Empat belas tahun kemudian...
Sebuah kereta kuda berlambang kerajaan Mega Mendung dengan dikawal oleh puluhan pasukan khusus Balamati pengawal raja Nampak memasuki padepokan Sirna Raga, dua orang anak lelaki kecil yang sedang berlatih silat menghentikan latihan mereka menatap kedatangan tamu agung dari Rajamandala tersebut.
"Kakang Dharmadipa, lihatlah, tidak biasanya ada tamu dari kerajaan ke padepokan ini, dari manakah gerangan tamu agung itu?" Tanya seorang anak yang mengenakan ikat kepala bermotif batik pada kawan berlatihnya.
Anak laki-laki yang bernama Dharmadipa yang lebih tua satu tahun dari kawannya itu mengamati kereta dan bendera yang tamu itu "Hmm… Kalau dari kereta dan atribut tentaranya aku yakin kalau mereka dari Mega Mendung, Jaka" jawabnya pada kawannya yang bernama Jaka Lelana itu.
Seorang prajurit segera membukakan pintu kereta kuda itu dengan hati-hati, dari dalam kereta kuda keluarlah seorang pria berkumis melintang bertampang gagah yang tak lain adalah Prabu Kertapati lalu disusul oleh seorang gadis cilik yang cantik berkulit putih bersih mengenakan kebaya serba hijau dan kain batik cokelat sebagai kain sampingnya, rambutnya yang lurus bagus hitam panjang disanggulkan sedikit menyisakan sedikit rambutnya menjuntai menutupi kuduknya yang putih.
Meskipun Jaka Lelana dan Dharmadipa sering melihat santriwati di padepokan ini (yang tempatnya terpisah dari tempat para putera), mereka berdua sangat terpana melihat kecantikan gadis cilik yang baru saja turun dari kereta kuda itu, apalagi ketika mereka melihat kain si gadis itu sedikit tersingkap ketika turun dari kereta kudanya, pahanya yang putih mulus seakan bercahaya itu seperti menyilaukan mata mereka. Tumbuhlah suatu perasaan aneh yang hangat di hati mereka masing-masing yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, membuat jantung mereka berdegup kencang!
Si gadis cilik itu nampaknya merasa kalau dia sedang diperhatikan oleh dua orang anak lelaki yang berada tak jauh dari tempat ia berada. Ia lalu melirik pada mereka berdua dan melemparkan senyumnya yang manis, setelah itu ia kembali melangkah mengikuti ayahnya masuk kedalam balai riung padepokan.
"Jaka, kau lihat gadis itu? Bertapa cantik dirinya!" ucap Dharmadipa yang juga Kakak Seperguruan Jaka pada adik seperguruannya yang juga masih terbengong-bengong setelah melihat gadis itu tadi.
"Tentu saja aku melihatnya Kakang, tentunya dia seorang tuan puteri dari Mega Mendung. Ada apakah gerangan maksud kedatangannya kemari?" sahut Jaka Lelana.
"Kalau begitu mari lihat apa maksud mereka kemari!" usul Dharmadipa.
"Tapi bukankan ini pertemuan tertutup Kakang? Lihat, Kakak-kakak kita saja tidak diizinkan masuk kedalam oleh guru!" jawab Jaka.
"Ah sudahlah kalau kamu tidak mau ikut, aku akan melihatnya sendiri!" hardik Dharmadipa. Dharmadipa yang merupakan anak angkat dari Kyai Pamenang dan Nyai Mantili memang memiliki sifat yang keras kepala, kalau kemauannya tidak dituruti maka ia akan nekat melakukannya seorang diri.
Dharmadipa melompat keatas pohon, melihat Kakaknya berbuat nekat, maka Jaka juga mengikutinya, dia ikut melompat keatas pohon, setelah itu mereka berdua melompat keatas genting balairiung padepokan dan menguping pembicaraan didalam.
Di dalam ruangan, setelah saling mengucapkan salam. Prabu Kertapati pun membuka pembicaraan "Kyai, maksud kedatangan saya kemari adalah untuk menitipkan putri saya satu-satunya Mega Sari di padepokan ini untuk diajari ilmu agama dan ilmu pengetahuan".
Kyai Pamenang dan Nyai Mantili terkejut dan terheran-heran mendengar maksud dari Prabu Kertapati sebab menurut adat kebiasaan, seorang putri keturunan raja harus berdiam di kaputren keraton, "Mohon maaf Gusti Prabu, mengapa gusti hendak menitipkan putri Gusti kepada kami?" tanya Kyai Pamenang.
Prabu Kertapati mafhum dengan maksud pertanyaan Kyai Pamenang, mengusap-usap dagunya sambil tersenyum "Aku ingin putriku ini menjadi seorang yang taat beragama dan mempunyai bekal ilmu agar ia dapat melindungi dirinya sendiri kelak, apalagi ia putri saya satu-satunya yang kelak akan mewarisi tahta Mega Mendung sebab saya tidak mempunyai anak lagi. Apakah Kyai keberatan?"
Kyai Pamenang termenung sejenak sambil menatap Mega Sari dengan perasaan tidak enak. Dia teringat ketika Mega Sari masih bayi dulu, waktu itu Kyai Pamenang diundang ke istana untuk mendoakan Mega Sari yang masih bayi, waktu itu ia melihat ada suatu tanda aneh di bawah pusar diatas kemaluan Mega Sari, tanda itu berupa tanda pusaran hitam.
