"Yan, aku ke kantor dulu ya." Wajah Alesya muncul dari balik pintu. Dyan yang sedang membereskan meja kerjanya di butik, langsung menghentikan kegiatannya.
"Ini kan Sabtu? Tetap ngantor ya?"
Masih dari balik pintu, Alesya menjawab, "Ada rapat jam 10."
"Tapi kita kan rencana mo ke cafe nanti sore bareng Adit. Rapatnya sampe jam berapa?"
"Kayaknya udah selesai sebelum jam 3. Nanti aku kabarin ya. Aku berangkat dulu." Kata Alesya sambil melambaikan tangannya. Alesya dan Dion kelihatannya memang sibuk sekali sejak awal mereka pindah ke kota ini. Baru bergabung dengan team Chandra di tengah project yang sudah berlangsung membuat mereka berdua harus berusaha menyamakan progres pekerjaan yang sudah ada. Terlebih lagi soft launching cabang hotel resort keluarga Jansen waktunya sudah dekat.
Jadi, walaupun Alesya tinggal bersamanya, nyaris hanya di waktu malam mereka bisa berkumpul bersama.
'Ketemu Dion terakhir juga waktu mereka pulang rapat di hotel resort minggu lalu.' Dyan berkata dalam hati. Tapi kemudian merasa heran sendiri, kenapa malah jadi kepikiran Dion? Acak sekali pikirannya.
"Bunda!" Suara Adit membuyarkan lamunannya. Putranya tampak memperhatikannya dari pintu ruang kerjanya sambil tersenyum.
"Ya nak?" Setelah Dyan merespon panggilannya baru Adit berjalan mendekati bundanya.
"Abang udah selesai bantuin kakak-kakak beresin butik. Masih ada waktu sampe jam 2. Abang ke rumah Glenn dulu ya, Bun. Nanti Abang pulang waktu Zuhur. Baru kita berangkat bareng." Adit meraih tangan Dyan dan mencium punggung tangannya.
"Ok, salam buat Mama Glenn ya. Bunda juga masih ada kerjaan sedikit ini. Makasih ya nak, udah bantuin beberes butik." Katanya sambil mengelus kepala Adit. "Makan siang di rumah kan?"
"Iya Bun. Nanti boleh Abang ajak Glenn makan siang disini? Jadi kita bisa berangkat bertiga." Dyan menganggukkan kepala memberi persetujuan.
Setelah memeluk bahu bundanya sebentar, Adit pun berjalan keluar. Tapi tiba-tiba kepalanya kembali muncul dari balik pintu.
"Bunda, jangan keseringan melamun." Katanya sambil tersenyum dan segera menghilang dari pandangan Dyan. Membuat alis Dyan jadi berkerut.
'Melamun? Kapan aku melamun?' Tanya Dyan dalam hati. Belakangan putranya seringkali menggodanya. Seperti tadi malam, Adit tiba-tiba mengirim beberapa file foto dan video ke ponselnya.
Ternyata selain wefie setelah makan siang bersama David dan Isabel, dia juga memotret beberapa foto candid dirinya yang diambil dari arah taman. Juga ada wefie Adit bersama Abel dengan background kolam ikan koi. Dan beberapa screenshot saat Adit sedang melakukan video call dengan Dion.
"Bun, enak ya suasana restorannya kemaren? Adit suka deh konsep tamannya. Juga duduk di pinggir kolam ikan koi itu rasanya betah. Makanannya juga enak ya, Bun. Kapan-kapan kita kesana lagi yuk." Kata Adit semalam – sambil menunjukkan foto-foto dan video yang diambilnya – untuk kemudian memilih beberapa dan mengirimkannya ke ponsel Dyan via bluetooth.
"Ya, lain kali kita kesana lagi sama tante Al." Dyan mengiyakan, dirinya juga menyukai konsep restoran taman kemarin. Sejak pertama kali dibuka, belum sekalipun Dyan mencoba datang ke restoran yang harus reservasi meja dulu sebelumnya. Karena restoran itu terkenal sebagai restoran keluarga, yang sering dijadikan tempat kumpul keluarga. Kalau datang hanya berdua Adit, sementara yang lain datang bersama keluarga besar. Rasanya pasti sepi. Tapi sekarang ada Alesya...dan Dion?
"Bun, lama banget ngeliatin fotonya?" Suara Adit membuyarkan lamunannya. Berusaha untuk tetap tenang, Dyan beralasan, "Abang pinter nih motretnya. Fotonya bagus-bagus."
