Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 14 - Lajang

Chapter 14 - Lajang

[Dyan]

Ding! Ding! Ding!

Ramai sekali pesan masuk pagi ini. Kulihat jam di sudut kiri layar handphone-ku; 05:30. Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat deretan notifikasi ini masuk. Kubuka kunci layar handphone dan melihat ada 3 pesan baru.

Yang pertama dari Wendy yang minta izin untuk datang agak terlambat karena harus menjemput ibunya ke terminal bus antar kota. Ibu Wendy memang tinggal di daerah lain, sebuah kabupaten di provinsi tetangga. Wendy merantau ke kota ini sejak tamat dari SMK. Beberapa hari yang lalu Wendy sudah cerita, kalau ibunya rindu dan ingin datang, beliau ingin melihat kondisi putri bungsunya yang sudah mandiri. Biasanya selalu Wendy yang pulang ke kampung halamannya, baru kali terjadi sebaliknya. Ibunya ingin mengunjungi putrinya. Dan Wendy tidak menolak, cuma dia agak waswas karena ibunya baru kali ini menempuh perjalanan yang cukup jauh sendirian.

Kujawab pesan Wendy, memberinya izin untuk tidak buru-buru datang ke toko. Bahkan kalau memang ingin permisi tidak masuk hari ini, aku akan memberi izin. Tidak butuh waktu lama, pesan Wendy masuk lagi.

[Saya tetap masuk, bu. Setelah makan siang. Ibu saya bilang saya gak perlu bolos. Siang ini ibu masih mau tiduran, karena capek abis naik bus berjam-jam.]

Aku tersenyum membaca pesannya, bersyukur bisa memiliki karyawan yang pengertian. Kubalas pesannya dengan persetujuan singkat.

Pesan kedua ternyata dari Emily.

[Mbak Dyan, hari ini keponakan saya datang. Kalau dia gak kecapean, rencana mau langsung saya bawa ke butik. Pesawatnya sih pagi ini, kalau gak ada kendala abis makan siang kita kesana. See you Mbak.]

Hmmm, sepertinya setelah makan siang bakal jadi waktu tersibuk hari ini. Karena sebelum Emily juga ada pelanggan lain yang rencananya akan menjemput dress anaknya. Dan dress itu belum sampai di butik sampai saat ini, mbak Viny janji dress itu akan sampai sebelum jam 12 siang nanti.

Pesan ketiga dari... nomor tak dikenal?

Kubuka pesan terakhir ini dan mendapati bahwa pengirimnya adalah orang yang tidak terasa asing.

[Pagi Dy. Akhirnya aku beli nomor +62 juga. Sepertinya aku bakal agak lama disini. Save nomorku ya. –Diondarte]

Virtual best friend-ku. Beberapa waktu yang lalu dia sempat menanyakan nomor handphone-ku lewat instagram. Dan berjanji untuk mengabari saat dia sudah memiliki no ponsel lokal. Ternyata dia masih ingat janjinya.

[Ok! Aku save ya. Sekarang masih di ibukota nih?]

[Mulai hari ini aku start pekerjaan di kota B. Kalau berjalan sesuai planning, kayaknya sebentar juga selesai. Abis itu aku balik lagi ke ibukota.]

Kota B...

Teringat kota yang pernah jadi tempat dengan deretan kenangan indah dan diakhiri dengan kenangan traumatis. Sejak hari aku terbang meninggalkan kota itu, tidak sekalipun aku kembali kesana. Bahkan mungkin aku tidak akan pernah lagi memijakkan kaki di kota itu. Perasaan ini belum terlalu nyaman untuk berada disana bahkan untuk sekedar membayangkannya.

[Semoga proyeknya lancar. Walau sibuk, jangan sampai lupa memperhatikan keadaan sekitar. Punya kesempatan datang ke banyak tempat itu gak semua orang bisa rasakan.]

[Pasti! Apalagi buat para lajang, wajib hukumnya memperhatikan lingkungan sekitar. Haha]

Lajang? Apa dia sedang memberi pengumuman mengenai statusnya kepadaku? Tapi walau betul dia lajang pun, bukan urusanku kan? Sudahlah Dyan, jangan mikir yang aneh-aneh. Bahkan gendernya saja aku tidak tahu. Walau sudah 4 tahun berteman secara virtual. Tapi aku tidak pernah merasa perlu untuk menanyakan gendernya. Entah kenapa. Tapi sekarang, setelah membaca kata 'lajang' dalam pesannya, tiba-tiba ada sedikit rasa penasaran. Diondarte, kamu laki-laki atau perempuan?

===

"Kita sarapan apa nih, Bun?" Tiba-tiba Adit muncul di atas bahuku.

"Hari ini Bunda bikin pancake pisang aja. Kemarin Bunda beli pisang banyak. Tolong ambil madu, nak. Trus tolong Bunda seduhin teh ya. Tekonya sudah Bunda taruh di meja."

"Ok, Bun." Kata Adit sambil dengan cepat mengambil selembar pancake yang sudah masak dan langsung memakannya. Setelah itu dia membuka pintu kabinet diatas kepalaku, mengambil madu dan membawanya ke meja makan. Mengambil air panas yang baru saja mendidih diatas kompor dan menyeduh teh.

