Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 9 - Doppelganger*

Chapter 9 - Doppelganger*

"Dyan," sambil tersenyum kuperkenalkan namaku, kujabat tangan wanita muda di depanku. Tamu pertama kami hari ini. Penampilannya terlihat sebaya dengan Rose. Dia mengenakan kemeja super longgar warna broken white yang hanya dimasukkan bagian depannya ke dalam celana denim. Dengan sneakers putih dan totebag faux leather warna hitam. Tidak ada aksesoris sama sekali, wajahnya hanya dihiasi make up tipis. Sekilas terlihat tanpa make up.

"Emily." Katanya dengan senyum ramah dan menyambut jabat tanganku dengan hangat. Ah, calon pelanggan pertama yang menyenangkan.

"Silahkan duduk dulu, mbak Emily," kupersilahkan dia duduk di sofa yang ada di sudut butik.

"Emil aja, mbak. Saya baru 25." Katanya sambil tertawa kecil. Cantik sekali, sebagai wanita pun rasanya jatuh cinta melihat senyum wanita muda berwajah ramah di depanku ini.

"Ah, ya. Apa yang bisa saya bantu, Emil?" tanyaku sambil tersenyum, memang benar kalau kebahagiaan itu bisa menular. Melihat Emil yang yang didepanku memancarkan aura keceriaan membuat suasana butik pagi jadi lebih cerah.

"Keponakan saya mau ulang tahun ke-4, mbak Dyan. Rencananya sih, mau dirayakan di sini aja. Jadi rasanya lebih praktis kalau dressnya juga dibuat disini ."

"Maksudnya, keponakan Emil ga tinggal disini?

"Sekarang belum sih, mbak. Rencananya baru mau pindah ke kota ini. Sekarang dia dan Papanya masih di kota J. Mungkin minggu depan deh baru bisa dibawa kesini buat ukur. Kira-kira masih bisa gak ya, mbak? Terlalu mepet ga waktunya?"

"Acaranya?"

"Kira-kira akhir bulan depan."

"Kalau akhir bulan depan masih bisa."

"Ah, syukurlah. Minggu depan saya bawa keponakan saya kesini."

"Ok, kalau mau kesini kita janjian dulu ya, Emil. Bisa kirim pesan ke nomor yang ada di kartu nama kita." Kataku sambil menyodorkan kartu nama butik kepadanya.

"Aah, ok mbak. Kayaknya Isabel bakal suka dibawa kesini. Saya udah lihat beberapa dress yang di display di manekin, suka sama finishingnya. Isabel kulitnya agak sensitif, jadi memang liningnya* harus yang gak bikin kulitnya merah-merah."

Terima kasih buat mbak Viny. Lulusan sekolah fashion design memang beda, dibanding aku yang cuma kenal dunia rancang merancang baju anak-anak ini karena melanjutkan usaha Mama. Sejak mbak Viny bergabung, memang butik jadi lebih fokus dalam pemilihan desain dan bahan yang dipakai. Aku banyak belajar dari kakak iparku tersayang.

"Kalau ada foto Isabel, boleh saya lihat dulu? Setidaknya bisa prediksi kira-kira desain yang cocok buat dia."

"Oh, boleh." Emily langsung membuka kunci handphone-nya dan mulai mencari foto Isabel di dalamnya.

"Ini mbak Dyan. Anaknya baru mau 4 tahun, tapi memang agak tinggi dibanding teman seumuran dia." Sambil memperlihatkan foto-foto Isabel di galery-nya, Emily bercerita tentang Isabel.

Memang benar, Isabel lebih terlihat seperti anak umur 5 tahun pada umumnya. Proporsi tubuhnya yang lebih panjang membuat dia terlihat lebih 'dewasa' dari usianya. Pasti sulit sekali mencari pakaian yang sesuai dengan usianya, karena ukuran badannya yang tinggi. Dyan jadi teringat salah satu alasan Mama dulu membuat butik pakaian anak ini.

Ya, karena Adit juga badannya lebih bongsor dibandingkan teman-temannya. Mama merasa cucunya jadi terpaksa memakai baju yang tidak sesuai dengan usianya. Kebutuhan model baju yang sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak-anak. Menurut Mama kalau Adit terpaksa pakai baju untuk usia anak yang lebih besar, nanti tidak baik untuk perkembangan jiwanya. Dia jadi tidak bisa tumbuh sesuai dengan kebutuhan psikologisnya.

Tiba-tiba aku tertegun melihat satu foto Isabel, sepertinya selfie yang diambilnya sendiri. Melihat aku yang mendadak berhenti di satu foto, Emily ikut memperhatikan layar handphone-nya.

