Aku bangun tanpa pakaian sehelai pun. Hanya selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Mataku mendapati semua pakaian yang kupakai kemarin tergeletak di lantai, berhamburan. Dadaku sesak, jantungku berdetak cepat. Setengah melompat, aku menuruni tempat tidur sambil membungkus tubuhku dengan selimut.
Argh! Perut bawahku... Nyeri.
Refleks kulihat sprei putih hanya untuk kemudian menemukan bukti yang aku takutkan. Darah! Mataku mendadak panas, pandanganku buram, air mata ketakutan, kesedihan, kemarahan, kebingungan, perlahan mengalir keluar.
Ada bercak darah di tempat tidur. Darah itu...
"Dyan, kamu sudah rusak!" Benakku berteriak padaku.
Aku bukan perempuan bodoh yang tidak tahu apa yang sudah terjadi saat ini. Seseorang sudah merampas keperawananku. Entah setan mana yang melakukan ini. Semua ini membuatku bingung.
Kenapa aku disini? Kemana kak Sania? Cuma satu yang ada dalam fikiranku, jangan lama-lama disini. Tempat ini berbahaya. Aku harus segera pergi. Segera aku mengenakan pakaianku, sambil menahan nyeri di bagian bawah perutku.
Tasku! Kucari handphoneku didalam tas. Ah! Masih ada. Sepertinya semua isi tasku masih utuh, ada sedikit kelegaan saat kulihat dompetku masih ada.
Aku berlari ke arah pintu kamar, untuk kemudian berhenti. Bagaimana kalau laki-laki bejat itu masih ada diluar? Perasaan takut kembali datang. Kubuka pintu pelan-pelan, kulihat keluar selasar. Tidak ada siapa-siapa. Aku ingat arah menuju lift. Sekarang waktunya, harus segera pergi dari sini!
Aku cepat-cepat keluar dari kamar, berjalan cepat menuju lift sambil mengusap kedua pipiku. Air mata ini, jangan sampai kelihatan. Aku harus cepat turun. Kak Sania, aku kembali ingat seniorku favoritku itu. Apa dia yang sudah tega meninggalkanku? Atau...jangan-jangan dia juga mengalami hal yang sama?
Angka 7 terlihat, pintu lift terbuka pelan. Kututupi wajahku dengan rambutku yang panjang, aku tidak mau ada orang yang mengenali aku.
"Kosong! Segera masuk lift. Cepat!"
Tidak butuh waktu lama, lift sudah sampai di lantai 1. Tanpa menunggu sampai pintu terbuka seluruhnya, aku segera berjalan cepat ke arah lobby terus kearah luar. Aku tidak ingin orang melihat wajahku, jangan sampai laki-laki biadab itu menemukanku.
Sampai diluar, kulihat ada taxi yang sedang berhenti menurunkan beberapa tas dari bagasinya. Tanpa berfikir panjang, segera kubuka pintu belakang dan cepat-cepat masuk ke dalam taxi.
"Maaf, mbak. Saya masih pake taxi-nya. Tolong tunggu taxi berikutnya aja." Tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari arah kursi depan.
Bukannya taxi ini kosong? Tadi supir taxi sudah menurunkan barang. Aku cuma bisa terdiam, tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Kalau aku harus keluar lagi dan menunggu, itu sama saja memberi kesempatan untuk bertemu orang-orang yang sudah membuatku begini. Lebih lama lagi disini, aku tidak yakin otakku masih bisa berfungsi. Aku takut.
"Ma..maaf, mas. Saya ... saya perlu ke rumah sakit. Ini... ini mendesak. Tolong, biar saya bisa naik taxi ini."
Mohonku sambil berkali-kali aku mencuri lihat ke arah luar dan kemudian merunduk. Menyembunyikan wajahku. Rasanya saat ini, aku seperti dikejar-kejar sesuatu.
"Tolong, saya sakit. Saya...saya harus ke RS." Mohonku sekali lagi, tanpa melihat ke arah penumpang di kursi depan. Tanganku sudah basah oleh keringat, kakiku gemetar. Aku takut.....
Diam sejenak. Tiba-tiba supir taxi masuk dan terkejut melihat keberadaanku di kursi belakang.
"Maaf, dek. Tapi taxinya masih ada penumpang. Saya cuma drop barang-barang mas ini ke hotel. Mas-nya masih mau ke tempat lain. "
"Maaf.. Pak. Tolong saya, saya sakit. Saya harus ke RS. Saya bayar lebih."
"Tapi..." sebelum supir taxi selesai bicara, laki-laki di kursi depan berkata, "Ga apa deh, Pak. Mbak ini kelihatannya kurang sehat. Nanti kita tolong anter ke RS dulu sebelum ke tempat tadi."
