"Kenapa lama banget, Om. Udah ditungguin dari tadi loh." Kata Alesya dengan nada protes.
'Ditungguin? Artinya Alesya tahu dong kalau Dion jadi mentor disini? Kenapa dia gak pernah cerita? Alesya kan tau kalo aku diajak Adit untuk ikut workshop disini? Trus, maksudnya sekarang maksudnya dia juga udah tau kalo Dion ada rencana mau ikut ke cafe?'
Alesya menggandeng tangan Dyan yang masih terdiam dalam bingung. Benak Dyan dipenuhi oleh pertanyaan yang tidak terucapkan. Satu hal yang akhirnya diyakini Dyan, pasangan Om dan keponakan ini memang benar-benar kompak.
Sebuah Pajero hitam parkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Alesya mendorong Adit ke kursi depan, lalu menarik Dyan dan Glenn untuk duduk di kursi tengah bersamanya.
"Sekarang kita kemana dulu?" Tanya Dion sambil memasang seat belt-nya.
"Boleh antar Glenn dulu, Om? Soalnya Glenn harus nolong Mamanya tiap Sabtu dan Minggu. Padahal sih tadinya dia mau ikut juga." Kata Adit yang duduk di samping Dion.
"Wah, keren banget Glenn. Calon pengusaha juga nih kayaknya." Komentar Dion membuat Alesya menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata dalam hati, 'Keliatan banget ya Om. Bukan cuma Adit, si Glenn juga mo diambll hatinya. Demi menggapai cita-cita...'
Sementara Dyan yang masih diam, hanya mendengarkan perbincangan semua orang. Sepertinya cuma dirinya yang terkejut Dion hadir di digiStudio sebagai mentor. Juga cuma dirinya yang tidak tahu kalau Dion memang akan pergi bersama mereka langsung dari tempat ini, bahkan membawa kendaraan untuk mengantar mereka semua.
"Gimana tadi rasanya kelas pertama, Yan? Materinya seru gak? Langsung praktek ya?" Alesya melontarkan beberapa pertanyaan sekaligus. Berusaha memecah keheningan Dyan.
"Hmm, seru juga. Ya langsung praktek, soalnya Dion langsung memperkenalkan basic tools, kasih contoh dan suruh kita cobain langsung." Jawab Dyan. Dari nada bicaranya Alesya bisa memastikan kalau Dyan sudah 'kembali bersama mereka' lagi.
"Gimana si Om jadi mentor? Ngebosenin gak?" tanya Alesya lagi.
"Gak ngebosenin sama sekali." Jawab Dyan singkat. "Kayaknya kamu udah biasa jadi mentor ya?" Tiba-tiba Dyan mengajukan pertanyaan pada Dion sedang berkonsentrasi mendengarkan petunjuk jalan dari google map.
"Jadi mentor? Ada beberapa kali sih." Jawab Dion singkat, walau dirinya tidak bisa melihat wajah Dion dari belakang, Dyan bisa mendengar senyumannya saat menjawab pertanyaannya.
"Iya, keliatan sih. Soalnya gak ada canggungnya ngomong di depan banyak orang." Kata Dyan lagi.
"Si Om sih kalo ngomong depan orang banyak udah sering, Yan. Gak perlu jadi mentor, pas presentasi desain biasanya emang jatah Om yang jualan." Komentar Alesya menimpali. Dalam hati dia sudah berniat harus mulai mempromosikan nilai-nilai plus Dion. Dengan harapan sahabatnya bisa segera tertarik dengan om-nya ini.
"Bukannya Om sebelum ini kerjanya bukan di Indonesia? Berarti presentasinya pake bahasa Inggris dong?" Tiba-tiba Adit menimpali, wajahnya melihat ke arah Dion dengan pandangan penuh kekaguman. Dion hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Kalo bahasa Inggris sih biasa aja, Dit. Tante Al juga bisa. Tapi kalo bahasa Italy baru tante Al gak bisa."
"Emangnya om Dion bisa bahasa Italy?" Tanya Adit lagi, kali ini ekspresi kagum di wajahnya berlipat ganda.
"Buat sekedar ngobrol, bisa. Tapi kalo presentasi masih harus pake konsep." Jawab Dion.
"Weiizz! Keren banget!" Seru Adit dan Glenn bersamaan.
"Ya, harus ngerti lah. Kan Om Dion pernah kerja di salah satu art studio disana. Waktu itu tante Al belum diajak ikutan, soalnya masih kerja di Jakarta." Alesya menambahkan informasi lain. Dan perbincangan seru diantara mereka bertiga berlangsung sampai kedepan restoran Mama Glenn. Dion sesekali menanggapi pertanyaan, sementara Dyan kembali diam dan mendengarkan.
Selama ini Dyan tidak pernah bertanya tentang latar belakang Dion d'arte –sahabat onlinenya ini. Dari awal perkenalan mereka di instagram, hanya karena mengagumi hasil karya ilustrasinya dan foto-fotonya. Walau Dion sudah mengakui kalau dia bekerja di Eropa, tapi Dyan tidak pernah menanyakan secara detail di negara mana Dion bekerja. Atau di perusahaan apa? Atau sebagai apa?
