Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 5 - Dalam kecepatan cahaya

Chapter 5 - Dalam kecepatan cahaya

[Dyan]

Samar-samar langit yang gelap berangsur terang, matahari pagi mulai membagikan cahayanya menerangi jalan di depan ruko yang mulai ramai. Suara kendaraan lalu lalang di kawasan pertokoan ini nyaris tidak pernah berhenti sampai lewat tengah malam. Yang ada hanya intensitas suara kendaraan saja yang berkurang. Tidak pernah ada kata 'tidur' di area ini. Nyaris 80% ruko di kawasan ini memang berfungsi sebagai tempat usaha dan tempat tinggal. Rata-rata bangunan tempat tinggal di lantai 2 diisi oleh pemilik usaha atau pegawai di bangunan komersial itu.

Banyak juga ruko yang dibangun sampai 3 lantai, bahkan 3,5 lantai. Karena pemiliknya menyewakan kembali bangunan mereka sebagai kantor dan lembaga pendidikan luar sekolah yang sedang booming. Tempat Bimbingan Belajar, les musik, sanggar seni, bahkan sekolah memasak. Beberapa cafe pun mulai ramai berdiri membuat tempat ini makin ramai dikunjungi.

Kondisi ini membuat para pemilik bangunan tidak takut menambah investasi mereka untuk mendesain ulang lantai 2 dan 3 menjadi kamar-kamar sewa untuk karyawan yang berusaha tinggal di dekat kantor mereka bekerja.

Kondisi ini sudah berlangsung sejak 7 tahun yang lalu, karena ada beberapa sekolah swasta dan cluster perumahan yang dibangun ikut meningkatkan nilai bangunan ruko daerah ini.

Mama cukup beruntung saat membeli ruko ini 10 tahun yang lalu, harganya masih terjangkau, kawasan pertokoan baru saja selesai dibangun, daerah sekitar juga belum terlalu ramai. Baru ada 2 komplek perumahan menengah dan 1 cluster perumahan mewah yang juga dibangun bersamaan dengan komplek pertokoan ini. Namun pelan-pelan pembangunan wilayah ini kian pesat, tentu saja blok-blok bangunan komersial kian bertambah setelah pemerintah kota mencanangkan arah pengembangan kota ke bagian utara kota ini 7 tahun yang lalu.

Mama awalnya membeli toko ini karena tergila-gila membeli pakaian dan mainan anak-anak. Sejak Adit lahir, beliau jadi hobi berburu kebutuhan Adit. Karena Adit lahir dengan kulit yang sensitif, dia tidak bisa pakai pakaian yang terlalu banyak mengandung polyester. Kulitnya yang sangat mudah berkeringat kalau bersentuhan dengan bahan pakaian yang kurang menyerapa kelembapan bisa langsung merah-merah. Paling parah waktu itu iritasi kulitnya sampai ada bentol berisi cairan putih. Adit pasti rewel karena kulitnya terasa gatal dan perih.

Mama jadi ekstra hati-hati kalau membeli pakaian untuk cucu kesayangannya. Tapi kemudian seiring berjalannya waktu, sistem imun tubuh Adit makin kuat. Waktu umurnya 4 tahun, kondisi kulitnya yang gampang alergi berangsur berkurang.

Mama tetap saja membeli pakaian-pakaian kualitas yang sama untuk Adit. Kata Mama, memang kalau cinta ke cucu itu lebih besar daripada cinta ke anak. Waktu itu aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Padahal aku cuma bilang, Mama tidak usah terlalu royal membelanjakan uang pensiunannya untuk Adit.

Sebagai jawabannya, Mama menerima tawaran membeli ruko ini. Kak Mahesa waktu itu bekerja di salah satu developer yang terlibat dalam pembangunan kawasan ini –sebagai asisten arsitek. Waktu pembangunan tengah berjalan, atasan kak Mahesa menawarkan satu ruko yang gambarnya ikut dikerjakan kakak. Beliau puas dengan kualitas kerja kakak, sampai memberi kesempatan untuk membeli satu bangunan dengan harga yang menurut kakak –harga keluarga.

Mama tanpa pikir panjang juga langsung menyetujui tawaran atasan kakak, padahal waktu itu kakak bukan meminta Mama untuk membeli. Cuma cerita soal tawaran atasannya dengan perasaan bangga karena merasa hasil kerja kerasnya dihargai. Tentu tidak terpikir untuk menerima tawaran untuk membeli, karena waktu itu kakak baru bekerja 2 tahun, belum punya jumlah tabungan yang cukup untuk bayar DP kredit pembelian ruko.

Tapi Mama tanpa pikir panjang, langsung bersedia membeli. Kakak sudah bilang ke Mama, jangan ambil tindakan impulsif. Coba dipertimbangkan dulu, karena beli ruko bukan investasi yang sedikit.

