengusap air matanya, dia lalu menganguk sambil tersenyum "Emak benar, aku tidak boleh menyerah begitu saja", dia lalu terus menaruh kepalanya di pangkuan Emak Inah sambil menahan sesegukannya, lama-kelamaan ia tertidur karena keleahan.

Tak terasa air mata Emak Inah pun ikut terjatuh melihat Mega Sari yang tertidur di pangkuannya "Gusti… Betapa berat hidup Gusti Mega Sari, betapa berat hidupnya menjadi seorang putri raja, ia tidak bisa melakukan apa yang biasa dilakukan oleh gadis-gadis seusianya, bahkan untuk jatuh hati pada seorang pria saja tidak bisa ia lakukan" bathinnya.

***

Keesokan harinya saat setelah selesai sholat shubuh, Mega Sari berpamitan pada Kyai Pamenang dan Nyai Mantili, kepergiannya yang tiba-tiba sangat mengejutkan seisi padepokan, terutama Jaka Lelana dan Dharmadipa, dengan hati terluka mereka hanya bisa melihat kepergian Mega Sari setelah gadis itu berpamintan dan mengucapkan salam perpisahan pada seluruh murid.

"Keparat! Kenapa Mega Sari pergi dengan begitu tiba-tiba tanpa mengatakan apa-apa pada kita?! Kemarin pagi kita masih bisa mengobrol dengannya, malah aku yang membawakan keranjang cuciannya!" geram DHarmadipa yang sangat kecewa pada kepergian Mega Sari, sifatnya yang brangasan menambah amarahnya meledak-ledak didada pemuda ini.

"Sudahlah, Kakang… Ingatlah bahwa ia adalah putri dari Prabu Kertapati, mungkin ia mempunyai tugas dari ayahandanya" sahut Jaka yang juga kecewa dengan kepergian gadis yang ia cintai itu.

Dharmadipa melotot pada Jaka lalu menarik kerah bajunya "Apa kau tidak kecewa dengan kepergiannya Jaka?!"

Jaka menangguk perlahan "Tentu saja aku kecewa Kakang, akan tetapi kita bisa apa? Kita tidak bisa mencegah kepergiannya".

Dharmadipa melepaskan cengkramannya pada Jaka, ia lalu berjalan mondar-mandir "Tapi tetap saja ini terlalu tiba-tiba bagiku! Kalau begitu aku akan menyusulnya! Ia pasti belum jauh!"

Jaka terkejut dengan ucapan Kakak seperguruannya itu "Jangan Kakang, bisa-bisa kita nanti berurusan dengan pihak berwenang kalau berani menganggu Mega Sari!"

Dharmadipa mencibir Jaka dengan congkaknya "Cuih! Kalau kau takut, aku saja sendiri yang akan menyusul Mega Sari!" lalu ia berjalan meninggalkan Jaka menuju ke istal kuda dan langsung memacu kudanya menyusul Mega Sari. Melihat ulah Kakaknya tersebut Jaka jadi ragu, ia lalu menyusul Dharmadipa.

Kereta kuda berwarna hitam yang ditarik oleh dua kuda yang berjalan dengan kecepatan sedang itu bermodel sederhana, tidak ada atribut kerajaan dan tidak nampak seperti kereta kerajaan, dan tidak dikawal oleh pasuka kerajaan, diluar hanya tampak seorang pria tua yang bernama Ki SIlah sebagai sais kereta kuda yang ditumpangi oleh Mega Sari itu, mungkin hal ini dilakukan demi keamanan agar tidak mengundang para begal yang akan menghambat perjalan mereka.

Pada suatu tikungan, tiba-tiba ada dua orang penunggang kuda yang mencegat mereka, Ki SIlah yang berusia cukup lanjut namun matanya masih sangat awas ini segera menghentikan kudanya, dengan sigap ia segera memegang hulu golok sakti senjatanya "Siapa kalian? Mau apa?!" hardiknya.