"Selamat bergabung di kelas digital painting. Mulai hari ini saya akan jadi mentor kelas ini. Perkenalkan nama saya Dion."
'Dion? Kenapa dia disini?'
Seketika Dyan seperti disesap kedalam ruangan maya, yang ada disekitarnya hilang suara, hanya degupan jantung di dadanya dan suara batinnya yang memenuhi indra pendengarannya saat ini.
'Dion jadi mentor disini?'
'Bukannya dia ada kerjaan yang harus diselesaikan sebelum kita janji ketemu nanti sore?'
'Apa kerjaannya itu,...disini?'
'Kenapa dia gak pernah cerita?'
'Apa Alesya tau soal ini?'
'Kenapa Alesya gak pernah cerita?'
'Apa dia mau kasih aku kejutan?....Ah! Ge-er kamu Yan. Kejutan apaan?'
Deg, deg, deg, ...
Sambil memperkenalkan dirinya Dion menyapukan pandangan ke sekeliling ruang yang hanya terdiri dari 2 baris meja peserta workshop. Matanya menangkap wajah yang dikenalnya di sudut kiri belakang kelas. Raut wajah terkejut yang juga sedang menatap ke arahnya. Dion tersenyum melihat reaksi wajah Dyan saat ini.
"Maaf. Kalo boleh tau, umur mentor berapa? Jadi kita gak salah panggilan ke mas mentor." Tiba-tiba seorang peserta wanita di meja ketiga mengangkat tangan, menanyakan umur Dion. Seketika Dyan kembali dari rasa terkejutnya, setelah mendengar pertanyaan seorang peserta.
"Ah, ya. Sebetulnya saya gak keberatan dipanggil 'pak' atau 'mas'. Silahkan." Dion menanggapi pertanyaan sambil tersenyum. Walau menjawab dengan santai, kesan yang diberikan Dion tetap terdengar berwibawa. Lalu Dion melanjutkan jawabannya, sambil menatap kertas yang sedang dipegangnya. "Saya 38 tahun. Dari data peserta yang saya baca, semua umurnya jauh lebih muda dari saya, nih. Ada pertanyaan lain?"
Tiba-tiba seorang peserta wanita lain yang duduk di barisan depan Dyan, mengacungkan tangannya. Selain dirinya, memang ada 3 peserta wanita lain di kelas ini.
"Ya, silahkan."
"Mas mentor statusnya single atau taken?" Dan pertanyaan yang dilontarkan dengan berani ini pun seketika membuat ruang kelas jadi dipenuhi suara. Ada yang tertawa, ada yang menyeletuk, ada juga yang berseru 'uuu'.
Dyan juga tidak bisa menahan senyumannya, melihat ke arah wanita yang baru saja melontarkan pertanyaan berani tadi. Seorang perempuan muda, mengingatkannya pada Wendy dan Rose. Sepertinya dalam generasi sama, di usia yang sedang berani-beraninya.
Lalu tatapan Dyan beralih ke arah Dion yang terlihat tetap tenang dan tersenyum, sama sekali tidak terganggu dengan pertanyaan barusan. Single or taken?
[Pasti! Apalagi buat para lajang, wajib hukumnya memperhatikan lingkungan sekitar. Haha]
Dyan tiba-tiba teringat salah satu pesan yang pernah Dion kirimkan lewat chat sebelum Dion pindah ke kota ini.
Dengan aset yang ada pada diri Dion, tinggi badan yang diatas rata-rata, berwajah blasteran, punya pekerjaan baik, aura penuh percaya diri tapi tidak terlihat sulit untuk di dekati. Tatapan matanya yang tidak hitam kelihatan ramah dan smart. Suara yang enak didengar.
'Ya ampun, Yan. Kamu mikir apaan?' Bentak Dyan pada dirinya sendiri, begitu sadar dia sudah menilai Dion dari penampilan fisiknya.
"Status saya? Saya masih single but not available." Jawab Dion masih dengan senyum ramah yang sama. Sama sekali tidak terlihat terintimidasi.
Pemilik pertanyaan mungkin butuh waktu untuk memproses jawaban Dion barusan. Wajahnya jelas terlihat agak kebingungan. Sebelum akhirnya ada pertanyaan lain, Dion kemudian meminta para peserta juga memperkenalkan diri mereka masing-masing. Dengan harapan bisa membuat suasana lebih akrab.
Satu persatu yang hadir memperkenalkan diri mereka. Lima orang diantaranya adalah mahasiswa, ada seorang anak laki-laki yang masih siswa SMP, seorang peserta wanita yang menanyakan usia Dion ternyata masih siswi SMA sementara peserta wanita yang menanyakan status Dion memperkenalkan dirinya sebagai penggiat media sosial. Tanpa ragu dia membagikan nama akun instagramnya dan berharap seisi kelas untuk mengikuti akunnya.
Dyan merasa tidak ada salahnya menambah satu teman lagi, langsung mencari nama akun yang dibagikan oleh Jessica –penggiat media sosial– yang ternyata linimasanya dipenuhi dengan swafoto. Jumlah pengikutnya juga lumayan banyak. Dyan menekan tombol follow tanpa fikir panjang.
"Ok, selanjutnya..." Suara Dion menyadarkan Dyan. Sekarang giliran Andy memperkenalkan diri.
"Halo semua, saya Andy. Saya baru lulus SMA, tapi belum kuliah. Sekarang sudah ketiga kalinya ambil kelas di digiStudio. Tapi baru sekali ini saya ketemu dengan kak Dion. Apa kak Dion baru jadi mentor disini?"
Dion tersenyum mendengar perkenalan Andy yang diselipkan pertanyaan baru. Setelah mempersilahkan duduk, Dion menjawab pertanyaan Andy.