Mama dengan nada yakin menyatakan beliau tidak ragu sedikitpun. Karena Mama percaya, selama 2 tahun ini Mama merasa Abang sudah bekerja di tempat yang baik, berarti atasan kak Mahesa sudah pasti orang baik juga. Artinya, tidak mungkin dia akan menawarkan hal ini kalau tidak akan memberi keuntungan yang baik. Sesederhana itu logika Mama.

Aku dan kakak masih berusaha membuat Mama berpikir ulang, sampai akhirnya beliau berkata, "Mama punya simpanan peninggalan almarhum Papa yang selama ini gak Mama sentuh, nak. Karena Mama mau hasil kerja keras Papa dulu tidak hilang sia-sia. Sekarang Mama rasa ini mungkin cara yang benar untuk pakai simpanan itu. Mama beli ruko itu atas nama almarhum Papa, untuk Adit. Cucunya yang belum pernah dia liat."

Ah... kami berdua cuma bisa diam mendengar penjelasan Mama. Kadang kita tidak bisa memahami cara orang tua berpikir, tapi yang pasti apa pun keputusan yang mereka ambil untuk kita pasti cuma berdasarkan oleh cinta.

Kalau memang Mama bilang ruko ini beliau beli karena cintanya pada Papa dan juga cucunya, kami bisa bilang apa?

Tidak ada seorangpun yang tahu kemana arah hidup kita akan menuju. Yang pasti kita bisa berusaha menjalani hidup dengan cara terbaik yang kita bisa.

Siapa sangka, keputusan Mama untuk membeli ruko ini dan kemudia membuat butik kecil khusus pakaian dan mainan anak-anak, bisa menjadi pengangan buatku untuk melanjutkan kehidupan.

Setelah mengetahui diriku hamil karena kejadian malam itu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Kakak dan Mama menghargai keputusanku dengan hati yang lapang. Bagi mereka, kesehatanku secara fisik dan mental adalah yang paling penting. Apalagi sekarang ada satu jiwa lagi yang dititipkan di tengah kami. Menurut Mama, belajar itu bisa kapan saja. Yang penting bagi beliau adalah rasa aman dan kebahagiaan buat anak-anaknya. Buatku dan kak Mahesa.

Kakakku satu-satunya, walau usia kami hanya terpaut 3 tahun, tapi sikapnya sangat dewasa. Sejak Papa meninggal, kakak berubah banyak. Aku pikir dia ingin mengambil peran kepala keluarga menggantikan Papa, sebagai anak laki-laki tertua.

Aku masih ingat hari itu, kami bertiga baru saja sampai dirumah setelah memeriksakan keadaanku ke dokter kandungan. Kata-kata dokter yang memberi selamat atas kehamilanku yang sudah berjalan 2 bulan, dan memberi saran untukku untuk menjaga kondisiku di trimester awal, terus terngiang di telingaku.

Melihat kondisiku yang seperti orang linglung ini, kakak lalu berkata, "Dyan, sekarang kamu gak usah mikir macem-macem. Jangan takut, kakak pasti akan menjaga kamu dan Mama. Kalau mau periksa ke dokter, nanti kakak antar. Yang penting, kamu jaga kondisi ya. Ingat, kata dokter trimester pertama itu harus hati-hati."

Aku cuma terdiam, tak tahu harus bicara apa.

Lalu kakak memelukku sambil berkata, "Apapun itu yang bikin kamu harus menghadapi keadaan ini, kakak yakin ini bukan hal yang gak mungkin untuk dilewati. Kalau Tuhan memberi kita jalan ini, artinya kita mampu menjalaninya."

Mataku terasa panas, pandanganku mendadak buram. Pelan-pelan airmata mengalir di pipiku. Seketika semua pikiran buruk, semua kecemasan, semua ketakutan dan rasa bersalah, hilang. Tergantikan oleh rasa syukur, karena dibalik kondisi yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi dalam hidupku ini, aku masih punya keluarga yang mendukungku sepenuh hati. Memberiku rasa aman dan kasih sayang yang tulus. Tidak ada harta yang setara dengan rasa ini.

Karena kasih sayang kelurgaku ini, aku bisa menerima kenyataan adanya satu jiwa lain yang sedang tumbuh di dalam rahimku. Tiap tahap yang kulalaui selama dia pelan-pelan menampakkan keberadaannya, dengan perubahan yang terjadi di tubuhku, kulewati bersama Mama dan kakak.