"Oh, ini Isabel kadang-kadang suka pinjem HP buat selfie. Kalau dari dekat begini, dia baru kelihatan seperti anak 3 tahun. Soalnya gak keliatan badannya yang panjang." Jelas Emily sambil tertawa kecil.

"Iya," tanggapku pendek sambil tersenyum.

Tapi bukan itu yang menarik perhatianku. Ada sesuatu di wajah Isabel yang mengingatkanku pada seseorang.

Tiba-tiba HP Emily yang ada di genggamanku bergetar. Ada notifikasi pesan masuk. Segera aku serahkan HP itu ke pemiliknya yang langsung menyambutnya. Emily langsung memeriksa notifikasi yang masuk, tidak lama Hpnya bergetar lagi. Kali ini ada panggilan masuk.

Emily langsung menerima panggilan itu, "Halo...."

Sambil menunggu Emily selesai menerima telepon, aku segera menuliskan secara singkat poin-poin penting calon pelanggan kecil kami, Isabel. Kebutuhan untuk baju yang sesuai usia, kulit sensitif, lining bahan yang nyaman, clean finishing, acara ulang tahun, acara akhir bulan depan.

Selintas dari perbincangan singkat Emily, dia sepertinya sedang berbicara dengan orangtua Isabel. Membahas tentang persiapan dress ulang tahun Isabel.

Tidak lama, panggilan berakhir. Emily memegang tanganku, meminta izin untuk segera pergi.

"Makasih banyak mbak Dyan. Mudah-mudahan gak ada kendala, minggu depan saya bawa Isabel. Sekarang saya permisi dulu, mbak."

Kuantar Emily sampai kedepan pintu butik, kutunggu sampai dia naik ke mobilnya dan membalas lambaian tangannya sesaat sebelum dia pergi dari halaman butik.

Setelah Emily pergi, Rose tiba-tiba muncul di belakangku. Membuatku terkejut.

Rose: "Cantik ya, bu. Keponakannya juga pasti cantik seperti tantenya."

"Cantik dan ramah. Ya, keponakannya juga cantik." Tanggapku atas komentar Rose.

Rose: "Jadi pengen ketemu deh sama Isabel. Penasaran. Pasti lucu deh anaknya."

Aku tersenyum, lalu berbalik masuk ke dalam butik. Langsung berjalan ke dalam kantor dan mendapati layar Hpku yang terlihat bercahaya.

"Ding"

Kuperiksa notifikasi yang masuk. Rupanya ada pesan baru dari Emily.

[Ini nomor saya mbak. Tadi saya lupa bawa kartu nama. Minggu depan saya bawa deh kartu namanya. ☺ -Emil]

Kusimpan nomor Emily kedalam phonebook. Sambil duduk kembali di kursiku, untuk kemudian memutuskan mulai membuat sketsa awal desain dress Isabel.

Ada perasaan mengganjal di dalam hatiku. Teringat kembali foto selfie Isabel tadi. Ada sesuatu yang membuat hatiku terasa agak aneh. Selfie tadi memperlihatkan dengan jelas wajah Isabel. Mata bulatnya yang bening berwarna coklat muda, mengingatkanku pada Adit. Lalu hidung kecilnya yang agak tinggi, seperti hidung Adit waktu kecil... Yang membuatku merasa agak gelisah, kenapa senyumnya juga terlihat seperti senyum Adit waktu kecil?

Sekilas raut wajahnya seperti wajah Adit waktu balita.

Rasanya aneh, melihat ada anak orang lain yang wajahnya mirip seperti wajah anakku. Tapi aku teringat Alesya dulu pernah cerita, kalau diatas dunia ini ada setidaknya 7 orang yang wajahnya mirip kita. Walau tidak ada hubungan darah sama sekali. Makanya ada istilah 'doppelganger',

Yah, bisa saja. Adit dan Isabel bukannya mirip seperti kembar, cuma kebetulan mata mereka, hidungnya dan senyumnya mirip. Bukan berarti mereka bersaudara kan?

"Ding"

Kembali ada pesan masuk. Dari Emily lagi.

"Tap"

Kubuka notifikasi yang baru dan kemudian terpana. Emily mengirimkan 3 foto Isabel lewat messenger. Dua foto Isabel memperlihatkan seluruh proporsi tubuhnya. Dan satu foto selfie lain, bukan yang kulihat tadi.

[Buat referensi mbak Dyan, saya kirim foto Isabel. ^_^ Maaf spam, gak sengaja ada selfie yang terkirim.]

Selfie ini, kenapa Isabel terlihat makin mirip Adit?