Setelah mobil Emily menghilang dari pandangan, aku dan Adit masih berdiri di depan butik untuk beberapa saat, sampai Adit tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengajakku masuk ke dalam.
"Yuk, Bunda."
Kusambut tangan Adit dan mengenggamnya erat. Sambil berjalan bergandengan tangan, kutatap wajahnya. Dia ada disini bersamaku, tapi jiwanya seperti tidak sepenuhnya hadir. Matanya melihat jauh menerawang.
"Abang kangen Oma, ya?" Mendengar pertanyaanku, Adit tersenyum dan mengangguk pelan.
"Oma Sofie bikin Abang kangen sama Oma." Katanya lagi, tidak menutupi perasaan yang sesungguhnya. Kulepaskan genggamanku dan merangkul bahunya, merengkuhnya lebih rapat. Aku hanya ingin dia mengakui rasa rindunya dan menyampaikan perasaanku kalau rindu yang tiba-tiba hadir itu adalah manusiawi.
"Oma Sofie juga kelihatannya suka dengan Abang, sampai dia merasa anak bunda mirip dengan anaknya. Itu artinya Abang mirip sama Daddy-nya Isabel waktu kecil."
Adit tertawa, teringat lagi dengan tingkah manja Isabel padanya. "Isabel itu anaknya lucu deh Bunda. Ramah. Gampang berteman. Tapi, kalau terlalu gampang percaya sama orang baru, apa gak bahaya tu?"
"Hmmm, iya ya."
"Kayaknya Bunda harus usul ke kak Emily supaya Isabel dikasi tau jangan terlalu gampang dekat sama orang asing."
"Sampai segitunya? Abang juga lucu, nih. Perhatian banget sama Isabel. Padahal baru ketemu tadi. Apa Abang dengan semua anak-anak yang pernah datang ke butik kita –sama ramahnya?" Tanyaku sambil memicingkan mata ke arahnya. Berusaha melihat lebih dalam ke matanya.
Adit kelihatan agak heran dengan tatapanku yang penuh selidik, untuk kemudian tertawa. "Bunda mikir apa? Jangan-jangan Bunda mikir yang aneh-aneh nih."
"Siapa tau kan? Isabel memang baru mau 4 tahun tapi udah kelihatan cantiknya," godaku.
"Abang juga gak tau, Bun. Tapi rasanya Abang nyaman deh dekat Isabel. Isabel itu nge-gemesin dan lucu, sampe Abang pengen dia jadi adek betulan."
"Ck, adek apa 'adek'," godaku lagi. Tapi aku harus mengakui, selama Adit dan Isabel berinteraksi, keakraban mereka seperti kakak adik yang akrab. Tidak ada rasa canggung dan pura-pura. Bisa saling bertukar cerita. Mereka seperti sudah lama saling mengenal satu sama lain.
"Adek dalam arti sesungguhnya, Bun. Betulan deh Bun. Ketemu Isabel bikin Abang jadi pengen punya adek betulan. Kira-kira kapan nih Bunda mau kasih adek betulan ke Abang?"
Lah! Kok tiba-tiba arah pembicaraannya jadi kearah sana?
Kata-kata Adit barusan seperti peluru yang menembak dadaku. Serta merta membuat mataku terbelalak dan mulutku terperangah. Kutatap matanya dengan wajah penuh rasa tidak percaya. Permintaan apa ini? Setelah minta Bundanya untuk cari suami sekarang malah menagih minta adik?
Adit yang melihatku mematung setelah mendengar permintaannya, kembali tertawa. Bahagia sekali dia berhasil bikin Bundanya kehllangan kata-kata.
"Tenang Bun, jangan shock gitu dong. Sebelum ada adeknya, Abang minta 'Ayahnya' dulu." Kali ini aku bisa dengan cepat bereaksi memberi cubitan ke pinggangnya. Adit yang tidak sempat berkelit kelihatan meringis dan minta maaf, tapi masih tetap tertawa.
"Ngomong apa sih, Abang? Nanti Abang kualat becandain orang tua terus." Kataku mengeluarkan kata-kata pamungkas. Adit mengangkat tangannya tanda menyerah, lalu berkata, "Makanya Bunda ikut kelas Digital Drawing ya. Supaya gak di butik terus. Kalau Bunda ambil kelas kan kita jadi lebih sering jalan bareng, Bun."
Apa hubungannya antara adik, ayah dan kelas digital drawing?
"Iya, iya. Nanti Bunda pikirin dulu. Butik kan harus ada yang jaga." Alasanku. Karena sebenarnya aku bukan tidak ingin belajar suatu hal baru, tapi karena aku takut kehadiranku dekat Adit, nanti akan membuat dia jadi korban candaan. Seolah-olah Bundanya over protective.
Tiba-tiba Rose berjalan keluar dari kantor sambil menjawab panggilan telepon.
"Ya ya. Ini ibu sudah balik dari luar. Langsung dengan ibu aja ya bu Viny." Segera setelahnya Rose mengulurkan handpone ke tanganku sambil berkata, "Bu Viny nelpon, Bu."
