Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 7 - Putera Petaka Kabangan (2)

Chapter 7 - Putera Petaka Kabangan (2)

Dia pun jatuh terduduk lemas, seluruh tubuhnya seolah tak bertulang dan kehilangan seluruh tenaganya, dengan perlahan ia menyeka darah di kerisnya, lalu mencium kerisnya dan menyarungkan kembali keris pusakanya.

"Istriku, maafkanlah aku, aku khilaf! Namun walaupun aku tidak jadi membunuh bayi kita, nyawanya tetap terancam karena aku sudah terlanjur mengadakan perjanjian dengan Eyang dari Alam Arwah di Kawah Gunung Patuha," ucapnya.

"Lalu apa yang harus kita lakukan kakang?" tanya istrinya yang masih menangis sambil menyeka darah di kening bayinya.

Prabu Kertapati menggosok-gosokan tangan kanannya pada sebuah batu akik berwarna hijau tua sambil mulutnya komat-kamit merapal ajian, lalu dengan lembut batu akik itu dioleskan pada kening bayinya yang terluka, dan sungguh ajaib! Luka di kening itu langsung sembuh mengering walaupun meninggalkan bekas luka.

Sang Prabu terdiam sejenak, lalu ia bangun dan memanggil Ki Patih Balangnipa, serta dua lurah tantama kepercayannya Jayadi dan Laksadi, dengan tergopoh-gopoh ketiga orang ini masuk kedalam kamarnya.

"Laksadi menyamarlah menjadi penduduk biasa, aku minta kau mencari seorang bayi laki-laki yang lahir tepat pada tujuh hari yang lalu! Aku tidak peduli bagaimana caranya, kau harus segera membawa bayi itu secepatnya kepadaku sebelum tengah malam ini!"

Meskipun terheran-heran dengan perintah itu, ditambah melihat keadaan di kamar Sang Prabu tersebut, dia langsung menjura "Baik Gusti Prabu!" Ia langsung berlalu saat itu juga.

Sang Prabu kemudian menoleh pada istrinya, "Istriku, tidak aman jika bayi itu berada di lingkungan keraton. Kita harus membuangnya saat ini juga, jangan sampai ada yang tahu kalau kau membuang bayi kita apalagi Topeng Setan!" ujar Sang Prabu. Permasuri hanya bisa diam pasrah karena ia juga faham betul keadaan suaminya saat itu, daripada anaknya harus mati menjadi tumbal.

Sang Prabu lalu menoleh pada Jayadi, "Jayadi, aku perintahkan engkau untuk membawa bayi ini ke Padepokan Sirna Raga di Tagok Apu, secepatnya malam ini juga! Jangan sampai ada orang lain yang tahu, menyamarlah menjadi rakyat biasa! Ingat kau harus bergerak cepat dan melindungi nyawa bayi ini dengan nyawamu! Setelah sampai katakan pada Kyai Pamenang bahwa bayi ini adalah anakmu sendiri, jangan katakan bahwa bayi ini adalah anakku! Katakan pada Kyai Pamenang bahwa kau menitipkan bayi ini untuk dididik diberikan ilmu pengetahuan, ilmu agama, serta ilmu kesaktian!".

Perwira muda ini menjura hormat, "Hamba, Gusti Prabu!"

Maka setelah Sang Permaisuri menulis sepucuk surat serta membuat satu tusuk cabai merah, bawang merah, dan bawang putih untuk yang diselipkan pada buntalan kain yang menyelimuti si bayi sebagai pelindung dari gangguan ghaib. Bayi itu segera dibungkus oleh sebuah kain samping bermotif batik kerajaan, Jayadi pun langsung pergi dari keraton setelah menyamar menjadi rakyat jelata.

Setelah Jayadi pergi, Sang Prabu segera menoleh pada Patihnya "Kakang Patih, Kakang aku beri satu tugas yang maha penting, aku tidak ingin rahasia tentang anakku ini ada yang tahu apalagi kalau sampai diketahui oleh Topeng Setan, maka aku perintahkan engkau untuk membunuh Jayadi dengan tanganmu sendiri setelah dia menyerahkan anakku pada Kyai Pamenang!"

