Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 52 - Akhir Pekan Pertama

Chapter 52 - Akhir Pekan Pertama

"Jadi nanti om Dion ikut juga?" Tanya Adit dengan suara yang naik 1 pitch. Dyan mengangguk dan tersenyum melihat reaksi anaknya.

"Rencananya sih begitu. Tapi belum tentu juga."

"Ah! Aku juga pengen ikut. Tapi hari ini gak mungkin ninggalin Mama di restoran." Keluh Glenn, setelah mendengar kalau Alesya dan Dion akan pergi ke cafe bersama Adit dan Dyan. Diam-diam Glenn sudah jadi fans Alesya sejak dia tahu kalau tante cantik itu bisa diajak diskusi soal game.

"Kapan-kapan kalau kita pergi bukan hari Sabtu, tante pasti ajak Glenn ikut." Dyan berusaha menghibur Glenn. Remaja yang tampak sangat kecewa ini wajahnya langsung berubah cerah setelah mendengar janji Dyan,.

"Yey! Makasih tante." Dyan mengangguk dan mengusap rambut Glenn. Dyan selalu merasa Glenn mengingatkannya pada Adit. Tumbuh remaja tanpa ayah, juga tidak punya saudara kandung. Kemiripan ini yang membuat Dyan menerima kehadiran Glenn seperti anaknya sendiri.

Obrolan seru diantara dua remaja itu berlanjut sembari makan siang. Sesekali Dyan menimpali obrolan mereka. Selesai makan, Adit dan Glenn dengan sigap langsung membereskan peralatan makan dan meja. Terbiasa membantu Mamanya di restorann, membuat Glenn –seperti juga Adit– biasa terlibat dalam pekerjaan rumah tangga sejak dini.

"Kita berangkat pake bus aja, Bun?" Tanya Adit sambil menyusun peralatan makan yang baru selesai dicuci.

"Naik bus aja, Tan. Nanti haltenya pas di depan gedung." Usul Glenn. Tanpa berfikir panjang, Dyan menyetujui usulan ini. 'Tidak ada salahnya untuk naik bus, karena mereka tidak sedang terburu-buru,' fikirnya. Setelah meninggalkan beberapa pesan kepada Wendy dan Rose, mereka bertiga –Dyan, Adit dan Glenn– pun berjalan menuju halte yang berjarak 1 blok dari ruko.

Tanpa perlu menunggu lama, bus datang tepat saat mereka mencapai halte. Adit bergegas masuk lebih dulu untuk mencarikan bundanya kursi. Glenn mengiringi Dyan dari belakang menyusul masuk kedalam bus.

Untunglah setiap akhir pekan bus tidak pernah penuh, karena pelajar dan karyawan kantor yang jadi pengguna terbesar angkutan ini umumnya libur. Tidak sedikit penduduk kota pesisir ini memanfaatkan waktu akhir pekan untuk pergi ke kota yang lebih sejuk.

Sepanjang 15 menit perjalanan santai ini, Dyan menikmati suasana di luar bus. Sudah lama sekali dia tidak melalui sisi kota ini, apalagi sejak mereka berdua tidak lagi tinggal bersama Kak Mahesa di rumah Mama. Dulu saat mereka semua tinggal serumah dengan Mama –tiap ada kesempatan– kak Mahesa selalu menyempatkan diri untuk membawa mereka semua jalan-jalan di akhir pekan. Walau hanya untuk mengelilingi bagian-bagian kota.

Banyak sekali perubahan yang sudah terjadi. Beberapa bagian pertokoan bahkan sudah berubah wajah. Berkelebatan kenangan saat Mama masih ada bersama mereka, berlintasan seperti potongan-potongan film di benak Dyan. Terutama saat bus melewati tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, yang sekarang tidak tampak lagi. Dyan benar-benar tenggelam dalam kenangan, sehingga tak menyadari kalau Adit sejak tadi sudah mencuri beberapa foto candid dirinya yang sedang memandang keluar jendela.

Glenn yang melihat sahabatnya sibuk mencuri foto Bundanya, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dia berbisik ke telinga Adit, "Dit, kamu yakin gak Oedipus Complex?" Komentar jahil itu langsung mendapat balasan dengan sikutan Adit.

"Aduh! Becanda, becanda. Sorry, sorry." Kata Glenn sambil mengusap-usap bagian lengannya yang jadi korban sikutan.

