Adit baru saja berangkat sekolah, kesibukan rutin pagi biasanya memang berakhir sekitar jam setengah tujuh. Masih ada waktu satu setengah jam lagi menjelang karyawan butik datang.
Aku menaiki tangga menuju lantai 2 sambil membawa mug berisi kopi hitam yang baru diminum sedikit saat sarapan, sampai diatas kutatap ruang tempat tinggal kami selama dua tahun belakangan ini. Semua sudah bersih dan rapi, aku tersenyum sambil membayangkan Adit yang setiap pagi berusaha menyempatkan diri untuk membereskan lantai 2 sebelum berangkat sekolah.
Diluar suara kendaraan yang lalu lalang sudah mulai ramai, sambil menghirup kopi hitam yang diseduh dengan sedikit gula jawa dan bersandar di kursi dekat jendela, kusapukan pandanganku keluar. Sudah hampir jadi rutinitasku setiap pagi, mengamati kesibukan yang terjadi di lingkungan sekitar pertokoan.
Tiba-tiba aku teringat kembali perbincangan dengan Adit 3 hari yang lalu.
"Abang gak mau Bunda kesepian."
Kata-kata anakku yang sudah beranjak remaja kembali terngiang di telinga. Aku tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala, karena masih tidak percaya kalau kata-kata itu bisa keluar dari mulut Adit.
Sepi? Apa aku terlihat kesepian dimata Adit? Memang sejak Mama tidak ada dan kami berdua pindah ke ruko ini, aku lebih sering menghabiskan waktu sendirian saat Adit belum pulang. Tapi rasanya aku tidak pernah kesepian.
Kalau butik sudah buka, ada dua karyawan yang menemaniku seharian sampai butik tutup jam 5 sore. Pelanggan yang datang untuk membeli pakaian dan mainan anak-anak juga datang silih berganti. Apalagi 6 bulan belakangan, sejak Adit berinisiatif membuatkan akun butik di salah satu marketplace dan sosial media, aku pun sibuk melayani pembelian secara online.
Butik peninggalan Mama ini selain menjual pakaian anak-anak siap pakai, juga menerima pre-order untuk acara spesial seperti gaun ulangtahun dan kostum untuk pesta. Pelanggan bisa berkonsultasi denganku untuk desain gaun anak-anak, lalu produksinya dikerjakan oleh salah satu penjahit langganan mama. Tapi sejak kak Mahesa menikah, produksi baju anak ini sekarang selalu dikerjakan oleh kakak iparku, mbak Viny.
Pernah kuliah di DKV membuatku akrab dengan dunia desain. Apalagi mbak Viny juga pernah sekolah di salah satu sekolah fashion desain di ibukota. Menikah dengan kak Mahesa dan pindah ke kota kami, membuat dia memutuskan untuk membantu usaha peninggalan Mama ini.
Hubunganku dengan mbak Viny bisa dikatakan lebih dari sekedar saudara ipar. Dia adalah sahabatku satu-satunya sejak aku pulang lagi ke kota dan Adit lahir. Tidak mudah untuk tetap bisa berteman dengan orang-orang yang pernah dikenal sebagai teman sekelas, teman bermain ataupun tetangga.
Statusku yang tidak menikah dan punya seorang anak selalu jadi bahan perbincangan diantara mereka yang merasa 'teman' itu. Baik itu dibahas terang-terangan atau didiskusikan di belakangku.
Tetap berhubungan baik sudah jadi kepastian, bagaimanapun kita tetap makhluk sosial. Lagipula kalau terlalu menutup diri, malah tidak menguntungkan untuk usaha butikku ini. Tapi untuk membuka hati terlalu lebar pun bagiku bukan jalan yang benar. Lebih baik tidak mempersembahkan status spesialku untuk jadi bahan berbincang akrab dengan orang yang dianggap 'teman'.
Makanya aku kaget, Adit tiba-tiba kuatir dengan kesendirian yang sudah aku pilih ini. Sejak awal aku tidak berniat untuk membangun rumah tangga, alih-alih mencari tahu siapa ayah biologisnya. Sejarah baru hidupku dimulai saat Adit lahir.
Aku menjaga baik-baik nilai diriku demi Adit. Walau aku tidak perduli orang mau bilang apa soal diriku, tapi aku tidak bisa membiarkan orang menjelek-jelekkan atau mengasihani Adit. Aku tidak mau kalau Adit tiba-tiba direndahkan karena bundanya yang genit misalnya. Atau karena bundanya yang suka tebar pesona. Atau bundanya yang terlalu gampangan dengan laki-laki.
Tidak! Adit tidak dibesarkan oleh orangtua yang seperti itu.
Ding!