Rasanya seperti sebagian kecemasan terangkat dari tubuhku.
"Makasih... makasih banyak." Ucapku tanpa mengangkat kepala untuk bertatapan dengan mereka. Terima kasih Tuhan, masih ada orang baik yang mau menolong.
Taxi makin lama makin menjauh dari hotel, sedikit demi sedikit jantungku mulai berdetak lebih tenang. Supir taxi bertanya ke RS mana dia harus mengantarku, hanya satu tempat yang kutuju. Klinik Cempaka, yang ada di dekat rumah kost-ku.
Tidak ada satupun yang berbicara selama perjalanan, pria asing di kursi depan pun hanya sibuk dengan handphone-nya berkirim pesan. Lalu lintas ke arah kota lebih sepi dibanding kemarin, karena di hari libur semua orang berkendara ke arah sebaliknya. Hanya butuh waktu 45 menit taxi sudah sampai di depan klinik yang kutuju.
"Dek, kita sudah sampai klinik." Kata supir taxi.
Segera kurogoh tasku, mencari-cari dimana dompetku hanya untuk kemudian terkejut. Kemana uangku? Hanya ada selembar uang Rp 20ribu, sementara argo taxi menunjukkan Rp 36ribu. Padahal seingatku kemarin ada uang Rp 520ribu didalamnya. Karena pagi sebelum berangkat ke hotel, aku ke ATM di mini market dekat kost.
"Pak...maaf....saya kehilangan uang." Rasa cemas kembali menyerangku.
"Uang saya....uangnya cuma 20ribu...., ada ATM di klinik. Biar saya ambil..." Belum selesai aku bicara, tiba-tiba penumpang pria di kursi depan berkata, "Gak apa, Mbak. Biar saya bayar saja. Soalnya saya belum sampai ke tujuan. Mbak juga jalannya searah dengan saja, jadi gak usah bayar."
Tanpa melihat wajahnya pun aku bisa merasakan ketulusan pria itu.
"Te..terima kasih."
"Ya, sebaiknya Mbak segera turun. Sepertinya Mbak harus segera periksa ke dokter."
"Terima kasih..."
Tanpa fikir panjang, aku segera turun dari taxi. Setelah pintu mobil kututup, tanpa menoleh ke belakang aku langsung berjalan cepat kedalam klinik sambil agak membungkuk menekan perut bawahku yang nyeri. Cuma satu dalam benakku, masuk ke dalam klinik untuk kemudian keluar dari pintu samping dan pulang ke kost. Aku tidak mau diperiksa, bagaimana kalau aku bertemu orang-orang yang kukenal?
Di dalam taxi.
"Mas, maaf saya terpaksa jalan memutar kalau mau ke tempat tadi."
"Ya, Pak. Gak apa-apa."
Kulangkahkan kaki dengan cepat tanpa melihat kiri-kanan. Aku tidak ingin bertegursapa dengan siapapun saat ini. Jangan sampai ada orang yang melihatku dalam kondisi seperti ini.
Rumah kost 3 lantai ini kelihatan sepi, karena kebanyakan penghuninya pulang ke daerah masing-masing. Ujian semester sudah selesai, memang sekarang jadwal liburan. Uang yang kemarin aku ambil di ATM pun sebenarnya untuk membayar sisa harga tiket pesawat pulang ke kotaku besok. Tapi sekarang, apa yang harus aku lakukan?
Pintu kamarku tidak terkunci, aku cepat-cepat masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Setelah aku akhirnya duduk di atas tempat tidur, baru kusadari betapa berantakannya penampilanku di dalam cermin yang tergantung di hadapanku.
Sekarang aku harus bagaimana? Bagaimana masa depanku? Apa aku masih bisa terus kuliah? Bahkan untuk terus tinggal di kota ini pun aku merasa takut. Bagaimana kalau aku bertemu orang itu lagi? Kalau dia melakukan itu di kamar hotel tanpa ada gangguan, bukankah itu artinya dia orang yang punya kedudukan penting disana? Bukankah berarti semua sudah direncakan? Tapi kenapa?
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Alesya! Teman sekamarku, ternyata dia masih ada di kost.
"Dyan? Kapan pulang? Kamu nginep dimana semalam? Di kost kak Sania?"
Kak Sania! Mendengar nama itu disebut, entah kenapa perasaan marah dan cemas datang lagi. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aku benci mendengar namanya.
