Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 11 - Permintaan Adit (2)

Chapter 11 - Permintaan Adit (2)

[Aditya Harsa]

--Kilas balik beberapa jam sebelumnya.

Hari ini pak Yanto tidak masuk. Jadi kelas ekstra kurikuler kosong. Kabarnya beliau sakit, musim pancaroba begini memang banyak virus berkeliaran. Padahal kelas siang ini ditungguin anak-anak sekelas, karena kelas menggambar hari ini pak Yanto janji untuk membawa kami semua 'outing'. Alias kegiatan menggambar objek rencananya dilaksanakan di luar sekolah. Sekarang dengan sakitnya beliau, hilanglah sudah harapan untuk jalan-jalan.

Guru piket menyampaikan kabar sedih tapi juga gembira, karena kelas menggambar hari ini ditiadakan, anak-anak diperbolehkan pulang cepat! Yay! Tapi dengan syarat, pak Yanto menitipkan sebuah tugas untuk dibawa minggu depan. Kita semua harus membuat gambar objek bangunan. Lokasi boleh dimana saja.

Selama ini kelas menggambar memang jadi favorit semua siswa, terlepas dari peningkatan keahlian menggambar, pak Yanto adalah guru yang paling bisa membuat anak-anaknya merasa gambarnya tidaklah jelek-jelek amat. Bahkan Pak Yanto bisa membaca kondisi anak-anak hanya dengan 'membaca gambar' buatan mereka. Akhirnya anak-anak malah dengan sukarela curhat ke beliau setiap mereka ada masalah.

Pak Yanto punya nama lain karena keahliannya ini, yaitu 'The Healer'. Kami melihat beliau dianggap memiliki 'kapasitas Mana Point' tanpa batas, cukup untuk mengembalikan 'power' anak-anak yang sudah menipis.[1]

"Ternyata 'The Healer' juga bisa sakit ya," kata Glenn.

"Yah, mungkin kita semua sudah ngabisin energi Pak Yanto. Jadi dia gak bisa sembuhin diri sendiri lagi." Kataku sambil memasukkan barang-barang ke dalam ransel.

"Pulang, Dit?

"Iya rencananya. Tapi mau ke DigiStudio bentar."

"Ikut ya, kita kan searah."

Sambil menunggu bus di halte, Glenn sibuk promosi menu baru di restorannya. Mama Glenn punya restoran tidak jauh dari rumahku. Hanya 10 menit jalan kaki. Restorannya buka mulai dari jam 12 siang sampai jam 10 malam. Menu khasnya adalah olahan ayam, setiap minggu ada saja menu ayam baru. Tentu ada jenis makanan lain, tapi khusus ayam selalu ada. Alasan membuat menu spesifik olahan ayam hanya karena Glenn –anak satu-satunya ini hobi makan ayam.

"Nanti malam ajak Bunda ke resto ya. Mama udah dari hari Senin nyuruh ngajak kamu sama Bunda untuk nyicip menu baru."

"OK, tapi gak janji. Kalau Bunda gak masak banyak, aku ajak kesana. Tapi kalo makanan di rumah banyak, kita gak datang ya."

"Usahain datang lah! Cuma jalan kaki 10 menit juga. Bungkus juga ga papa."

Sebetulnya kalau diajak makan mana bisa kutolak, apalagi masakan Mama Glenn memang dijamin enak. Tapi kalau Bunda sudah masak banyak, rasanya kan sayang kalau masakan Bunda jadi tidak bisa dimakan. Mubazir.

Tak lama bus yang ditunggu-tunggu datang juga, karena belum jam pulang sekolah banyak bangku kosong dalam bus. Kami langsung memilih bangku paling belakang seperti biasa. Posisi paling enak buat memperhatikan penumpang lain.

Belum jam macet, dalam 15 menit kami sudah sampai di DigiStudio. Mbak Mela di front desk menyambut kami dengan senyum lebar.

"Ini pada ngapain muncul jam segini? Kalian bolos ya?" Tanya mbak Mela.

"Duh! Mbak Mela tega betul menuduh kami yang ganteng-ganteng ini bolos sekolah," protes Glenn.

"Siapa tau kan? Bolos gak ada hubungan sama ganteng kali, dek." Kata mbak Mela sambil tertawa kecil.

"Kelas menggambarnya dibatalin mbak," jelasku. "Gurunya mendadak sakit, kata guru piket kita pulang cepat tapi dikasi PR." Glenn masih cemberut setelah dituduh bolos. Ini anak memang badan saja yang besar, jiwanya masih balita -- sering tantrum ringan gara-gara hal sepele.

"Ooooh, dikira tadi adek-adek ganteng lagi belajar bolos." Mbak Mela masih melanjutkan candaannya.

Glenn mulai sadar kalau mbak Mela hanya bercanda, dia memutuskan untuk duduk di sofa lobby sambil melihat-lihat brosur kelas baru.

