[Perfect! Kalau aku sudah sampai disana, aku DM lagi deh.]
Dan itu jadi pesan terakhir yang dikirim Diondarte. Waktu kubalas dengan pesan, "OK", tidak ada tanda-tanda pesan sudah dibaca. Selalu begitu. Setiap bertukar pesan DM di instagram selalu berakhir dengan pesan dariku yang tidak dibaca sampai saat dia berkirim pesan berikutnya.
Sepertinya Diondarte tidak membiarkan akun instagramnya dalam keadaan login sepanjang masa. Ini juga yang membuatku merasa nyaman berinteraksi dengan teman virtual yang satu ini. Tidak ada paksaan untuk selalu berbincang sepanjang waktu. Balasan DM yang tidak selalu segera datang dan ketidakpastian kapan pemilik akun akan kembali login dan memberikan 'hati' secara massal ke postinganku.
Teman virtualku ini sudah pasti bukan remaja yang butuh perhatian penuh dan menuntut ketaatan pengikutnya untuk selalu membagikan 'hati' atau meninggalkan komentar demi kepuasan narsistik. Setidaknya, walau usianya mungkin lebih muda daripadaku, dia punya jalan fikiran yang dewasa.
Belakangan ini pertemanan virtual susah dibedakan antara memberi perhatian atau 'stalking' alias menguntit. Seringkali pengikut akun dengan setia mengikuti update seseorang di sosial media secara tekun demi merasa dekat dengan pemilik akun dan kemudian merasa punya otoritas mengatur hidupnya.
Batas-batas hak personal nyaris hilang, tapi itu tidak sepenuhnya salah khalayak bernama follower. Karena setiap orang yang memiliki akun sosial media pun seringkali tidak sadar kalau mereka membiarkan hidup mereka untuk dikomentari, dinilai, diatur orang lain yang bahkan wujudnya saja tidak diketahui. Mereka dengan gamblang membagikan hidupnya di akun sosial media. Bahkan dengan sengaja memberi polesan supaya kelihatan lebih baik dari kenyataannya.
Dengan dasar apapun itu, apakah sekedar berbagi sesuatu bernama kebahagiaan kepada pengikutnya, atau berbagi kesedihan untuk meraih simpati, bahkan berbagi barisan doa-doa dengan alasan menebar motivasi. Tetap saja jauh di balik semua alasan-alasan tadi niat sesungguhnya dari kebanyakan orang yang memiliki sosial media adalah kebutuhan diri untuk mendapatkan perhatian lebih, kebutuhan untuk merasa bahwa diri ini penting. Kebutuhan dasar untuk mendapatkan 'hati' sebanyak-banyaknya walaupun tidak dengan ketulusan.
Namun semua hal di atas dunia memang memiliki dua sisi berlawanan, tergantung kepada pribadi yang melihatnya. Pilihannya ada di dalam diri kita sendiri.
Aku sepenuhnya sadar kalau sedikit banyaknya aku juga berharap akan ada orang-orang yang menyukai instagram post-ku, meninggalkan komentar positif atau sekedar memberi semangat. Ada kebahagiaan tersendiri saat ada banyak orang yang menyukai karya-karyaku. Setidaknya hal itu bisa mendorong kepercayaan diri, bahwa hasil karyaku membuatku layak.
Tapi aku punya batasan. Pujian berlebihan, keterikatan yang terlalu kuat, atau tuntutan untuk mengikuti keinginan pengikut instagramku tentang tema berikut yang harus dibuat, adalah hal yang paling aku hindari. Kembali lagi karena, aku tidak berniat menjalin hubungan yang terlalu erat secara personal apalagi dengan manusia di balik akun sosial media yang tampilannya semu. Dengan sengaja aku tidak pernah membagikan foto diri, foto Adit atau hal-hal berbau personal lainnya. Aku tidak mau orang ikut campur mengatur hidupku.
Dan Diondarte adalah satu-satunya teman virtual yang bisa membuatku nyaman untuk terus berbincang-bincang tentang hal-hal acak sederhana tanpa rencana tapi selalu berakhir dengan kepuasan. Karena aku bisa dengan bebas berpendapat tanpa ada perasaan dihakimi, dan tidak merasa wajib untuk membagikan remeh temeh keseharian untuk tetap merasa akrab. Tanpa terasa sudah empat tahun kami saling mengikuti di instagram.
Cukup sudah mengusap-usap layar sentuh ini, kuletakkan kembali handphoneku ke tempat semula dan memutuskan untuk bersiap-siap melakukan aktifitas selanjutnya. Mandi!
Sebentar lagi dua karyawanku akan datang.
--
Kudengar alunan musik polyphonik dari lantai 1, suara bel pintu buatan Adit. Itu pasti Rose dan Wendy, dua orang karyawanku. Mereka selalu masuk lewat pintu samping menuju ruang makan kami. Aku segera turun kebawah dan membukakan pintu.
"Pagi ibu!" Kata mereka serentak setelah pintu kubuka. Mereka berdua sebenarnya cuma lebih muda 10 tahun dan 13 tahun dariku. Tapi dari awal bekerja mereka memutuskan untuk memanggilku 'ibu' daripada 'kakak'. Alasannya? Karena ingin menghargaiku sebagai pemilik usaha. Kalau Rose sendiri pernah bilang, alasannya memanggil aku 'ibu' karena merasa berterimakasih aku sudah bersedia jadi tempatnya bergantung.