Menurut kepercayaan, tanda itu adalah tanda bahwa si pemiliknya memiliki perangai yang jahat serta pembawa malapetaka bagi siapa saja yang hidup bersama dengan si pemilik tanda tersebut. Namun karena ini adalah permintaan rajanya, maka ia tidak mempunyai kuasa untuk menolaknya, maka terpaksa ia menyanggupinya "Tentu saja tidak gusti prabu, hamba bersedia untuk mendidik putri paduka."
Saat itu Prabu Kertapati, Kyai Pamenang, dan Nyai Mantili merasakan ada desiran angin dari atas atap. Maka berkatalah Kyai Pamenang dengan lantang "Siapa yang berani kurang ajar menguping pembicaraan orang?!"
Di atas genting, Dharmadipa dan Jaka terkejut bukan main! "Celaka! Jaka kita ketahuan!" keluh Dharmadipa. Mereka berdua pun langsung melompat ke pohon yang berada disebelahnya, lalu melompat lagi ke sebuah pohon yang lebih tinggi dan rimbun, kemudian bersembunyi di sana.
Kyai Pamenang, Nyai Mantili, Prabu Kertapati, dan Mega Sari segera keluar dari Balairiun padepokan. Kyai Pamenang lalu menatap keatas pohon tempat Dharmadipa dan Jaka bersembunyi, sang Kyai pun tersenyum "Dasar anak-anak nakal" ucapnya, lalu dia mendorongkan tangan kananya kearah pohon tersebut, tiba-tiba bertiuplah angin dahsyat yang menggocangkan pohon tersebut. Dua sosok tubuh anak kecil pun jatuh dari atas pohon tersebut.
"Dasar anak-anak nakal! Tidak tahu sopan satun dan adat budaya! Kalian harus dihukum karena telah melakukan kesalahan! Sekarang mohon ampunilah dulu pada Gusti Prabu!" semprot Kyai Pamenang pada Dharmadipa dan Jaka yang masih mengaduh-aduh kesakitan akibat terjatuh dari pohon yang tinggi tersebut, sementara Mega Sari hanya tertawa dengan menutup mulutnya melihat tingkah Dharmadipa dan Jaka.
Akan tetapi, lain halnya dengan Prabu Kertapati, dia terkejut ketika melihat Jaka, apalagi ketika ia memperhatikan kain batik yang diikat di kepala Jaka yang ia pakai untuk menutupi lukanya di kening sebelah kanan pas diatas mata kanannya. Sedang ia termenung seperti itu, Dharmadipa dan Jaka bersujud di bawah telapak kakinya "Maafkan hamba Gusti Prabu" ucap mereka berdua berbarengan.
Prabu Kertapati lalu membungkuk membangunkan Jaka, dia lalu memperhatikan wajah Jaka dengan seksama yang membuat Jaka dan semua yang ada di sana keheranan, "Siapa namamu Nak?" Tanya Prabu Kertapati.
"Nama hamba Jaka Lelana, Gusti" jawab Jaka sambil menundukan wajahnya ketika mendapati tatapan penuh selidik dari Prabu Kertapati.
Jawaban nama tersebut membuat hati Prabu Kertapati tersentak, dia lalu bertanya lagi "Siapakah orang tuamu?"
"Hamba tidak pernah bertemu dengan orang tua hamba, menurut cerita Guru, ayah hamba meninggal ketika menitipkan hamba kepada Guru, sedangkan hamba tidak pernah tahu tentang Ibu hamba" jawab Jaka perlahan sambil tetap menundukan kepalanya.
Kyai Pamenang yang merasa tidak enak dengan keanehan itu ikut bicara "Mohon ampun Gusti Prabu, ada apakah dengan murid saya yang bengal ini?"
Merasa tersadarkan oleh perkataan Kyai Pamenang, Prabu Kertapati segera menindih dan menekan perasaannya, dia lalu menoleh pada Kyai Pamenang "Tidak apa-apa Kyai, aku hanya melihat berdua memiliki bakat yang luar biasa, bila sudah dewasa izinkanlah mereka untuk mengabdi pada Mega Mendung!".
"Daulat Gusti Prabu, tentu saja apabila bekal mereka telah cukup, hamba akan kirim mereka ke Rajamandala agar mereka bisa mengabdikan jiwa raganya pada negeri Mega Mendung" sahut Kyai Pamenang.
Setelah itu, Prabu Kertapati berangkat pulang ke Rajamandala meninggalkan Mega Sari putri semata wayangnya. Alangkah bahagianya Jaka Lelana dan Dharmadipa mengetahui bahwa Mega Sari akan tinggal menimba ilmu di Padepokan mereka, begitupula Mega Sari, ia merasa senang dapat melihat dunia luar, apalagi ketika ia mengetahui ada dua orang anak laki-laki yang menaruh perhatian padanya, ada suatu perasaan aneh yang terasa hangat di hatinya yang belum pernah ia rasakan selama ini, maklum ia adalah seorang putri raja yang selama ini harus tinggal di kaputren keraton, sekarang walaupun mereka tinggal di bangunan yang berbeda dan terpisah, tapi masih satu padepokan, diam-diam ia pun senang mencuri pandang pada Jaka Lelana dan Dharmadipa. Gejolak perasaan seorang gadis yang sedang mengalami masa pubernya telah dibangkitkan oleh perhatian kedua anak laki-laki saudara seperguruannya itu.