Kesambut handphone dari tangannya, "Ya mbak?"
[Ini dressnya sudah selesai. Mbak Viny kirimin ya pake ojek online.]
"Syukurlah, lebih cepat daripada rencana. Kalau udah jalan ojeknya mbak Vin kirim ya info order ojeknya ke Dyan." Lega juga dress yang mau dijemput sore ini sudah selesai.
[Oh, ya. Udah jalan 5 menit lalu. Lupa mau kirim tadi sebelum telpon. Ok deh, udahan dulu ya. Biar mbak kirimin nih info ojeknya.]
Lalu mbak Viny menutup teleponnya. Beberapa detik kemudian masuk notifikasi pesan dari mbak Viny, segera kubuka pesannya dan melihat gambar yang dikirim mbak Viny. 'Loh! Mbak Viny kirim dressnya dengan mobil? Apa gak terlalu berlebihan di ongkos ya? Cuaca sepertinya cerah, tidak perlu mengantar dengan mobil kan?'
Kubalas pesan mbak Viny, [Kenapa pakai mobil, mbak? Apa gak rugi?]
Tidak lama setelah pesanku terkirim, segera masuk balasan dari mbak Viny,
[Gak juga, soalnya mbak bukan cuma kirim dress pesanan. Ada yang lain, gak bisa dikirim dengan ojek motor.]
Kirim yang lain? Tidak bisa dikirim dengan ojek motor? Rasanya aku tidak pesan apa-apa. Ah, mungkin mbak Viny kirim makanan, kadang-kadang mbak Viny suka masak lebih dan mengirimnya ke ruko. Terutama kalau mbak Viny membuat makanan kesukaan Adit.
Segera kubalas lagi pesan mbak Viny tanpa merasa perlu bertanya lebih lanjut,
[Makasih banyak mbak].
Setelah menekan tombol 'kirim' aku mengalihkan pandanganku dari handphone, mencari Rose.
"Rose?"
"Ya, bu." Sahut Rose, ternyata dia sedang di dekat pintu masuk butik, ada seorang konsumen yang baru saja masuk.
"Ibu permisi ke belakang dulu ya." Rose langsung memberi kode OK dengan jarinya. Dia pasti sudah tau dari mbak Viny soal dress yang akan dikirim.
===
Aku menunggu telepon dari driver ojek di ruang duduk dekat pantry, biasanya mereka akan menghubungi kalau posisinya sudah dekat dengan lokasi pengiriman. Sudah 10 menit berlalu, kenapa belum ada telepon ya? Sepertinya ini sudah lewat jam macet. Aku periksa pesan dari mbak Viny, Tidak ada nomor driver tercantum disana. Perasaanku agak cemas.
"Bunda!" Suara Adit tiba-tiba datang dari samping kananku.
"Abang! Aduh, hampir berhenti jantung Bunda. Jangan dikagetin gitu, bahaya." Kataku sambil mengusap-usah dadaku. Adit tampak agak menyesal tapi tetap tertawa melihat wajah terkejutku. Adit sepertinya tidak berniat untuk mengagetkan.
"Kaget ya, Bun? Maaf yaaa." Kata Adit sambil memeluk bahuku dari belakang.
"Abang udah panggil-panggil Bunda dari tadi, mulai dari tangga. Barusan ini udah yang ketiga. Bunda baru denger?" Seperti anak kucing, Adit menggosok-gosokkan kepalanya ke kepalaku. Anakku ini, tiap kali dia merasa bersalah pasti langsung mengeluarkan jurus skinship. Mana bisa aku marah kalau sudah begini?
"Iya, Bunda lagi bingung nungguin ojek online. Tante Viny kirim dress dari rumah, tapi kok belum sampe ya? Padahal udah dari tadi."
"Ga bisa ditelpon drivernya, Bun?"
"Tante Viny gak kirim kontak drivernya."
"Bunda kan tinggal telpon tante Viny lagi."
"Ya ampun! Kenapa gak kepikiran ya Bunda?" Kataku sambil menepuk dahi. "Bunda udah tua nih," kataku lagi.
"Tua? Bunda belum boleh tua. Kasih adek dulu buat Abang."
"Aditya!" Kali ini aku spontan mencubit lengan Adit.
"Aduh! Aduh! Aduh! Ampun Bunda! Bunda! Sakit!"
Tiba-tiba suara bel berbunyi, apa kirimannya sudah datang? Tapi kenapa drivernya tidak menghubungi teleponku? Aku segera bangkit dari sofa untuk membukakan pintu.
"Siang ibu!" Aku terkejut melihat Wendy yang muncul di depan pintu.
"Wendy?! Kok datang ke butik? Ibunya gak jadi datang?" Kubuka pintu lebih lebar untuk mengajak Wendy masuk kedalam. Tapi Wendy malah tetap berdiri di depan pintu sambil menatap ke sisi kiri pintu sambil tersenyum. Wendy sedang melihat apa? Penasaran aku pun melangkah keluar dan terkejut.
Seseorang menyergapku dan memelukku erat sambil tertawa. "Apa kabar sayang?"
"Alesya?!"