Sudah dua hari ini hujan turun menjelang malam. Suhu di kota pesisir pantai ini terasa lebih dingin dari biasanya. Dion memasuki kamar sambil membawa mug berisi air hangat dengan irisan jahe dan madu.
Laptopnya masih menyala. Dion meletakkan mug di samping laptop setelah meminum hampir setengah isi mugnya. Lalu dia kembali melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Tangannya yang memegang stylus kembali menggoreskan garis-garis diatas drawing tablet. Dia berencana untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum tidur. Gambar yang akan jadi salah satu materi penting besok siang.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Diliriknya nama yang muncul di layar sebelum mengusap layar dan menerima panggilan yang masuk dalam mode speaker on.
"Udah tidur, pak?" Terdengar suara usil dari ujung sana.
"Kira-kira udah tidur belum?" Dion bertanya balik. Sungguh kalimat pembuka yang sia-sia, bagaimana mungkin orang tidur bisa menjawab panggilan telepon?
"Gitu aja marah, bro. Kurang kasih sayang ya?" Kembali Chandra melontarkan komentar usil. Khas dirinya.
"Tsk, aku lagi ngerjain materi buat besok. Tanggung nih, Boss. Kalo ga ada yang penting, aku tutup ya." Jawab Dion sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
"Wah! Thanks God kamu gak lupa. Aku baru mo ingetin besok siang jangan sampe lupa. Ternyata kamu gak lupa. Memang gak salah aku milih kamu, Bro." Suara Chandra terdengar lega.
"Seriously? Kamu baru ingetin jam segini?! Kalo aku lupa betulan dan baru jam segini dikabarin, siap-siap kecewa, Boss." Sungguh basa basi sekali boss Chandra ini, Dion sudah sangat tahu tabiat sahabatnya.
"Ini kan wujud perhatianku padamu, Bro. Jangan gitu dong. Ok deh, lanjutkan perjuanganmu. Aku tunggu besok siang di studio ya." Kata Chandra mengakhiri teleponnya.
Baru saja panggilan Chandra berakhir, ponselnya kembali bergetar. Kali ini notifikasi Telegram apps dari Alesya. Bukan cuma 1 atau 2, tapi berkali-kali ponselnya bergetar. Membuat dahinya berkerut, ada peristiwa apa malam-malam begini Alesya mengirim spam. Dan kalau memang penting, seharusnya dia langsung menelpon saja kan?
Dion memutuskan untuk menyimpan pekerjaannya dulu. Tinggal sedikit lagi, besok pagi sebelum turun ke kantor dia bisa menyelesaikannya. Setelah menutup laptopnya, menghabiskan air jahe madu yang tinggal sedikit, dia pun melangkah ke arah kamar mandi untuk melakukan ritual sebelum tidur.
Setelah lima belas menit berlalu, Dion baru naik ke tempat tidur dan meraih ponselnya. Memeriksa pesan apa yang dikirim Alesya malam-malam begini. Hanya sedetik setelah kunci layar dibuka dan notifikasi di tekan, muncul sederetan pesan Alesya. Bukan hanya text tapi juga foto.
[Om, sepertinya kamu harus ambil langkah cepat kalau gak mau disalip sama orang yang punya potensi setara.]
Berikutnya ada 3 foto yang dikirim Alesya. Pertama foto Adit berdua dengan seorang gadis kecil berambut panjang. 'Anak pak David.' Kata Dion dalam hati.
Kedua foto gazebo yang tampak familiar dengan taman dan jalan setapak berbatu. Matanya langsung mengenali sosok Dyan yang ada di dalam gazebo walau posisi foto diambil dari jauh. Dan dihadapannya ada seorang laki-laki yang wajahnya tertutup oleh ponsel yang sedang dipegangnya.
Ketiga, tampak foto wefie yang sepertinya diambil oleh Adit. Di sebelahnya tampak Dyan dan gadis kecil dari foto sebelumnya ada di belakangnya, sedang duduk di sebelah pak David?
Berikutnya sebuah pesan text lagi.
[Kemaren siang pak David ngajak Adit dan Dyan makan siang. Aku baru tau malemnya dari Adit. As you can see, Adit deket banget sama Isabel. Jadi ada kemungkinan kan, Om?]
[If you wanna talk about this, aku tunggu telponnya. Sebagai info ya, aku denger sendiri kalo Adit bilang dia cari calon suami buat Bunda-nya.]
Dion tersenyum membaca pesan keponakannya. Setelah mempertimbangkan beberapa saat, dia menekan ikon 'telepon'. Baru saja panggilan tersambung sudah terdengar suara Alesya dari seberang sana.
"Gimana Om? Ini data valid loh. Foto-foto langsung dapet dari Adit loh." Alesya langsung bertanya tanpa mengatakan salam pembuka.