"Mbak Mela, katanya waktu itu mau buka kelas digital painting kan? Jadi gak? Udah ada yang daftar? Kapan mulainya? Mentornya tetap sesuai dengan rencana pak Sam kan?" tanyaku bertubi-tubi.

"Kenapa? Adit mau ambil kelas digital painting? Mentornya 90% kemungkinan tetap sesuai rencana. Masalahnya jadwal kelasnya mungkin bertabrakan dengan jadwal kelas videography deh."

"Apa gak bikin kelas lain yang beda jam?" tanyaku lagi. Sayang juga kalau tidak bisa ikutan kelas yang mentornya master dari luar negeri.

"Sementara masih 1 kelas, awalnya peminat kelas digital painting ini banyak. Masalahnya karena jam belajar yang tabrakan dengan kelas lain dan hanya 1x seminggu, banyak yang batal ikut." Kata mbak Mela.

"Sekelas berapa orang, mbak? Sekarang sudah berapa kursi yang terisi?" Tanyaku lagi.

"Cuma 10 orang sekelas. Mentornya gak mau buka kelas besar. Sementara sih baru 5 kursi yang positif berisi." Kata mbak Mela setelah memeriksa status kelas baru di komputernya.

"Kalo Adit bayar DP aja, berarti bisa keep 1 seat ya? Boleh ya mbak? Tadi ga ada rencana mau kesini, jadi ga bawa duit banyak nih. Nanti kalo jadi ambil kelasnya, dilunasi langsung. Tapi kalo gak jadi, boleh Adit minta lagi ya uangnya?" aku setengah memohon minta pengertian mbak Mela.

"Ok, buat Adit apa sih yang gak boleh?" Jawab mbak Mela sambil senyum lebar. "Tapi apa kamu bisa ikut kelasnya, Dit? Kan sama-sama hari Sabtu tuh jadwalnya. Kelas videography cuma duluan setengah jam. Selesai kelas, kamu udah ketinggal kelas digital paintingnya." Tanya mbak Mela lagi.

"Bukan Adit yang mau ikut kelasnya, mbak. Ini kejutan untuk seseorang sih, Adit harus tanya lagi apa orangnya bersedia atau gak untuk ikutan kelas ini. Tapi yang penting sekarang DP 1 kursi dulu."

Tanpa banyak tanya, mbak Mela langsung menuliskan data 1 kursi lagi yang terisi atas nama diriku. Sementara begitu dulu. Daripada kelasnya terlanjur penuh.

"Jadwalnya kapan mulainya mbak Mel?"

"Dua minggu lagi. Hari Sabtu ya, jam 1 sampai jam 3 siang." Ah, ya kelas videography mulai jam 12:30 siang. Berarti aku memang tidak bisa ikut kelas ini.

Kuserahkan uang lima puluh ribu rupiah ke mbak Riana, sebagai DP. Sekarang tinggal memberitahu Bunda soal kelas ini.

Sampai di rumah hari sudah mulai senja. Butik sudah bersiap-siap ditutup, kulihat pacar kak Wendy duduk diatas motor yang diparkir di depan butik. Dia sibuk dengan handphone-nya, kenapa dia tidak masuk seperti biasa?

Setelah menegur bang Chen –pacar kak Wendy, aku langsung masuk kedalam. Bunda ternyata baru keluar dari ruang kerjanya. Sepertinya hari ini Bunda sibuk sekali, artinya Bunda mungkin tidak sempat masak. Memang sudah rejeki resto Glenn, hari ini sepertinya kita makan diluar.

Kupeluk Bunda sebelum ke lantai 2. Aku pikir sebaiknya menanyakan minat Bunda ikut kelas digital painting ditunda sampai selesai makan malam nanti.

Setelah mandi, sambil mengeringkan rambut, kudengar langkah kaki diluar kamar. Bunda sudah selesai menutup butik. Ternyata benar, Bunda melewati makan siang karena sibuk. Dan sekarang sepertinya juga sudah terlalu lelah untuk masak-masak.

Akhirnya malam ini kami memutuskan untuk makan diluar. Dalam perjalanan menuju resto Glenn, aku memutuskan untuk memberitahu Bunda soal kelas digital painting.

Bunda awalnya meragu untuk ikut, karena merasa usianya sudah tidak pantas untuk ikut menghadiri kelas short course seperti ini. Aku meyakinkan Bunda bahwa tidak usah merasa takut, karena aku tidak perduli dengan apa perkataan orang. Bunda takut aku kena bully kalau orang-orang tahu Bunda Adit masih muda dan cantik.

Aku tidak perduli, "Yang pasti, Abang senang kalo Bunda ikutan belajar di tempat Abang. Karena Bunda jadi lebih sering berdua dengan Abang walau bukan di rumah."

Lagipula kalau Bunda terus-terusan ada di dalam butik, kapan waktunya Bunda bisa ketemu dengan 'calon suami'?