Sudah jam 16:00 waktu Adit sampai di rumah. Rose dan Wendy baru mulai membereskan barang-barang di butik sebelum kita tutup jam 17:00. Sejak awal butik ini dibuka, almarhum Mama sudah menetapkan jam buka dan tutupnya. Prinsip beliau adalah jangan sampai kesibukan mencari uang mengorbankan waktu untuk kewajiban yang lain. Terutama kewajiban dalam mengurus keluarga. Bagi Mama, waktu untuk bersama anak dan cucunya tetap yang utama. Terlalu ngotot untuk mencari uang sampai melalaikan hak tubuh dan jiwa kita sendiri adalah hal yang sia-sia. Karena pada akhirnya uang yang dikumpulkan susah payah hanya dipakai untuk mengobati penyakit atau membayar hiburan karena kesepian ditinggal keluarga.
Aku secara alamiah ikut meyakini prinsip beliau, buktinya sampai sekarang butik tetap berjalan lancar dan terus berkembang. Jam operasional butik secara fisik memang lebih singkat dibanding usaha-usaha lain di kawasan pertokoan ini. Tapi karena terbatasnya waktu buka, pelanggan dengan sengaja menyempatkan diri untuk datang di jam operasional yang singkat itu. Apalagi sekarang butik sudah bisa didatangi secara virtual. Adanya market place dan komunikasi dengan messenger membuat pelanggan merasa butik lebih gampang dikunjungi.
Karena pintu butik masih terbuka, Adit masuk lewat pintu toko sambil menyapa Wendy dengan senyum lebar, "Kak Wen, ojeknya udah nungguin tuh!" Katanya sambil menunjuk ke arah parkiran.
Tampak pacar Wendy sedang menunggu di parkiran sambil duduk diatas motor. Hari ini dia datang lebih cepat dari biasanya. Rose yang sedang merapikan sudut ruang duduk langsung melihat kearah luar butik. Pacar Wendy yang sedang sibuk dengan smartphone-nya duduk diatas motor tanpa melepas helm. Sementara Wendy terlihat sama sekali tidak perduli setelah Adit mengabarkan pacarnya yang sudah datang. Dia tetap sibuk melanjutkan pekerjaannya mengatur display pakaian anak-anak yang seharian tadi berkali-kali diacak pelanggan.
Aku yang langsung keluar dari kantor setelah mendengar suara Adit, langsung disambut dengan pelukan.
"Udah pulang, Bang?" Kuusap-usap punggung Adit, seragam sekolahnya terasa lembab.
"Bajunya basah, langsung mandi ya. Asem nih, banyak kuman." Kataku sambil melepas pelukan, hanya untuk kemudian mendapatkan pelukan lagi.
"Bunda juga belum mandi. Sama-sama asem." Sambil tertawa Adit mempererat pelukannya.
Aku hanya bisa tertawa dan membalas memeluknya lagi, walau aku selalu menekankan disiplin soal menjaga kebersihan badan pada Adit, bukan berarti aku keberatan memeluk badannya dalam kondisi apapun. Ibu-ibu di seluruh dunia juga tidak perduli, selama bisa selalu dekat dengan anaknya, dalam kondisi apapun pasti kebahagiaan saja yang dirasa.
"Bunda, itu tuh kak Wen pacarnya gak diajak masuk. Dijemur di parkiran. Kayak lagi kena hukuman."
Wendy masih tidak perduli, walau dia dengan jelas mendengar perkataan Adit. Padahal biasanya kalau si pacar datang menjemput, pasti diajak masuk dan meminta dia menunggu di pantry sampai Wendy selesai membereskan butik.
"Kenapa gak diajak masuk, Wen?" tanyaku sambil memberi tanda ke Adit supaya dia segera mandi.
"Biar aja, bu. Emangnya dia aja yang bisa marah-marah?" jawab Wendy, tapi kali ini dia melirik ke arah luar seperti memeriksa posisi pacarnya.
Melihat hal ini aku hanya bisa tertawa kecil. Lalu berjalan ke depan dan memanggil laki-laki yang dari tadi sibuk menekan-nekan layar smartphone-nya.
"Ano! Ayo masuk dulu. Langsung ke pantry aja. Wendy belum selesai."
"Iya, bu. Terima kasih." Kata Ano sambil langsung turun dari motor dan melepas helmnya. Reaksinya yang buru-buru masuk kedalam butik, sepertinya Ano sudah lama menunggu tawaran untuk masuk.
Aku cuma geleng-geleng kepala.
==
Setelah Rose, Wendy dan Ano pulang, akhirnya aku bisa naik ke lantai 2. Kulihat pintu kamar Adit terbuka, dia sudah selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya.
"Bunda mandi dulu ya, Bang."
"Ok, Bun. Oya, Bunda masak apa hari ini?"
"Belum masak. Tapi masih ada ayam ungkep di kulkas, rencana mau digoreng aja nanti." Setelah Emily datang tadi pagi, butik mendadak kedatangan banyak pengunjung. Sampai tidak sempat masak sebelum makan siang seperti biasa. Untuk istirahat ibadah dan ke toilet saja harus bergantian dengan Rose dan Wendy.
"Bunda, gak usah masak ya. Mamanya Glenn ngajakkin makan ke resto-nya. Kata Glenn, ada menu baru. Kesitu aja yuk, Bun."