Dyan hanya tahu, kalau Dion bekerja di bidang desain. Dan punya hobi yang sangat erat hubungannya dengan desain. Yaitu menggambar dan fotografi.
Perbincangan mereka tidak pernah jauh dari dua topik itu, kadang mereka berbagi buku apa yang sedang dibaca, atau film apa yang ditonton, musik apa yang sedang didengar, atau kejadian-kejadian sederhana yang berkesan.
Sekarang setelah tahu kalau Dion ternyata selain memang bekerja di bidang desain juga ternyata bisa dan biasa membagikan ilmu secara profesional sebagai mentor. Dyan melihat sahabatnya ini dalam imej yang berbeda.
Fakta baru lain tentang Dion yang sudah lebih dulu bekerja di luar negri sebelum Alesya ikut bersamanya, Dion yang fasih berbahasa asing, Dion yang ternyata adalah salah satu co-founder perusahaan tempat Alesya bekerja di Inggris. Membuat Dyan tidak bisa berkomentar apa-apa.
Dyan merasa sahabatnya Diondarte dan Dion adalah dua orang yang berbeda. Diondarte yang dikenalnya di instagram selama 4 tahun hanyalah pribadi yang sederhana dan santai. Sama sekali tidak seperti Dion yang diceritakan Alesya sekarang. Dion yang sangat sibuk dan terdengar agak 'gila kerja'. Karena tanpa kegilaan itu tidak mungkin bisa membangun usaha di negara lain?
===
Dion berhenti di depan cafe yang dituju. Cafe ini jadi favorite Adit dan Dyan karena suasananya yang tenang dan nyaman. Berupa cafe sekaligus toko buku dan perpustakaan. Rata-rata pengunjung adalah orang-orang yang mencari tempat nyaman untuk bekerja atau sekedar membaca buku sambil menikmati kopi.
Tapi karena letaknya yang cukup jauh dari rumah, Adit dan Dyan harus menyediakan waktu spesial kalau ingin pergi kesini. Turun dari mobil, Adit langsung berjalan di samping Dion.
"Disini asik om, di lantai 2 cafe ada toko buku dan juga perpustakaan. Trus di lantai 3 sering jadi tempat short course hand lettering, kadang workshop cat air, pokoknya yang craftmenship deh. Trus toko bukunya juga asik. Selain buku, mereka jual stationery yang jarang ada di toko lain. Jadi mirip hobby shop juga sih." Dengan semangat Adit menjelaskan tentang cafe favoritnya kepada Dion yang menanggapi dengan antusias.
'Selalu begitu kalau sudah sama Dion, Adit jadi anak-anak banget.' Dyan membatin, melihat interaksi putranya dan sahabatnya. Ada rasa senang tapi juga ada rasa bersalah yang muncul bersamaan dalam hatinya.
Senang karena Adit terlihat lebih bahagia sejak kenal dengan Dion. Dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus berhati-hati, bahkan sejak pertemuan pertama. Dyan bisa merasakan sikap Adit yang nyaman di hadapan Dion. Sikap yang hanya ditunjukkannya pada orang-orang tertentu, yang sudah dipercaya. Dan kebahagiaan Adit artinya kebahagiaannya juga.
Tapi Dyan juga merasa bersalah, karena keputusan hidupnya untuk menjadi orang tua tunggal telah membuat anaknya lebih cepat dewasa dari usianya. Membuat Adit selalu berhati-hati dalam bersikap di hadapan orang lain, karena tidak ingin bundanya dianggap orang tua yang buruk dalam mendidik anak.
"Adit tiap ketemu Om, jadi cerewet ya?" Komentar Alesya membuyarkan lamunan Dyan.
"Iya, Adit biasanya begitu cuma sama orang yang udah kenal lama." Jawab Dyan menyetujui.
"Gitu ya? Tapi aku juga ngerasain sih, Adit emang lebih dewasa daripada umurnya. Pikirannya juga udah lebih jauh daripada anak-anak seumur dia." Kata Alesya lagi, yang ditanggapi dengan anggukan oleh Dyan.
"Tapi kalo udah sama Om, dia langsung jadi manja gitu ya?" Lagi-lagi Dyan hanya mengangguk menanggapi komentar Alesya.
"Om juga keliatannya kalo lagi sama Adit jadi santai banget ya?" Kata Alesya lagi sambil melirik ke arah Dyan yang dari tadi pandangannya tidak lepas dari kedua pria di depan mereka.
"Oya?..." kata Dyan, singkat.
"Jadi menurut kamu gimana, Yan?"
"Gimana apanya?"
"Kamu gak mau liat pemandangan gini tiap hari?"
"Maksudnya?" Dyan akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah Alesya. Alisnya berkerut, tidak memahami maksud sahabatnya.
"Bunda!" Tiba-tiba Adit sudah ada di hadapan Dyan, meraih tangannya dan berkata, "Ayo dong, nanti meja favorit kita diambil orang."Kata Adit sambil menarik tangan bundanya supaya berjalan lebih cepat.
Alesya yang tertinggal di belakang tersenyum melihat sahabatnya yang sudah lebih dulu masuk ke cafe bersama putranya.
"Maksudku, kenapa kamu, Adit dan om Dion gak sekalian aja mulai hidup bahagia setiap hari?" Gumam Alesya sambil menyusul ke dalam cafe.