"Ya, thanks ya Al." Jawab Dion singkat.
"That's it? Itu aja? Gak ada pertanyaan lain? Kok gak kaget?" Alesya melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. Heran dengan reaksi Dion yang diluar ekspektasi. Sebelum mengirim pesan, Alesya sudah membayangkan Dion yang akan bertanya panjang lebar mengenai kejadian makan siang kemarin. Tapi kenyataannya, Dion sangat tenang. Terlalu tenang malah. Jadi mencurigakan.
"Kaget juga sih. Tapi kemaren. Sekarang udah gak lagi." Jawab Dion singkat. Dia bisa membayangkan kekecewaan di wajah Alesya yang merasa sudah memiliki informasi 'ring 1'.
"Kemaren kagetnya? Kok bisa? Dyan udah ngabarin ya?" Tanya Alesya lagi.
"Bukan Dyan. Tapi Adit."
"Adit? Kok bisa?" Alesya makin penasaran.
"Kemaren siang dia tiba-tiba video call. Aku pikir ada apa, ternyata dia mo liatin suasana restoran yang baru pertama kali dia datengin. Katanya restoran kemaren punya kolam Koi yang keren, jadi dia sengaja VC buat nunjukkin ke aku." Akhirnya Dion menceritakan alasan kenapa dia tidak terkejut setelah mendapat pesan Alesya.
"Oh ya? Trus kamu tau kalo Dyan ikut?"
"Ya, Adit juga cerita kalo dia kesana diajak pak David dan putrinya karena pak David sudah reservasi buat family lunch tapi gagal karena orangtuanya mendadak harus ke cabang hotel resort. Selama VC, Adit juga shoot suasana sekeliling taman, aku liat Dyan juga pak David. Abel juga ikut VC berdua Adit." Dion kembali menjelaskan panjang lebar.
"Hoho, jadi karena Adit laporan jadi tenang ya? Bagaimanapun juga kan Om udah ketinggalan selangkah. Pak David yang baru kenal Dyan udah bisa ngajak makan. Lah...ini? Pak Dion yang katanya udah kenal 4 taun, kemana aja?" Walau terdengar seperti menggoda Dion, tapi sesungguhnya jauh di lubuk hati Alesya ada rasa was-was. Setelah mengetahui ketertarikan adik bungsu ayahnya ini kepada Dyan, dia jadi orang yang paling bahagia. Membayangkan sahabat satu-satunya bisa menjadi bagian dari keluarganya.
Sekarang imajinasi itu sedikit terusik. Kenapa harus ada rival yang muncul di tengah perjalanan memiliki hati Dyan? Terlebih lagi rivalnya adalah pak David. Owner dari project yang sedang mereka kerjakan. Akankah ini menjadi penghalang dalam hubungan yang sedang diperdalam ini?
"Jadi maksudnya kamu gak tenang abis dapet cerita Adit?" Dion balik bertanya. Dia tahu kalau Alesya memberi dukungan penuh untuk niatnya mempersunting Dyan. Bahkan menawarkan bantuan untuk memuluskan niatnya, dengan menjadikan dirinya sebagai mak comblang terselubung.
"Lumayan. Aku kan udah ngebayangin jadi ipar sama Dyan dari dua tahun lalu, setelah aku tau kalo Om akrab dia IG sama Dyan. Kayaknya ini lebih jadi misi aku deh daripada Om. Jadi usaha dong Om." Kata Alesya nyaris terdengar seperti rengekan.
Dion terkekeh mendengar perkataan Alesya, "Sekarang kamu jadi kedengeran kayak Ibu."
"Aku kan emang perwakilan Oma... Jadi Om, hati-hati kesalip ya." Dion hanya menjawab dengan gumaman.
"Udah malem nih, besok kita cerita lagi ya. Jangan lupa rapat jam 10 di kantor. Jangan telat, soalnya aku harus ke studio jam 3." Kata Dion berusaha mengakhiri telepon.
"Ok. Besok jam 3 itu jadwal pertama ya? Waah, bisa dimulai dari situ dong. Ayo jangan sampe kesalip Om." Suara Alesya terdengar ceria lagi.
"Iya iya. Udah ya, Al. And thanks for the advice." Dan perbincangan penting diantara keponakan dan Om ini pun berakhir.
Dion meletakkan ponselnya di meja untuk kemudian berbaring di tempat tidurnya dan memejamkan mata. Tapi kantuk tak segera hadir, karena sesungguhnya Dion juga merasa kalau dirinya tidak bisa menunggu Dyan untuk menyadari perasaannya pelan-pelan.
Saatnya untuk mengambil langkah yang lebih nyata demi penantian selama bertahun-tahun tak berubah jadi sia-sia.