Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 13 - Keluarga Jansen (2)

Chapter 13 - Keluarga Jansen (2)

[Emily]

"Momily!"

Makhluk mungil berambut ikal panjang kecoklatan berlari kearahku sambil membentang dua lengan kecilnya lebar-lebar.

"Isabel!"

Panggilku sambil berlutut dan ikut membentang lenganku bersiap menangkapnya.

Bandara tidak terlalu ramai hari ini. Isabel bisa bebas berlari ke arahku. Isabel langsung melemparkan tubuhnya segera setelah dekat denganku. Dan aku dengan sigap menangkapnya. Lalu kami tertawa bersama. Dressnya basah penuh keringat di bagian punggung. Padahal baru saja dia turun dari pesawat yang dingin. Memang anak satu ini tidak tahan terhadap suhu hangat. Sangat gampang berkeringat dan kulitnya sensitif sekali, kalau bajunya yang basah tidak segera diganti kulitnya langsung merah –iritasi.

Tidak jauh kelihatan Mami yang agak kewalahan berjalan cepat sambil mendorong dua koper pakaian. Hmmm, tapi kenapa Mami sendirian? Apa Papi dan mas David masih menunggu bagasi?

"Isabel! Kenapa Oma ditinggal?" Protes Mami begitu beliau akhirnya sampai di posisi kami berdiri. Langsung kuturunkan Isabel dari gendonganku dan memeluk Mami. Mengambil alih koper yang terbesar dari tangan beliau aku bertanya, "Mana Papi dan mas David? Bagasinya belum?"

Mami menggelengkan kepala sambil masih mengatur nafasnya yang sudah mulai kurang terengah.

"Mereka belum ikut. Masih ada urusan yang belum selesai di sana. Mendadak salah satu investor yang rencana mau hadir soft launching resort yang disini mau ikut berangkat bareng mas dan Papi. Mereka baru sampe hari ini juga dari Singapura."

"Loh! Jadi Mami berdua Isabel aja?" Mami mengangguk.

Sambil berjalan kearah mobil dengan tangan kanan menarik koper dan tangan kiri menggandeng Isabel, aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Dua pria itu memang terlalu berdedikasi terhadap pekerjaan. Entah mereka selalu sibuk karena perusahaan secara konstan ada dalam krisis, atau justru mereka yang merasa dalam krisis kepercayaan diri kalau tiba-tiba tidak sibuk.

"Mami sehat?" Tanyaku sambil memperhatikan langkah Mami yang agak sedikit berbeda. "Lutut Mami sakit lagi?"

"Iya, sudah sejak kamu pindah kesini. Lututnya jadi suka nyeri."

"Makanya Mami jangan terlau berlebihan mengurus tanaman di kebun. Kalau terlalu lama jongkok, lututnya jadi dapat beban. Makanya jadi nyeri lagi." Mami memang pencinta tanaman, koleksi tanamannya dirawat sendiri. Tapi kalau aku sedang tidak ada di samping Mami, kegiatan bertaman ini bisa dilakukan Mami sampai lupa waktu. Bahkan lupa makan dan istirahat.

"Iya, iya. Kamu itu ya, cerewetnya kelewatan." Protes Mami sambil mencubit pipiku. Sementara Isabel sibuk memperhatikan situasi sekeliling, matanya yang bulat kelihatan serius melihat lingkungan yang baru pertama kali didatanginya. Sebentar lagi pasti dia punya segudang pertanyaan hasil dari pengamatannya.

"Momily! Bandaranya kenapa sepi?" Tuh kan, pertanyaan pertama sudah keluar. Siap-siap saja untuk mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan selanjutnya.

"Karena disini kotanya gak sebesar ibukota, jadi bandaranya juga gak terlalu sibuk. Isabel kan biasa lihat bandara yang besar dan ramai, makanya sampai disini kelihatan sepi." Jelasku seraya menekan remote mobil, membuka kunci dan memasukkan koper kedalam bagasi.

"Bel, masuk dulu ke mobil trus buka bajunya. Basah semua tuh kena keringat. Nanti kulitnya gatel." Kataku seraya membuka koper pink milik Isabel.

"Paling atas ada t-shirt dan rok katun, pake yang itu aja Mil, disini cuacanya lebih panas. Daripada Abel basah keringat lagi. Pake baju yang tipis aja." Mami menanggapi sambil masuk ke dalam mobil, membantu Isabel membuka dressnya yang basah.

Isabel terbiasa ikut mas David mengunjungi beberapa cabang resort di kota lain yang ibukota provinsinya lebih ramai daripada kota ini. Pengalaman visualnya mengenai bandara adalah suasana yang selalu ramai dan sibuk. Sampai di kota ini memberinya pengalaman baru, karena bandara di kota ini tidak terlalu ramai diluar. Awal tiba disini pun aku merasa suasana bandara sedikit unik, kesibukan hanya terjadi di bagian dalam, tapi di sisi luar terlihat sepi. Kios-kios makanan dan oleh-oleh tidak terlalu ramai pengunjung, tapi bergerak agak jauh sedikit dekat stasiun kereta api bandara banyak kios-kios kaki lima yang lebih ramai dan lebih hidup suasananya.