"Becanda gak lucu. Awas kalo bilang-bilang yang aneh lagi." Kata Adit dengan nada peringatan.

"Abis kamunya sibuk motretin bunda terus. Kalo nanti calon suami bundamu liat, bisa-bisa batal deketin bunda loh!" Bisik Glenn ke telinga Adit, berusaha jangan sampai Dyan mendengar suaranya.

"Kalo yang takut mau saingan sama aku, artinya gak pantes buat jadi suami Bunda. Gampang kan?" Jawab Adit dengan balik berbisik.

"Wah! Bener juga ya?" Kata Glenn lagi. Masih sambil berbisik.

Tanpa mereka sadari, Dyan sebenarnya dari tadi sudah mendengar perbincangan dua remaja ini. Tapi dirinya bersikap seolah-olah tidak memperhatikan. Sambil menyembunyikan senyum yang dari tadi sudah hendak keluar.

"Bunda, kita sampe." Adit memegang bahu Dyan, memberitahu bundanya untuk bersiap-siap turun dari bus. Saat bus berhenti di halte, Glenn langsung berdiri, diikuti oleh Dyan dan Adit mengikuti di belakang.

Segera setelah mereka semua turun dari bus, Adit menggandeng tangan Dyan berjalan ke arah gedung yang tidak jauh dari halte. Berjalan beriringan bersama seperti ini kembali membuat Dyan ingat saat almarhum Mama sering mengajak mereka berjalan bersama, menyusuri pertokoan atau sekedar berkeliling di taman. Tangan kecil Adit selalu menggandeng erat tangannya.

Dan sekarang, Adit remaja tetap tidak ragu untuk terus menggandeng tangannya. Tapi dulu tangan Adit yang mungil berada dalam genggamannya dan sekarang posisi menjadi berbaalik. Entah sejak kapan tangan mungil ini berubah menjadi lebih besar, sehingga bisa menggenggam penuh tangannya.

Memasuki gedung 3 lantai ini, mereka disambut oleh ruangan berinterior dinamis dengan palet warna abu-abu kombinasi biru dengan aksentuasi orange.

Suasana yang terbentuk memang sesuai dengan nama yang dimiliki tempat ini. Digistudio, sekolah desain yang menyediakan kelas-kelas lepas bidang desain terutama desain secara digital. Sudah setahun belakangan Adit mengambil kelas disini, kelas terakhir yang sedang diikutinya adalah kelas videography.

Dyan ada disini sekarang karena permintaan Adit. Awalnya Dyan merasa keinginan Adit ini agak berlebihan, karena dia merasa dirinya hanya akan membuat putranya malu, beragam kekuatiran mengusik pikirannya.

Namun akhirnya hati Dyan luluh setelah Adit mengatakan alasannya, dia hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan bundanya. Putranya merasa terlalu sering meninggalkan dirinya di rumah sendirian, karena belakangan makin banyak kegiatan diluar. Dan akhirnya dia ada disini sekarang, berakhir pekan bersama Adit untuk pertamakalinya atas nama belajar.

"Mbak Mela." Adit menegur seorang wanita di frontdesk.

"Hey! Adit, kelasnya mulai hari ini berubah jam ya. Ada penyesuaian jadwal. Kira-kira 15 menit lagi mulai." Kata wanita bernama Mela itu.

"Iya, udah dapet info dari group chat. Oya, mbak Mela. Kenalkan ini bundanya Adit. Kelas digital painting yang Adit ambil waktu itu, buat bunda." Kata Adit memperkenalkan Dyan.

Dyan sama sekali tidak menyangka kalau Adit akan langsung memperkenalkan dirinya sebagai 'bundanya'. Membuatnya merasa malu, karena sempat tidak percaya kalau putranya akan dengan percaya diri memperkenalkan dirinya.

"Wah! Bunda Adit ya? Saya Mela, yang bertanggungjawab untuk urusan informasi dan registrasi." Mela mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Dyan.

"Saya Dyan, bundanya Adit." Kata Dyan sambil tersenyum.

"Aduh, mbak. Saya pikir tadi kakaknya Adit, loh." Dyan hanya tersenyum mendengar ucapan Mela yang sudah diperkirakannya.

"Cantik kan bundanya Adit.��� Kata Adit dengan wajah bangga.

"Iya, sekarang mbak Mela tau deh kenapa Adit bisa ganteng gini."