Ki Patih Balangnipa agak terkejut dengan perintah tersebut, tetapi kalau sampai Sang Prabu memerintahkan ia sendiri yang melakukannya maka ia maklum kalau ini adalah suatu tugas yang sangat penting, maka ia pun menjura hormat "Daulat Gusti Prabu".

***

Padepokan Sirna Raga adalah suatu padepokan yang didirikan oleh Kyai Pamenang di puncak bukit Tagok Apu yang masih termasuk kedalam wilayah Mega Mendung. Padepokan ini masih terbilang baru namun sudah memiliki nama yang harum dan besar di dunia persilatan tanah Pasundan sebagai perguruan golongan putih yang juga menjungjung tinggi ilmu agama Islam. Setiap murid di Padepokan ini selain diajarkan Ilmu Silat Kanuragan dan Ilmu Ajian Pukulan Sakti, juga diajari ilmu Agama Islam.

Padepokan ini didirikan pada masa pemerintahan Prabu Wangsareja ayah mertua Prabu Kertapati atau ayah kandung dari Ratu Nawang Kasih, karena Kyai Pamenang dianggap banyak berjasa pada Mega Mendung, maka Prabu Wangsareja mengizinkannya untuk mendirikan padepokan yang bercorak islam, maka saat itu pula agama Islam mulai masuk dan menyebar di wilayah Mega Mendung. Tak heranlah kalau Prabu Kertapati mempercayakan Kyai Pamenang untuk mengasuh sekaligus menjadi guru anak sulungnya.

Saat itu mentari sudah terbenam di ufuk barat, ia hanya menyisakan segaris cahaya merah keemasan di garis cakrawala sebagai salam perpisahannya untuk hari ini yang tahtanya akan segera digantikan oleh sang rembulan serta kawanan bintang gemintang di layar beludru biru kehitaman yang akan segera tiba.

Di sebuah kamar di padepokan Sirna Raga, seorang pria paruh baya beserta seorang wanita paruh baya nampak baru saja menyelesaikan shalat maghribnya, yang dilanjutkan dengan membaca dzikir. Saat cahaya sang bagaskara telah benar-benar lenyap hari itu, mereka menyelesaikan dzikirnya untuk menununggu saatnya isya datang. "Istriku, entah mengapa beberapa hari ini perasaanku aneh, tadi malam aku bermimpi menangkap seorang bayi yang jatuh dari angkasa, bayi itu menggenggam bintang di kedua tangannya" Ucap Pria paruh baya itu yang tak lain adalah Kyai Pamenang pemimpin padepokan Sirna Raga.

Wanita tua di sebelahnya yang bernama Nyai Mantili yang merupakan istri dari Kyai Pamenang dan bertugas ntuk mengurus para murid wanita di padepokan ini menyahut "Hatiku juga merasakan suatu perasaan aneh Kakang, semalam aku bermimpi melihat almarhum guru kita memasangkan mahkotanya pada kepalamu, itu tandanya engkau akan mendapatkan suatu tugas yang berat!"

Baru saja mulut Nyai Mantili tertutup, ada yang mengetuk pintu kamar mereka, mereka pun segera keluar, di balai ruing padepokan ada seorang tamu, seorang pemuda yang nampak kelelahan sambil menggendong seorang bayi yang menangis dengan kerasnya.

Pemuda itu tak lain adalah Jayadi, lurah tantama kepercayaan Prabu Kertapati yang ditugasi untuk membawa bayinya pada Kyai Pamenang di Padepokan Sirna Raga. Setelah saling mengucap salam, Kyai Pamenang pun menanyakan maksud kedatangan Jayadi "Ada gerangan apakah Ki Dulur bertamu kemari?"

