Sementara di saat yang hampir bersamaan di sebuah cluster perumahan. Terdengar suara tawa gadis kecil di halaman depan salah satu rumah berlantai dua. Abel kelihatan senang sekali karena Emily dan David hari ini bisa menemaninya bermain. Terlebih lagi, kali ini Opa dan Oma-nya juga ada di rumah. Keadaan yang sangat jarang terjadi karena biasanya Opa dan Daddy-nya lebih sering di luar rumah untuk urusan pekerjaan.
Rambut ikal coklat mudanya terlihat basah oleh keringat. "Momily!" Panggil Abel tiba-tiba sambil melempar bola ke arah Emily, namun Emily yang tidak menyangka akan menerima lemparan Abel jadi terhuyung-huyung berusaha menangkap bola berwarna biru itu. Melihat Emily yang kemudian terduduk di rumput setelah gagal menyambut bola, Abel kembali tertawa. Emily dan David pun ikut tertawa bersama. Sudah lama mereka tidak berkumpul seperti ini.
Sementara pak Jansen dan istrinya sedang duduk di bawah gazebo di sudut halaman sambil menyaksikan anak-anaknya dan cucu perempuan mereka yang bermain. Sofie ikut tertawa kecil saat melihat Emily yang terduduk di rumput karena gagal menangkap bola.
"Gak terasa ya, Abel sudah mau ulang tahun ke-4." Kata pak Jansen sambil menghirup teh chamomile yang masih hangat. Walau sudah berusia 74 tahun, tapi pria keturunan Belanda ini masih terlihat fit. Selain warna rambut yang sudah dihiasi uban lebih dari setengah kepala serta kerutan yang dalam di dahi dan sudut mata, bagi orang yang baru pertama kali bertemu pasti akan mengira usianya 10 tahun lebih muda.
"Ya, sudah hampir 4 tahun juga sejak Siska pergi meninggalkan kita. Kasihan anak itu bahkan tidak sempat merasakan anaknya dalam pelukan." Kata wanita yang duduk menemani sejak tadi di sisinya. Sophie kemudian ikut mengangkat cangkirnya.
"Hmmm.... Siska dan Abel, mereka berdua tidak sempat saling mengenal. Sudah 4 tahun saja, ya? Rasanya baru kemarin terjadi." Kata Sofie lagi, matanya masih melihat ke arah gadis kecil yang sedang berlari-lari di depannya.
"Dave, anak itu... Menurut Mami, dia sudah bisa menerima wanita lain untuk jadi pendamping? Papi gak bisa membayangkan Abel tumbuh besar tanpa ada ibu yang membesarkannya."
"Entahlah, sejak Siska pergi, rasanya Dave lebih sibuk mengurus pengembangan bisnis hotel kita. Walaupun Mami lihat dia tetap berusaha jadi orangtua yang bertanggungjawab buat Abel, tapi sepertinya dia belum bisa menghilangkan rasa bersalahnya pada Siska." Ada kesedihan yang tertahan di dalam ucapan Sofie pada suaminya. David memang pernah menceritakan padanya, perasaan bersalah pada almarhum istrinya yang pergi meninggalkan mereka tanpa sempat mengenali anak yang dia lahirkan.
David merasa bersalah, karena belum cukup membalas cinta istrinya yang tanpa syarat. Walau mengetahui David bersedia menikahinya hanya karena permintaan orangtuanya, demi melepaskan diri dari trauma masa lalu. Siska tetap berusaha menjadi istri yang baik untuk David. Menerima suaminya apa adanya, berusaha memahami dan bahkan bersedia untuk mengandung anaknya dengan harapan bisa membantu David lepas dari jeratan masa lalu.
Tapi Tuhan berkehendak lain, tidak seorangpun yang menyangka kalau Siska akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya setelah putri kecilnya berhasil dilahirkan.
David merasa, dia belum sempat membalas kasih sayang yang diberikan istrinya. Setelah Siska pergi, baru dia merasa menyesal karena tidak berusaha lebih keras untuk melepaskan diri dari trauma. Penghianatan dari orang yang dia cintai dan kebohongan dari masa lalu yang mengikat hatinya, membuat dia tidak bisa melihat cinta yang ada di hadapannya.
David pernah berkata pada Sofie, kalau dia ingin membesarkan Abel sendiri. Untuk membayar rasa bersalahnya pada Siska. Dia ingin Abel tahu, kalau dirinya juga menyayangi wanita yang melahirkan putrinya dengan tidak mencari pengganti. Dari awal David telah mengenalkan Abel pada ibunya, sosok yang mengandung dan melahirkan dia namun tidak lagi hadir diantara mereka. Karena sudah berpulang ke sisi Tuhan lebih dulu.