Glenn adalah sahabat Adit sejak SMP. Walau tidak terlalu akrab, tapi hubunganku dengan Mama Glenn sangat baik. Restorannya tidak terlalu jauh dari butik kami. Hanya berjarak 10 menit berjalan kaki. Glenn pindah ke daerah ini sejak awal SMP, saat itu juga restoran Mamanya dibuka. Seperti Adit, Glenn juga tidak punya Papa. Bedanya Papa Glenn meninggal karena sakit.
Karena itulah Mama Glenn memutuskan pindah dan membuka restoran di kawasan kami. Sebelumnya mereka memilik restoran di kota B, tapi kepergian suaminya yang mendadak membuat Mama Glenn tidak sanggup berlama-lama di tempat yang lama. Untuk bangun dari kesedihan dan memulai hidup baru, Mama Glenn memutuskan pindah ke kota ini berdua dengan Glenn. Dan memulai usaha restoran baru disini, selain sebagai mata pencarian alasan untuk tetap membuka restoran adalah untuk berusaha sibuk dan bisa segera bangkit dari duka.
"Ya, nanti setelah magrib kita kesana." Lalu diriku bergegas mandi.
-----------
Berjalan berdua Adit selalu menyenangkan. Sepanjang perjalanan Adit selalu bercerita tentang apa saja yang terjadi selama dia diluar rumah. Momen sederhana seperti ini belakangan makin jarang terjadi. Setelah Adit jadi anak SMA kegiatannya lebih banyak menyita waktu. Ditambah lagi dia mengambil beberapa kegiatan extra belajar diluar sekolah. Sampai kapan ya dia bisa punya waktu berdua denganku seperti ini?
"Bunda, lagi mikir apa? Kok diem aja? Tadi Abang tanya pendapat Bunda,..."
"Aduh, maaf. Bunda gak dengar. Suara mobil lewat barusan." Alasanku, walau tidak sepenuhnya bohong. Karena sekarang memang masih jam kendaraan ramai di jalan. Terutama di blok pertokoan yang mayoritasnya restoran dan cafe. Jam makan malam belum selesai, banyak orang yang datang ke kawasan ini.
"Abang tadi tanya, Bunda minat kelas gambar digital ga? Minggu depan kelas pertamanya dibuka. Bunda kan belum pernah belajar digital drawing secara resmi, cuma belajar sendiri lewat youtube seadanya. Jaman sekarang perlu loh, Bunda. Apalagi Bunda kan masih kerja di bidang desain."
"Maksudnya, Bunda ikutan ambil kelas di tempat kamu workshop videography?"
"Iya, Bunda. Kelas gambar digital sudah banyak permintaan untuk dibuat, tapi baru belakangan dapet instrukturnya. Katanya yang ngajar didatangkan dari luar negeri loh, Bunda. Temennya pak Sam, pemilik DigiStudio." Kata Adit lagi dengan semangat. DigiStudio memang belum lama membuka cabang di kota ini, tapi peminatnya sangat banyak walaupun biaya belajar disana tidak murah. Tapi subjek digital art belakangan memang tidak bisa diabaikan. Hampir di semua bidang saat ini membutuhkan pengetahuan digital.
"Apa boleh Bunda ikutan kelasnya? Kan Bunda umurnya sudah 35."
"Aduh, Bunda. DigiStudio bukan sekolah, tapi lembaga pendidikan. Gak ada batasan usia, Bunda. Di kelas videography, malah Abang yang paling muda. Selebihnya umur 20-an, malah ada yang lebih tua dari Bunda." Kata Adit meyakinkanku.
Yang kuragukan bukanlah soal usia untuk mulai belajar, tapi aku kuatir kalau orang-orang jadi usil menanyakan status Adit setelah bertemu denganku. Kalau ada ibunya ikut belajar di tempat yang sama, apa Adit nanti tidak jadi bahan omongan?
"Bunda cuma kuatir, nanti kalau orang tau Bunda Abang ikut belajar disana mereka jadi becandain Abang. Dikira Bunda ikutan karena mau sekalian mengawasi anaknya."
"Loh! Memangnya salah kalo orangtua mengawasi anaknya?" tanya Adit.
"Gak sih..."
"Trus apa yang jadi masalah, Bunda?"
"Ya,...Bunda gak mau Abang jadi bahan omongan orang gara-gara Bunda."
Adit tiba-tiba tersenyum lebar mendengar kecemasanku. "Pasti dong Abang jadi omongan orang-orang. Abang gak keberatan kok. Malah bangga..."
Bangga? Jadi omongan orang kalo Bundanya single parent dan punya anak diluar nikah, kok bisa bangga?
"Abang bangga dong! Orang-orang pasti kaget liat Bundanya Abang yang cantik banget, pinter dan kreatif. Bisa-bisa Abang jadi sibuk jagain Bunda dari gangguan orang yang naksir Bunda."
Aku tercengang mendengar perkataan Adit. Bagaimana bisa dia berpikir kearah itu? Aku kehilangan kata-kata, terdiam tidak bisa berkomentar.
Lalu Adit berkata lagi, "Yang pasti, Abang senang kalo Bunda ikutan belajar di tempat Abang. Karena Bunda jadi lebih sering berdua dengan Abang walau bukan di rumah."
"...." aku benar-benar tidak tahu mau menanggapi apa.
"Abang jadi tenang karena Bunda bisa gak kesepian setiap hari di rumah.