Mungkin lain waktu Isabel akan kuajak naik kereta bandara, dia pasti akan mengalami keterkejutan budaya lagi.

"Mam, sudah hampir waktu makan siang. Kita pergi makan dulu, ya. Supaya Isabel kenyang dulu, jadi waktu kita mampir ke butik dia gak rewel." Saranku ke Mami. Mobil yang kukendarai sudah keluar dari gerbang bandara dan menuju ke arah kota.

"Hmmm, bener juga. Mending makan dulu ya. Mami mau makanan khas disini deh. Jangan ke restoran fast food."

"Iya dong, udah jauh-jauh kesini kok makan makanan global? Kita cicip makanan disini dong."

Tiba-tiba Isabel yang duduk di bangku belakang menyeletuk, "Iya, Abel juga mau makan yang lain. Gak mau burger."

Aku tersenyum, Isabel sekarang sedang membicarakan bapaknya. Mas David seringkali membawa Isabel makan di restoran franchise umum, karena makanannya relatif sama walau dia ada di kota mana saja. Mas David punya alasan sendiri, menurut bapaknya Isabel dia tidak mau anaknya tiba-tiba mogok makan dalam perjalanan karena kaget dengan makanan baru. Dan bapak ini tidak mau buang-buang makanan. Jadi kalau Isabel tidak menghabiskan makanan artinya dia terpaksa menghabiskannya. Demi menghindari ini mas David selalu membelikan Isabel makanan di restoran fast food yang sudah dikenal.

Kalau saja istrinya masih ada, aku yakin dia pasti marah-marah ke mas David karena membiasakan anak mereka makan junk food.

"Tenang aja, Bel. Nanti Momily ajak makan di restoran yang enak. Tapi.... Abel harus janji makan sampai selesai ya? Kalau Abel bisa makan macam-macam makanan, nanti Abel bisa jalan-jalan keliling dunia." Bujukan terselubung, biasanya teknik begini lumayan berhasil untuk Isabel.

"Kenapa kalau Abel bisa makan macam-macam nanti bisa keliling dunia?" Pertanyaan yang cerdas, nak. Tapi Momily sudah menebak kearah sana.

"Karena, kalau Abel bisa coba macam-macam makanan, Abel gak akan kelaperan kalau jalan-jalan keliling dunia." Jelasku sambil tersenyum.

Dan gadis kecil yang sebentar lagi berumur 4 tahun ini memang terlihat lebih 'dewasa' dibanding usia sesungguhnya. Selain memang badannya yang lebih tinggi dibanding teman-teman sebayanya, Isabel juga lebih kritis. Setelah dia pandai bicara, kosakatanya setiap hari bertambah dengan cepat. Dibanding mas David yang cenderung bicara seperlunya, Isabel adalah kebalikan dari bapaknya.

"Oh! Iya ya. Ok! Abel mau coba macam-macam makanan. Abel mau jalan-jalan keliling dunia sama Oma."

"Cuma sama Oma? Momily gak diajak?"

"Momily kan sibuk, seperti Daddy."

Deg!

Tembakan yang tepat sekali. Walau aku tidak sesibuk mas David, tapi aku juga terlibat dalam pengelolaan jaringan hotel keluarga ini. Memang Mami yang secara purna waktu mengasuh Isabel sejak bayi, menjadi Oma sekaligus ibu. Sementara aku cuma menjadi bala bantuan Mami dalam pengasuhan. Mami tidak mau Isabel dipegang pengasuh, Mami tidak mau satu-satunya anak mas David malah tumbuh menjadi 'anak orang lain', karena tidak diasuh oleh keluarganya sendiri.

"Tapi kalau Abel ajak, pasti Momily usahain ikut. Kan Momily juga suka jalan-jalan." Isabel cuma diam mendengar kata-kataku. Seolah-olah berfikir sangat dalam dan serius. Kalau sudah begini wajahnya jadi kelihatan imut. Anak bayi ini bisa punya pikiran serius dan mendalam juga rupanya?

Lalu setelah semenit berlalu, "Ok, Abel pikir dulu kalau nanti mau ajak Momily. Supaya kerja Momily gak keganggu." Ya Tuhan, kenapa sih nak, kamu harus memikirkan kesibukanku? Kenapa sih jadi anak kok terlalu cepat besar? Ini pasti sifat genetis yang turun dari mas David. Untung kamu tidak tumbuh jadi orang yang pelit bicara seperti Daddy-mu, Bel.

"Ok, kita sudah sampai. Yuk, kita turun." Kataku sambil mematikan mesin mobil. Halaman restoran mulai penuh dengan kendaraan pengunjung. Karena masih setengah jam lagi sebelum waktu istirahan makan siang, aku masih bisa memarkir mobil dengan leluasa.

"Setelah makan, kita mampir ke rumahmu dulu ya, Mil. Mami mau istirahat sebentar sebelum kita ke butik."

Aku mengiyakan permintaan Mami, sambil menggandeng Isabel berjalan memasuki restoran. Rencana kami setelah ini mengunjungi butik mbak Dyan. Untuk mengukur badan Isabel dan memastikan desain dress ulang tahunnya.