"Sebelumnya mohon maaf apabila hamba tidak sopan datang pada saat seperti ini, nama hamba Jayadi, hamba berniat menitipkan putra hamba pada Kyai dan dulur-dulur di padepokan ini untuk dididik menjadi manusia yang berbudi dan taat pada agama serta berguna bagi sesama manusia juga dengan alam sekitarnya" jawab Jayadi.

Kyai Pamenang memperhatikan seluruh gestur dari Jayadi. Sebagai orang yang telah banyak makan asam garam dunia, dia dapat mahfum kalau Jayadi adalah seseorang yang telah banyak berinteraksi dengan kalangan priyayi atau kalangan keraton, maka ia pun bertanya "Hmm… Kenapa Ki Dulur bermaksud untuk menitipkan puteranya kepada kami? Siapakah Ki Dulur sebenarnya?"

Jayadi berpikir sejenak, tapi ketika ia hendak menjawab, sebuah keris kecil berwarna hitam pekat meluncur dengan deras menembus punggungnya tepat di bagian jantung dari sebelah belakang! Kyai Pamenang dan seluruh murid-murid Sirna Raga yang berada di sana terkejut bukan main sebab mereka tidak menyadari kehadiran orang asing yang telah membokong Jayadi tersebut, Kyai Pamenang segera memerintahkan murid-muridnya untuk mengejar si pembokong itu, sementara ia segera melihat keadaan Jayadi "Ki Dulur bertahanlah!"

Tapi nafas Jayadi tingal satu dua, nyatalah bahwa keris kecil berwarna hitam itu telah dilumuri oleh suatu racun yang teramat jahat! Dengan seluruh sisa tenaganya Jayadi berkata "Kyai… Tolong rawat anak ini… Berikanlah ia… il… ilmu… yang… berman…faat…" dan terbanglah nyawa Jayadi meninggalkan raganya.

"Inalillahi Wainalillahi Rojiun…," ucap Kyai Pamenang sambil menutupkan mata Jayadi.

Nyai Mantili segera menggendong bayi itu. "Kakang lihatlah kain batik ini, kain batik ini bukan kain sembarangan, seperti kain dari keraton!"

Kyai Pamenang pun mengamati kain batik itu. "Kamu benar Nyai, ini seperti kain batik keraton Mega Mendung!"

"Ah lihat keningnya Kakang, ada sebuah bekas luka goresan yang cukup dalam, seperti sebuah bekas luka besetan, tapi anehnya luka ini bisa kering seperti ini!" Nyai Mantili lalu menemukan sebuah gulungan surat yang diselipkan di buntalan kain yang menyelimuti bayi itu, dia langsung membacanya

"Bayi ini bernama Jaka Lelana, mohon kepada yang memungutnya untuk merawatnya sebaik-baiknya, maaf kami orang tuanya tidak dapat membalas apa-apa kepada Kyai Pamenang yang kami hormati, semoga Gusti Allah melimpahkan rahmat dan berkahnya kepada anda..."

Kyai Pamenang terdiam sejenak sambil mengamati bayi itu. "Aku yakin bayi bukan bayi sembarangan dan bukan bayi yang berasal dari kalangan orang biasa, aku dapat melihat cahaya di keningnya!"

Pada saat itu datanglah rombongan murid-murid Padepokan yang tadi mengejar pembokong pembunuh Jayadi "Ampun guru, kami tidak berhasil mengejarnya, ia memiliki aji halimunan yang dapat membuatnya lolos dari kejaran kami, selain itu gerakannya sangat gesit".

"Hmm… Berarti pembunuh itu bukan pembunuh bayaran biasa, ia pasti memiliki ilmu yang cukup tinggi" pikir Kyai. Tapi kemudian dia disadarkan oleh tangisan bayi yang parau itu "Astagfirullah sampai aku terlupa pada bayi ini! Nyai kita akan membesarkan bayi ini sebagaimana amanat dari pengantarnya dan dari surat itu", jadilah bayi yang bernama Jaya Laksana yang kini berganti nama menjadi Jaka Lelana menjadi penghuni padepokan tersebut, menjadi murid dari Kyai Pamenang, seorang tokoh silat yang disegani di tanah Pasundan ini.