"Salam kenal Andy. Ya, saya memang baru kali ini jadi mentor di digiStudio. Dan saya juga baru datang ke kota ini, jadi saya harap kalau ada cara saya bicara atau cara menjelaskan yang kurang berkenana. Jangan ragu untuk menegur saya. Jadi kita semua sama-sama saling belajar."
"Terima kasih, kak!" Kata Andy segera setelah Dion selesai menjawab. Suaranya lantang terdengar. Anak laki-laki itu memang terlihat sangat supel dan pemberani. Membuat Dyan teringat pada Adit.
"Sama-sama Andy." Kata Dion. "Yang terakhir?..."
Dyan lalu berdiri dari tempat duduknya sebelum memperkenalkan diri.
"Halo, nama saya Dyan. Salam kenal semua." Kata Dyan singkat. Tiba-tiba seorang peserta mahasiswa yang duduk paling depan mengangkat tangan dan bertanya, "Mbak Dyan kuliah dimana?"
'Kuliah?' Dyan sama sekali tidak menyangka akan ada yang bertanya soal ini.
Lalu hanya menjawab singkat, "Saya pernah kuliah di DKV tapi sudah lama berhenti."
"Kuliah di DKV kok ambil short course lagi? Bukannya sudah belajar beginian di kampus?" Kali ini pertanyaan datang dari Jessica, yang sampai memutar tubuhnya menghadap kearah Dyan saat bertanya.
Dyan menghela nafas pendek, karena tidak menyangka akan dapat respon sebanyak ini gara-gara perkenalan singkatnya.
"Kebetulan saya gak menyelesaikan kuliah. Dan selama ini cuma menekuni ilustrasi tradisional di pekerjaan. Jadi sekarang mau mencoba belajar skill baru."
"Ok, terima kasih Dyan untuk perkenalannya. Silahkan duduk kembali. Sekarang kita mulai materi awal hari ini ya. Yaitu mengenal peralatan yang akan kita pakai dalam menggambar secara digital."
Dyan tersenyum kearah Dion, berterima kasih karena sudah diselamatkan dari pertanyaan tambahan yang mungkin datang. Dion mengangkat sebelah alisnya dan sedikit menganggukkan kepalanya kearah Dyan, seolah menjawab ucapan terima kasih Dyan.
===
Kelas pertama berjalan dengan baik, Dyan sangat menikmati proses belajarnya hari ini. Siapa sangka ternyata Dion adalah mentor yang menyenangkan. Walau tidak semua peserta memiliki keahlian menggambar, tapi Dion bisa membuat semua peserta menikmati proses belajar menggambar secara digital.
Setelah selesai pertemuan pertama, Dion memberi tugas awal untuk semua peserta. Dan keistimewaan digiStudio adalah diluar jam mentoring yang sudah ditetapkan, peserta workshop diberi kesempatan untuk berkonsultasi selama jam kerja. Bahkan bisa meminjam perangkat komputer untuk mengerjakan tugas bagi peserta yang tidak memiliki komputer dirumah. Nilai plus ini yang membuat digiStudio diminati banyak orang.
Dion sudah keluar dari kelas sejak tadi. Setelah dia selesai menutup materi hari ini, dia kelihatan bergegas keluar sambil berbicara di ponsel.
[Ding!]
Dyan membuka kunci layar ponselnya. Ada pesan masuk dari Adit.
[Bunda, Adit dan Glenn udah keluar kelas. Tapi kita sekarang udah di lobi. Tante Al udah datang. Bunda susul aja ya.]
Dyan menjawab singkat pesan chat putranya dengan emoticon jempol dan memasukkan ponselnya kedalam tas. Dan bergegas turun ke lobi. Merasa putranya mungkin sudah tidak sabar ingin segera ke cafe, sampai lupa kalau dia tadi janji mau menunggui bundanya di dekat kelas.
Baru saja Dyan turun dari tangga, Alesya kelihatan melambai-lambaikan tangannya. Adit segera menghampiri Dyan dan langsung menggandeng tangannya.
��Ayo Bunda. Buruan."
"Ya, ya. Pelan-pelan aja jalannya, Bang." Tapi Adit terus menarik tangan bundanya bahkan Dyan hanya sempat melambaikan tangan kearah Mela di front desk, yang sejak tadi hanya tersenyum melihat kelakuan Adit. Tapi bukan cuma Adit, kelihatannya Alesya juga buru-buru jalan keluar duluan tanpa menunggu dirinya.
"Kenapa buru-buru begini?"
"Aku udah pengen kopi dari tadi." Jawab Alesya. "Lama banget sih keluarnya dari kelas? Banyak yang ngajak kenalan ya?" Tanya Alesya sambil tersenyum usil.
"Udah deh, Al. Gak usah bikin-bikin cerita deh." Protes Dyan, sambil mendelik. Bagaimana bisa Alesya melempar pertanyaan usil di depan anak-anak. Kalau cuma Adit masih bisa dimaklumi. Tapi ini masih ada Glenn.
"Aku gak bikin cerita. Tapi bicara berdasarkan info dari sumber yang terpercaya." Jawab Alesya lagi, mengabaikan kode delikan mata Dyan.
"Kita antar Glenn pulang dulu ya, Bunda. Baru pergi ke cafe." Kata Adit menyela. Dyan mengangkat alisnya mendengar ada perubahan rencana anaknya. Pantas saja putranya jadi terburu-buru, rupanya ingin mengantar sahabatnya pulang dulu sebelum pergi ke cafe bersamanya dan Alesya.
"Kalo gitu kita naik taxi aja ya, nak." Baru saja Dyan selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara yang familiar dari arah belakang.
"Aku bawa mobil, gak usah pake taxi." Kata Dion sambil berjalan kearah mereka.