Adit memang dididik Mama untuk jadi anak mandiri. Aku sendiri rasanya baru benar-benar jadi ibunya setelah Mama tiada. Untuk membangkitkan diriku dari perasaan 'tidak berguna' dan 'sia-sia' membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kemudian menyadari dengan penuh kalau aku adalah seorang ibu menjadi usaha selanjutnya. Sejujurnya delapan tahun pertama sejak Adit hadir, baru aku sepenuhnya memahami keberadaan diriku. Bahwa aku seorang ibu yang punya anak laki-laki sehat dan pintar, tanpa menikah, tanpa mengetahui bagaimana caranya sampai aku bisa hamil, tanpa tahu siapa laki-laki yang menanam benih di rahimku.

Menerima dengan ikhlas bahwa hidupku saat ini adalah yang terbaik, bahwa anakku adalah berkah dalam hidupku terlepas dari bagaimana cara dia hadir. Di awal kesadaran itu datang, rasa bersalah karena tidak hadir 100% dalam kehidupan Adit selama 8 tahun pertama kembali menyerangku. Tapi kali ini aku bisa mengatasinya lebih cepat, setelah 8 tahun melawan perasaan negatif dalam diri akhirnya aku meyakini satu hal. Penyesalan bukan solusi, salah atau benar langkah yang kita ambil pada akhirnya terus berusaha menjalani hidup sebaik-baiknya adalah kenyataan yang harus dihadapi.

Dan hidupku terasa penuh sampai saat ini.

"Abang hari ini ke DigiStudio jam berapa?" Tanyaku sambil menuang madu keatas pancake pisang.

"Jam 3 Bun. Biasanya pagi, tapi instrukturnya pindahin ke jam 3 karena ada urusan jam 9 pagi ini."

"Oh, syukurlah. Kak Wendy pagi ini gak bisa masuk, ibunya datang dari luar kota. Jadi dia permisi jemput ke terminal bus. Abang bantuin Bunda beres-beres pagi ya?"

"Ok, Bun. Eh, tapi kak Rose datang kan?"

"Ya, kak Rose datang. Tapi hari ini bakal sibuk banget Bunda. Ada 2 klien yang janji mau datang setelah jam makan siang."

Tangan Adit yang sedang menyuap pancake ke-4 tiba-tiba terhenti. Dia menatapku dengan wajah sedih. "Jadi Bunda gak bisa ikut Abang ke DigiStudio?"

Aku menatap wajahnya heran, "Apa Bunda janji mau ikut sama Abang ke DigiStudio?" Aku balik bertanya.

"Waktu itu kan Adit sudah bilang, ada kelas baru dibuka –menggambar digital. Abang sudah bilang kan?" Katanya masih dengan wajah sedih. Ya seingatku beberapa hari yang lalu memang Adit mengutarakan keinginannya untuk mengajakku mengambil kelas menggambar digital di DigiStudio. Tapi aku merasa belum meng-iyakan. Tapi dari wajahnya, seolah-olah aku sudah memberi persetujuan.

"Abang mau Bunda ambil kelasnya. Rencana Abang mau ajak Bunda registrasi hari ini. Kelasnya sendiri baru dibuka 2 minggu lagi." Katanya lagi.

"Ah, masih 2 minggu lagi. Kan masih ada waktu, nak. Bunda usahakan hari Sabtu depan ya? Tapi Bunda harus diskusikan soal ini dengan kak Wendy dan kak Rose, karena kalau Bunda ambil kelas tiap Sabtu artinya Bunda tidak hadir di butik selama beberapa jam. Kak Wendy dan kak Rose harus tahu situasinya. Jadi mereka gak kaget." Aku coba menjelaskan ke Adit, bukan karena aku tidak ingin ikut kelas yang ditawarkannya tapi karena kondisi toko di hari Sabtu yang masih buka. Dan biasanya Sabtu adalah hari yang sibuk karena sebagian besar orang hari Sabtu adalah awal libur dan istirahat.

"Abang yakin, kakak-kakak berdua pasti setuju. Mereka pasti semangat liat Bunda bisa belajar lagi."

Anakku, tahukah kamu kalau belakangan kamu lebih terdengar seperti orang tua? Merencanakan kelas kursus untuk Bunda, dan sedikit memaksa Bunda untuk mengambil kursus yang kamu inginkan. Bahkan menyarankan aku untuk mencari suami sebagai pendamping hidup. Setelah umur 14 tahun kamu jadi banyak berubah. Tolong jangan terlalu cepat besar, Bunda masih belum bisa melepas diri anak-anakmu.

"Sabtu depan Bunda harus siapin waktu ya? Abang sudah bayar uang muka pendaftaran kelasnya loh. Jangan sampai uang Abang hilang sia-sia." Kata Adit sambil memasang wajah serius.

Tuh, kan? Lagi-lagi kamu memutuskan sesuatu untuk Bunda. Sekarang aku bisa apa, selain senyum dan berkata, "Ok, Bunda usahakan atur ulang jadwal Bunda hari Sabtu depan. Supaya Bunda bisa ikut sama Abang ya?"

Mendengar jawabanku, baru wajah Adit terlihat relax. Muncul senyum puas di bibirnya.

Tidak lama kami selesai sarapan, Rose datang. Kuberi tahu kalau Wendy izin hari ini. Mendengar itu Rose tidak berkata apa-apa selain buru-buru menuju butik dan membuka rolling door di depan butik.