"Aku mengerti perasaan anak itu, dia memang terlalu sentimentil. Waktu pertama kali dia dikhianati oleh perempuan itu, dia juga butuh waktu lama untuk bangkit. Setelah Siska pergi, dia lagi-lagi mengikat hatinya dengan masa lalu. Tapi, bagaimanapun juga dia harus memikirkan kepentingan putrinya."
"Aku ngerti Papi mau Abel punya ibu, tapi aku juga ngerti perasaan Dave. Kalau bukan dia yang buka hati duluan, mana bisa kita memaksa." Sofie sangat faham dengan putra sulungnya ini. Dulu saat David akhirnya bersedia menerima Siskajuga setelah akhirnya dia sadar, tidak akan mungkin mencari penjelasan dari wanita yang sudah pergi meninggalkan dia tanpa alasan yang jelas dan menghianatinya.
"Mam, ngomong-ngomong siapa teman Abel yang kemarin itu? Yang katanya Abel akrab banget padahal baru kenal?" Tiba-tiba pak Jansen teringat cerita cucunya soal teman baru yang dia sukai.
"Oh, Adit? Dia anak dari desainer baju ulangtahun Abel."
"Adit. Anak laki-laki ya? Berapa umurnya?"
"Umur Adit 14 tahun, Pi..."
"Sudah remaja ya..."
"Mmm,... Anaknya ramah, Pi. Bukan cuma Abel, aku juga ngerasa langsung dekat. Ibunya berhasil membesarkan anaknya sendirian. Dia cerita, kalo Adit juga gak kenal ayahnya."
"Gak kenal ayahnya? Ayahnya meninggal?"
Sofie lalu menceritakan kembali pada suaminya, latar belakang Adit seperti yang pernah didengarnya dari Dyan. Bahwa Dyan mengalami pelecehan sampai akhirnya mengandung Adit diluar kehendaknya. Bahwa Dyan tanpa sepengetahuannya sudah dijebak oleh temannya sendiri dan menjadi korban perkosaan. Dan tentang Dyan yang beruntung bisa menyelamatkan diri dari orang yang sudah melecehkannya dan kemudian setelah mengetahui dirinya mengandung karena 'kecelakaan' itu, dia memutuskan untuk tidak menikah dan membesarkan anaknya sendiri.
Sepanjang mendengar cerita istrinya, pak Jansen terdiam. Beragam perasaan berkecamuk dalam hatinya, ada rasa iba karena wanita yang saat itu masih sangat muda, harus dihadapkan oleh kondisi yang sangat menyakitkan dan memalukan. Beliau bisa membayangkan betapa bingung, takut dan sedih Dyan setelah mengalami kejadian itu. Dan ada juga rasa kagum yang muncul, karena walau memutuskan untuk menjadi ibu tunggal, dia tetap bisa membesarkan anak yang lahir tanpa jelas siapa ayahnya dengan tulus. Dan tetap memberi kasih sayang tanpa menyalahkan kehadiran anak itu dalam hidupnya.
Rasa simpati setelah mendengar latar belakang Adit, membuat pak Jansen penasaran.
"Papi jadi penasaran mau ketemu Adit juga."
"Aku pikir, Papi pasti juga langsung akrab dengan Adit."
"Oh ya?" Mendengar keyakinan istrinya, membuat pak Jansen merasa makin penasaran.
"Kayaknya Papi bener-bener harus ketemu Adit deh. Aku ngerasa waktu liat Adit, entah kenapa kayak lagi liat Dave waktu kecil. Mungkin itu juga yang bikin aku merasa familiar."
"Mirip Dave? Kok bisa?"
"Bukan cuma aku aja, bahkan Emil juga ngerasa begitu. Cuma Dave yang gak sadar kalo mereka mirip."
Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan saat ini dalam hati pak Jansen. Setelah terdiam beberapa saat, beliau berkata, "Coba tanya Dave. Kira-kira kita bisa undang Adit makan siang ke rumah gak ya?"
"Wah, Abel pasti seneng banget. Bisa main sama Adit di rumah. Boleh juga ya Pi. Coba kita tanya ibunya, apa mereka bisa main kesini."
"Dave!" Pak Jansen memanggil putranya yang masih menemani cucunya bermain. David segera menghampiri kedua orangtuanya.
"Ya, Pi?" Tanya David.
"Mami cerita soal temen Abel, si Adit. Papi rasanya pengen undang Adit kerumah. Coba kamu tanya ibunya, bisa gak dia ikut kita makan siang besok disini. Papi kok jadi penasaan pengen kenalan sama temen Abel."
Mendengar permintaan ayahnya, David merasa pasti Abel senang kalau memang Adit bisa datang. "Hmmm, besok kita gak ada jadwal ke hotel. Boleh juga, coba aku tanya dulu ya Pi."
David memutuskan untuk menelepon Dyan. Setelah beberapa suara panggilan, sambungan telepon terhubung. David mendengar ada sayup-sayup suara musik sebelum akhirnya mendengar suara Dyan dari ujung sana.
"Halo mas David?"