"Oooh, tapi yang ini bukan foto loh. Coba Bunda liat lagi. Yang ini screenshot yang Abang ambil waktu lagi video call sama om Dion." Katanya sambil menunjuk layar ponsel Dyan dan tersenyum usil. Dyan yang baru sadar sudah memberi alasan yang salah, segera memberi alasan baru. "Maksud Bunda foto yang sebelumnya." Tapi lagi-lagi dirinya salah, karena setelah Adit menggeser layar ke foto sebelumnya yang tampil masih wajah Dion dalam screenshot video call.
"Hayooo, Bunda ngelamun ya?" Goda Adit.
"Bunda gak ngelamun, tadi cuma kepikiran kapan mo ke restoran itu lagi sama Abang. Kira-kira kapan tante Al bisa ikut sama kita." Kata Dyan akhirnya jujur pada anaknya –walau tidak sepenuhnya.
"Oooh, gitu. Abang kira Bunda lagi ngeliatin muka om Dion yang keliatan keren." Adit masih melanjutkan misi menggoda bundanya. Membuat Dyan hanya bisa geleng-geleng kepala. Kehilangan kata-kata untuk membalas komentar Adit.
"Tapi om Dion emang cakep ya, Dit? Padahal cuma lagi video call, gak pake filter-filteran." Tiba-tiba wajah Alesya sudah ada diantara Adit dan Dyan. Membuat Dyan terkejut setengah mati, karena Alesya datang tiba-tiba tanpa suara.
"Setuju, tan!" Timpal Adit. Entah sudah berapa kali Adit dan Alesya bahu membahu untuk mengusili Dyan. Sampai Dyan sudah merasa tidak perlu membuang tenaga membela diri. Karena makin Dyan membantah dan marah tiap kali mereka membawa-bawa nama Dion dan dikaitkan dengan dirinya, maka mereka berdua akan makin gencar menggodanya. Sekarang lebih baik diam saja.
-----
Mulai Sabtu ini, Dyan akan ikut Adit ke DigiStudio. Memenuhi permintaan Adit untuk ikut kelas digital drawing bersamanya. Walau dirinya awalnya merasa keberatan, tapi mendengar alasan putranya yang ingin bisa memiliki banyak waktu bersama, bagaimana mungkin dia menolak.
Wendy dan Rose pun mendukung penuh ide Adit, mereka bahkan mengusulkan Dyan untuk tidak mengkhawatirkan butik. Dan menghabiskan waktu bersama Adit setiap selesai workshop. "Tenang aja, Bu. Nanti kalo ibu kesorean pulangnya, kita bakal tungguin sampe ibu pulang. Atau kalo ibu percaya, biar kita pegang kunci cadangan. Jadi butik bisa langsung dikunci setelah tutup."
Anak-anaknya menginginkan dia untuk belajar sesuatu yang baru. Dyan akhirnya menyerah dan setuju untuk mengikuti kelas. Hal yang sudah lama tidak pernah dialaminya. Setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya di kota B, tidak sekalipun Dyan berencana untuk sekolah lagi. Setelah Adit hadir, dirinya sibuk berusaha menerima kehidupan yang baru. Tapi hidup memang tidak bisa selalu datar. Selalu ada yang baru setelah yang kemarin terlewati.
'Sekarang saatnya jadi ibu dari anak remaja. Adit bukan anak-anak lagi.' Dyan mengingatkan dirinya.
Ding!
Notifikasi pesan baru masuk. Membuyarkan monolog dalam diri Dyan. Dibukanya kunci layar ponsel dan melihat ada nama Dion disana. Ada apa? Bukankah tadi Alesya bilang jam 10 ada rapat?
Dion : [Dy, kata Ale nanti sore kamu bareng Adit dan Ale mau ke cafe. Would you mind if I join in?]
Dyan: [Alesya rencana memang mau ikut, tapi katanya hari ini sibuk. Bukannya sekarang lagi rapat?]
Dion: [Ya, tadi kita rapat review hasil pekerjaan minggu ini. Udah selesai kok. Kan udah jam makan siang.]
Dyan: [Ooh, sebentar ya. Dikira tadi rapatnya lama.]
Dion: [Aku punya jadwal lain siang ini. Jam berapa kalian pergi?]
Dyan: [Sore, atau mungkin juga malam. Soalnya aku dan Adit juga ada janji siang ini sebelum ke cafe. Selesainya sekitar jam 5.]
Dion: [That's perfect. Soalnya jadwalku juga selesai sekitar jam itu. Ok, sekarang aku lanjutin kerjaanku dulu. See you soon.]
See you soon? Dyan membaca ulang obrolan mereka barusan. Belum ada persetujuan darinya untuk mengajak Dion. Kenapa kesannya seolah-olah dirinya memang berencana ingin mengajak pria ini ikut serta?