Dan setelah itu tidak ada lagi perbincangan tentang hubungan orangtua dan anak. Mela langsung menyelesaikan proses registrasi dengan melengkapi data Dyan. Membuat Dyan menjadi lebih tenang. Merasa bersyukur, ternyata pikiran buruknya sama sekali tidak berlaku di tempat ini.

"Rencananya kelas digital painting mulai jam 1-3 sore. Tapi karena menyesuaikan dengan jadwal mentornya, jadwal kelas pindah ke jam 3-5 sore. Bersamaan dengan kelas videography Adit. Kalau ada informasi lain, akan disampaikan lewat group chat. Jadi nomor ponsel yang didaftarkan akan dimasukkan kedalam group ya, mbak." Mela menyampaikan beberapa informasi yang dibutuhkan Dyan.

"Kalau ada pertanyaan lain, bisa langsung kirim chat ke admin aja. Saya salah satu admin dalam group chat ya mbak."

"Data mbak udah lengkap nih. Sekarang mbak bisa langsung menunggu di ruang kelas di lantai dua, karena begitu mentornya sampai, dia pasti langsung masuk kelas. Kelasnya C-2. Adit bisa bantu mengantarkan ya?" Adit langsung menyetujui.

Mereka bertiga langsung menuju lantai dua. Kelas C-2 ada di sisi kanan lobby. Adit mengantarkan bundanya sampai ke dalam kelas yang ternyata hanya menyisakan satu meja kosong di sudut kanan belakang. Peserta lain sudah menempati meja pilihan mereka masing-masing.

"Udah ya, bun. Abang dan Glenn masuk kelas juga ya. Nanti kita kumpul di lobby lagi ya bun, kalo udah selesai." Kata Adit setelah Dyan duduk di kursinya.

"Ya, udah gak papa. Abang sama Glenn cepet masuk kelas. Nanti Bunda tunggu diluar ya kalo udah selesai." Kata Dyan sambil memberi tanda supaya anak-anak segera pergi.

Baru saja Adit dan Glenn hilang dari pandangan, seorang peserta yang mejanya ada di sebelah kiri Dyan –melemparkan senyuman dan menyapanya.

"Halo, saya Andy. Baru pertama kali ambil short course disini ya?" Kata pria muda berkacamata itu. Dyan mengiyakan dan membalas senyumannya.

"Halo, saya Dyan. Salam kenal Andy. Kalo Andy sudah pernah ambil short course disini?" Tanya Dyan.

"Iya, aku udah ambil kelas ketiga sekarang. Rencana aku mo kuliah di DKV, jadi mulai sekarang udah ambil-ambil course untuk dasarnya."

"Oooh, jadi sekarang masih SMA?" Tanya Dyan lagi.

"Gak sih, udah selesai. Tapi belum bisa kuliah, jadi sekarang ambil short course dulu." Jawab Andy sambil mendorong kacamatanya yang turun. "Oya, kalo boleh tau, tadi yang nganterin mbak Dyan itu siapanya? Perasaan sering liat." Tanya Andy tiba-tiba.

Beberapa saat Dyan sempat meragu, apakah harus berterusterang atau tidak. Tapi segera dirinya teringat Adit yang tidak ragu untuk memperkenalkan dirinya tadi, Dyan memutuskan untuk bicara apa adanya.

"Tadi itu anak saya. Namanya Adit, yang satu lagi Glenn. Temennya Adit. Mereka memang udah beberapa kali ambil short course disini juga." Diluar dugaan Dyan, ternyata reaksi Andy biasa saja dan tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut.

"Oooh, pantes kayak sering liat. Tapi kita belum pernah sekelas, makanya belum kenal. Adit masih sekolah?"

"Ya, Adit dan Glenn kelas 1 SMA sekarang."

"Umurnya gak jauh beda dari aku dong. Gak papa kalo aku panggil mbak Dyan? Atau...tante?"

"Terserah Andy aja. Glenn panggil saya tante."

"Kalo gitu, aku tetap panggil 'mbak' aja." Kata Andy dan dijawab dengan senyuman oleh Dyan. Tiba-tiba pintu kelas terbuka, seorang pria jangkung berkemeja hitam memasuki ruangan.

"Selamat sore, maaf saya agak terlambat."

Dyan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, melihat wajah yang tidak asing –berdiri dihadapannya.

"Selamat bergabung di kelas digital painting. Mulai hari ini saya akan jadi mentor kelas ini. Perkenalkan nama saya Dion."