"Kamu kenapa, Yan? Kamu sakit?" Alesya menghampiriku dan meraba dahiku. Tanpa kusadari, air mataku keluar. Kupeluk Alesya kuat-kuat. Tangis ini tidak bisa kutahan lagi.
"Ada apa? Dyan! Kamu kenapa? Kasi tau aku!"
"Aku...aku udah rusak, Al." Jawabku diantara tangisan yang tidak bisa kutahan.
"Rusak?! Rusak gimana? Kamu kenapa?"
Alesya, teman sekamarku tiga tahun terakhir di kota asing ini, jadi orang pertama yang tahu keadaanku. Dengan sabar dia membujukku untuk cerita, sambil terus mengusap punggungku, mencoba memberi kekuatan. Walau jelas di wajahnya, dia terlihat marah dan sedih. Tapi dia tidak berkata apa-apa selain mendengarkan cerita ditengah tangisanku.
Alesya juga yang kemudian membantu membereskan barang-barangku, membayarkan sisa tiket pesawatku, berinisiatif mengabari Mama kalau besok aku pulang dalam keadaan kurang sehat. Minta tolong pada kakak lelakiku untuk menjemput di bandara.
Dan Alesya juga yang mendadak memutuskan untuk ikut bersamaku, menemaniku sampai kembali berkumpul dengan keluarga. Kalau bukan karena Alesya, aku tidak tahu bagaimana cara memberi tahu Mama dan kakak kejadian keji ini. Memberi dukungan buatku untuk terus terang kepada orang-orang yang paling aku cintai.
Lima belas tahun sudah berlalu. Kapan terakhir aku bertemu Alesya ya?
Dan anak laki-laki yang sedang menikmati masakanku ini, tanpa terasa sudah 14 tahun hadir dalam hidupku --Aditya Harsa*.
Putraku yang bermata coklat muda, yang sudah memberiku kebahagiaan dan perasaan berharga. Terima kasih sudah hadir dalam hidupku, nak.
"Bun!"
"Mmm?"
"Kok bengong? Ntar ayam gorengnya lenyap nih!"
Aku tertawa kecil mendengar ancamannya. Anak ini memang lagi rakus-rakusnya ya. Masa pertumbuhan memang butuh banyak asupan gizi. Bahkan dalam 2 tahun belakangan tingginya mendadak menjulang melewati teman sebayanya. Berdiri di sisinya sudah harus sedikit mendongakkan kepala kalau ingin menatap matanya.
"Makan aja."
"Jangan nyesel ya?"
"Haha...kalo perlu yang udah Bunda makan, dikeluarin lagi nih buat kamu."
"Yaiks! Jorok ah, Bunda!"
"Itu kan istilahnya aja, Bang." Kataku sambil tersenyum, dan kembali menyuap makanan yang belum disentuh dari tadi.
Sambil mengunyah aku kembali memperhatikan Aditya, memandangnya sedang makan saja sudah jadi hiburan tersendiri.
"Bun! Kenapa sih ngeliatin terus? Baru sadar ya punya anak ganteng?" Pernyataan apa ini?
"Bunda cuma heran, sejak kapan kamu jadi sepanjang ini?"
"Rambutnya?"
"Badannya..."
"Oooh, baru juga 170, Bun."
".... Sudah 170? Ukur dimana?"
"Kemaren, si Glenn penasaran, dia ngajak ukur tinggi ke UKS. Sebel dia, sekarang kalah tinggi dari Adit." Jawabnya sambil mengunyah ayam goreng ketiga.
"Kalo gitu sekarang Bunda bisa tenang kalo jalan sama kamu. Ada bodyguard gede yang jagain."
Tiba-tiba Adit berhenti mengunyah. Dia menatapku dalam-dalam. Ada apa?
"Kenapa? Ga mau jalan sama Bunda lagi?"
"Mau dong, Bunda abang kan cantik. Hehehehe...." Apalagi ini komentarnya?
"Trus kenapa kok liatin Bunda gitu? Bunda kira abang gak mau jalan bareng Bunda lagi."
"Cuma kepikiran aja...."
"Apa?..."
Sambil terus menatap mataku, Adit yang sudah menghabiskan makanannya lalu menghela nafas.
"Cuma kepikiran, sebentar lagi kalau abang udah makin sibuk, siapa yang bisa jagain Bunda?"
"Hahaha, Bunda kan bukan anak kecil."
"...."
"Bun..."
"Ya?"
"Abang mau Bunda ada yang jaga."
"Jadi?"
"Abang mau ada orang yang bisa perhatiin Bunda terus."
"Kan ada abang. Anak bunda kan selalu perhatian."
"Bun,... maksud abang.... Abang mau Bunda punya suami."
Aku terdiam.