Makhluk kecil ini tidak berdosa, dia dititipkan kepadaku karena aku pantas untuk menjaganya. Alih-alih merasa malu, aku memutuskan mengabaikan pandangan sinis dan cibiran orang, yang penting bagiku adalah anak ini tumbuh sehat dan lahir dengan selamat. Aku berjanji akan menjaganya dan merawatnya dengan baik. Karena aku tahu, aku tidak sendiri. Ada Mama dan kakak yang akan selalu berada di sisiku.

Sampai saatnya Adit lahir. Tidak ada kata yang bisa aku pakai untuk melukiskan perasaanku saat itu. Bahagia mungkin jadi kata yang terlalu sederhana untuk diucapkan. Karena aku merasa lebih dari itu.

Proses kelahiran Adit tidak mudah, sakit yang kurasakan nyaris sehari semalam sampai akhirnya dia hadir, seketika lenyap setelah mendengar suara tangisannya. Terima kasih Tuhan, anakku berhasil menempuh perjalanan berat untuk hadir di dunia ini.

Memeluknya pertama kali di dadaku, bersentuhan kulit dan saling bertukar kehangatan tubuh. Makhluk kecil yang ada dalam pelukanku ini baru saja memenangkan pertempuran besar. Tubuh mungil yang lembut ini sudah bersusah payah untuk datang menemuiku. Anak ini sudah memberiku izin untuk menjadi ibu. Terima kasih untuk kehormatan yang kau berikan untukku, nak.

Aku memutuskan untuk membesarkan Adit tanpa pasangan. Aku sadar stigma masyarakat yang masih sulit menerima statusku sebagai wanita yang punya anak diluar pernikahan. Aku tidak pernah menganggap kondisiku ini hina, tapi juga tidak menyangkal kalau masyarakat umum tidak menaruh rasa hormat bagi wanita sepertiku. Penjelasan apapun hanya menjadi alasan buat mereka. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membuat mereka bisa menerima keadaanku, karena orang hanya ingin meyakini apa yang mereka yakini.

Aku cuma ingin anakku tumbuh dengan cinta dari orang-orang yang memang tulus mencintainya. Aku pikir, menghadirkan orang baru dalam hidupku dan anakku adalah tindakan yang belum tentu tepat. Lebih baik aku fokus mencintai anakku sepenuhnya, tanpa harus membagi perhatian ke orang lain.

Mama dan kakak bukannya tidak pernah memintaku untuk berfikir soal menikah. Mereka ingin aku juga mendapat kasih sayang dari seorang suami yang bisa bertanggungjawab terhadap diriku dan anakku. Tapi selalu saja kujawab, kalau aku tidak yakin bisa membagi hati untuk orang lain lagi. Aku tidak ingin Adit tumbuh tanpa kasih sayang penuh dariku. Aku mungkin terdengar egois, tapi jauh di dalam hati sesungguhnya aku hanya takut.

Takut kalau aku bertemu orang yang salah, takut kalau nanti aku tidak bisa memberi cinta yang layak, dan terutama aku takut....untuk menjalin kedekatan dengan laki-laki, karena bayangan kebingungan malam itu masih terkubur dalam hatiku. Walau aku tidak bisa ingat dengan jelas kejadian buruk itu, tapi rasa asing setelahnya tidak bisa hilang.

Karena berkali-kali aku selalu menolak permintaan Mama dan kakak, merekapun menyerah dan memutuskan untuk menghargai keputusanku. Bagi mereka kebahagiaanku diatas segalanya.

Sampai 3 hari yang lalu, tak pernah kubayangkan suatu saat aku mendengar kata-kata itu dari mulut Adit.

"Abang ingin ada orang lain yang lebih baik buat Bunda, yang jadi suami Bunda."

Anakku ingin aku menikah, karena dia ingin ada yang menjagaku, ada yang bertanggungjawab terhadapku, agar aku tidak kesepian.

Dia bilang cintaku buatnya sudah kebanyakan jadi harus dibagi ke orang lain. Bukan sembarang orang, tapi orang yang spesial yang bisa memberiku cinta.

Rasanya anakku baru saja kulahirkan kemarin, rasanya belum lama aku masih memeluknya dalam tidur, rasanya masih segar dalam ingatan waktu dia masih suka menangis kesal kalau aku tidak mengizinkannya ikut bersamaku saat aku pergi keluar rumah.

Dalam sekejap, entah kapan itu mulai terjadi saat aku tidak lagi menunduk saat akan melihat matanya, tapi sebaliknya. Entah kapan anakku mulai mengambil alih sebagian tanggungjawab kak Mahesa terhadapku. Rasanya dalam kecepatan cahaya dia sudah jadi 14 tahun saja.

Tak pernah kubayangkan, anakku yang remaja ini memintaku mempertimbangkan untuk menikah.

Dan Adit sudah membuatku terdiam saat dia berkata, "Nanti abang bantu cariin ya?"

Sejak kapan kamu begini, nak?