Rose punya masa lalu yang tidak terlalu cerah warnanya, yang membuat dia menerima penilaian sosial yang kurang positif. Karena aku menerimanya bekerja tanpa merasa keberatan dengan sejarah hidupnya yang dianggap orang sebagai 'tidak cukup mulia', dia merasa aku adalah orang yang pantas dia panggil 'ibu'.
Rose adalah karyawan yang paling lama bekerja di butik, sudah lima tahun dia menolongku menjalankan usaha yang dirintis Mama ini. Hubungan kami bukan lagi seperti karyawan dan atasan, dia sudah seperti salah satu anggota keluargaku. Dia pun secara alami mengetahui sejarah hidupku yang tidak ideal, yang kemudian membuatnya jadi lebih merasa dekat denganku.
"Sudah sarapan?" Tanyaku sambil mengajak mereka masuk.
"Belum, bu. Tapi tadi cece Kim sudah buka. Jadi Wendy bungkus bubur ayam dan cakwe. Mau makan disini aja." Jawab Wendy yang baru bergabung bersama kami 2 tahun terakhir.
"Kamu Rose?"
"Sudah sarapan di kost-an, bu." Jawabnya sambil meletakkan tas bawaannya di rak sebelah sofa.
"Aku kedepan duluan ya. Buka rolling door." Katanya lagi.
"Rose, minum teh hangat dulu. Ini si Abang bikin teh di teko, rencananya mau dibawa ke sekolah. Tapi dia kelupaan." Kataku sambil menuangkan teh ke 2 mug. Rose segera berbalik ke meja makan. Kami duduk bersama, sementara Wendy meletakkan cakwe yang dibelinya diatas piring dan menghidangkannya di depan kami.
"Cakwenya masih hangat. Yuk, dimakan sebelum dingin." Kata Wendy sambil kemudian mulai makan bubur ayamnya. Masih kelihatan uap panas keluar dari mangkuk buburnya.
"Bu, ada update terbaru nih. Sejak butik kita jualan online, si Wendy jadi sibuk sama HP. Trus pacarnya protes, katanya kalo lagi ketemuan, Wendy gak boleh pegang HP." Sambil cekikikan Rose menyampaikan berita terkini.
"Iya Wen?" tanyaku sambil tersenyum.
"Iya, bu. Ngambek dia. Baru juga setahun pacaran. Udah ngatur-ngatur."
"Cemburu dia. Mungkin dia pikir kamu chat sama cowo lain." Kata Rose lagi.
"Cemburu aja sendiri. Padahal udah dibilang, aku tu chat sama customer. Atau periksa orderan. Udah liatin HP ke dia, tapi masih ngambek aja. Kayak anak kecil." Jelas Wendy sambil terus menyuap buburnya.
"Lain kali kalau gak terlalu mendesak, gak usah jawab customer dulu. Wajar ajalah dia marah, soalnya lagi sama-sama tapi kamunya malah sibuk yang lain." Kataku sambil tersenyum.
"Kalau keberatan, tinggal bilang baik-baik aja kenapa? Pake acara ngambek segala, emang umurnya berapa? Padahal kan ini aku kerja juga buat nabung, kalo jualan kita meningkat kan bagus. Katanya pacaran niatnya nikah. Lah, nikah kan pake duit." Jawab Wendy lagi, mangkuknya sudah bersih. Setelah menghabiskan teh hangat, Wendy langsung berdiri menuju dapur sambil membawa mangkuk dan mug ke tempat cuci piring.
"Si Ano merasa kamu lebih sayang duit daripada dia mungkin, hahaha." Kata Rose menanggapi sambil tertawa.
Aku cuma bisa ikut tertawa sambil geleng-geleng kepala. Bersama mereka berdua ini bagaimana aku bisa merasa sepi. Kenapa Adit sampai merasa aku kesepian setelah sekarang dia makin sibuk? Ada Rose dan Wendy saja sudah terasa ramai.
Tiba-tiba saja Wendy yang baru selesai mencuci mangkuk dan mug-nya berkata, "Eh, eh, eh, tapi kemaren Wendy juga dapet update, loh. Headline news! Berita terkini!" Sambil berjalan ke arah meja.
"Oh, iya. Kemaren ya? Aku juga denger tuh. Langsung dari sumber terpercaya." Kata Rose sambil senyum-senyum ke arahku.
Kenapa mereka berdua menatapku dengan wajah seperti ini? Berita apa?
"Update apa? Kok liatin ibu?"
"Hehehe, soalnya ini gosip tentang ibu." Jawab Wendy sambil terkekeh.
"...?"
"Kata si Abang, dia lagi bantuin cari calon suami untuk Bunda-nya." Serentak mereka berdua menjawab sambil langsung berjalan ke pintu menuju butik.
"Apa?..."
"Semangat, Bu! Kami mendukung penuh!"
Apa ini? Kenapa semua anak-anakku begini? Sekarang mereka seperti berkomplot menggodaku.