Layar smartphone di meja menyala bersamaan dengan suara notifikasi pesan masuk. Aku bangkit dari kursi menuju meja di depan TV. Kunci layar terbuka setelah telunjukku menyentuh sensor sidik jari di belakang handphone.
[Diondarte updated post.]
Wah, tumben. Terakhir akun ini update post sudah 3 minggu yang lalu. Segera kubuka salah satu akun yang sudah kuikuti empat tahun terakhir. Diantara 400-an akun yang aku ikuti, ini adalah salah satu akun yang bisa dibilang 'akrab'.
Post pertama yang kulihat di linimasa empat tahun lalu adalah sebuah sketsa pensil profil sisi kiri wajah seorang wanita sedang menunduk yang rambutnya menutupi nyaris seluruh bagian mata. Hanya bagian bibir kebawah yang keliatan dan ada jejak air mata di pipinya. Lalu keterangan dibawah sketsa pun merebut perhatianku.
"It's alright, nothing will last forever."
(tidak apa-apa, tak akan ada yang abadi).
Karena post itulah aku mulai mengikutinya. Posting Diondarte kebanyakan adalah gambar, sketsa yang dibuat di tempat-tempat acak. Dengan keterangan gambar yang sederhana namun mengandung makna yang dalam. Tidak satupun foto wajah muncul di linimasanya. Selain gambar sketsa, Diondarte beberapa kali posting foto-foto objek sederhana. Daun gugur, batu, trotoar basah, foto acak tentang objek diam yang berbicara.
Setelah 3 bulan dengan tekun memberi 'hati' untuk setiap post terbarunya, Diondarte pun mengikuti akun instagramku, bersamaan dengan itu kulihat ada pesan baru –dari Diondarte.
[Terima kasih untuk semua 'hati' yang rutin diberikan.]
Berawal dari saat itu, kami saling bertukar pesan. Tanpa sekalipun berkirim foto diri. Karena alasan lain dia mengikuti instagramku adalah juga merasa konten yang kupunya sejalan dengannya. Seperti juga Diondarte, yang aku bagikan selalu gambar-gambar yang kubuat dan foto-foto acak non-manusia.
Walau sudah empat tahun saling mengikuti, hanya informasi umum saja yang saling kami bagikan. Tak ada foto diri, atau cerita mengenai identitas pribadi masing-masing. Tidak juga saling memperkenalkan nama asli. Pun, kami tetap merasa dekat. Mungkin istilah 'virtual best friend' lumayan tepat untuk menggambarkan pertemanan kami ini.
----
Lalu setelah 3 minggu absen dari instagram, sekarang Diondarte mendadak memperbarui post. Kali ini adalah foto, pemandangan langit penuh awan dari balik jendela pesawat. Dia dalam perjalanan.
[being alive means letting yourself to keep moving on]
Tanpa fikir panjang, satu 'hati' lagi kuberikan.
'Ding!'
Muncul angka '1' di sudut kanan atas, di simbol pesawat kertas.
'Tap'.
Diondarte? Segera kubuka pesannya.
Diondarte.
[Hai Dy! Apa kabar? Aku baru sampe di tanah tumpah darah kita nih. ^^ . Kalo ga keberatan, apa mungkin kita ketemuan?]
Dia di Indonesia?
[Hei! Selamat datang di tanah air ya. Btw, tanah tumpah darah kita kan luas. Sekarang lagi di barat, tengah atau timur?]
Diondarte.
[Sampai hari ini masih di ibukota. Kalo kamu disini, kita bisa ketemu.]
[Diriku jauh dari ibukota. Butuh satu kali penerbangan lagi kalau mau ketemu. Plus taxi bandara. Berat di ongkos. Haha.]
Diondarte.
[Too bad. Not my lucky day. Tapi aku cuma transit disini. Untuk selanjutnya aku bakal menetap di kota lain.]
[Menetap? Kamu pindah kesini? Atau liburan panjang?]
Diondarte.
[Sementara bisa dikatakan pindah. Bukan liburan, ini kerjaan. Ada di 3 kota rencananya. Terakhir aku ke kota P.]
Kota P? Dia akan pindah ke kota ini?
Diondarte
[Oya, kamu tinggal di kota mana?]
[Aku di kota P. Sepertinya kita bisa ketemu dalam waktu dekat ini ya?]
Diondarte.
[Perfect! Kalau aku sudah sampai disana, aku DM lagi deh.]
Tunggu! Apa yang sudah aku janjikan? Bertemu? Bahkan aku sampai saat ini tidak tahu Diondarte itu wujudnya seperti apa. Jangankan itu, bahkan kita belum pernah bertukar informasi mengenai gender masing-masing.
Diondarte, kamu laki-laki atau perempuan?