Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 2 - Lima belas tahun

Chapter 2 - Lima belas tahun

"Masak apa, nih? Baunya enak…"

"Hei! Udah pulang? Kok gak kedengeran buka pintu?" Tanyaku sambil membalik ayam goreng tepung yang beberapa detik lagi aroma enaknya bisa berubah jadi aroma gosong kalau tidak buru-buru di eksekusi.

"Pintunya gak dikunci. Ada suara 'peperangan' di dapur, jadi Abang langsung kesini aja," kata Abang sambil mengambil sepotong paha ayam dari piring.

"Eh! Eh! Cuci tangan! Jorok banget. Mandi dulu! Abis dari luar, banyak kuman. Bau, tau!" Kataku sambil memukul bahu Abang. Kebiasaan jelek. Padahal baru pulang setelah berjam-jam terkontaminasi kuman di luar rumah. Sudah dari dulu undang-undangnya jelas, harus bersih-bersih dulu kalau baru datang dari luar rumah. Tapi setiap ada kesempatan, pasti si Abang melanggar aturan ini.

"Baik, yang mulia," kata Abang sambil lari-lari menuju kamar mandi di lantai 2. Bagaimanapun, aku tidak pernah bisa marah menghadapi sikap usilnya ini. Lelaki satu-satunya yang paling aku sayang sampai saat ini.

Tidak perlu waktu lama, selesai membereskan meja makan, Abang sudah terlihat rapi dan wangi. Sambil mengeringkan rambutnya yang lembab, dia berlari kecil menuruni tangga.

"Kalau wangi begini kan, enak. Ga polusi udara."

"Iya, deh," katanya sembari mendaratkan ciuman di pipiku.

"Sekarang kita makan dulu, laper!"

Sudah dua tahun, kita hanya tinggal berdua saja di ruko dua lantai ini. Setelah Mama meninggal, kita memutuskan untuk pindah kesini. Karena rumah Mama terlalu besar untuk kami tinggali berdua. Selain itu, ruko ini memang sudah jadi tempat usaha almarhum Mama sejak 10 tahun yang lalu.

Pindah ke ruko ini sebenarnya juga untuk bangkit dari kesedihan sepeninggal Mama. Tetap tinggal di rumah Mama yang penuh kenangan, cuma membuat kami berdua larut dalam kesedihan. Kepergian Mama yang mendadak, memang agak sulit diterima. Terutama Abang, dia sangat sangat terpukul setelah Mama pergi. Jadi aku putuskan, kami pindah kesini.

"Gimana tadi workshopnya, Bang?"

"Seru juga. Kita sudah mulai bikin project, loh."

"Susah ga sih, materinya?"

"Lumayan. Tapi 'practice make perfect kan, Bun'?" kata anak lelaki-ku yang sudah beranjak remaja ini.

Ya, lelaki satu-satunya yang paling aku sayangi ini, adalah anakku. Anak kandungku, yang lahir dari rahimku, 15 tahun yang lalu. Anak yang awalnya aku benci, kenapa sampai dia tumbuh didalam diriku? Anak yang selalu memberi air mata diawal kehidupannya di dalam rahimku.

Tapi Mama, perempuan super yang maha luas hatinya dan maha besar cintanya, dengan sabar terus membimbingku untuk bisa menerima kehadiran Abang. Bagaimanapun sakitnya aku dan Mama saat mengetahui kehamilan itu, beliau selalu bilang, 'makhluk kecil di dalam rahimku juga tidak pernah meminta untuk hadir di dunia ini. Dia juga hanya bisa menerima takdirnya untuk diletakkan dalam rahimku. Dia tidak bersalah'.

Yang salah adalah laki-laki tak bermoral yang sudah tidak bertanggungjawab terhadap perbuatannya kepada diriku. Laki-laki yang bahkan sampai saat ini tidak tahu dimana keberadaannya. Laki-laki yang bahkan wajahnya aku ragukan wujudnya. Manusia yang aku pertanyakan kemanusiaannya.

Anak ini lahir hanya dengan mengenal bunda dan neneknya. Sejak awal Abang tahu, dia tidak punya yang namanya "ayah". Karena Tuhan tidak menitipkan ayah untuknya.

Walau rasanya kejam, tapi kata Mama lebih baik anak ini tahu keadaan yang sesungguhnya dari awal. Supaya dia tidak berharap, suatu hari dia bisa bertemu dengan "ayah" biologisnya. Karena sejujurnya, aku pun tidak tahu dimana manusia itu berada.

Lima belas tahun yang lalu, semua terjadi seperti mimpi. Saat itu diriku, masih kuliah di kota B. Jadi mahasiswi tahun ketiga di usia yang baru 20 tahun, jurusan Desain Komunikasi Visual. Aku merasa masa itu adalah masa yang paling membahagiakan.

Sejak tahun pertama, banyak senior yang sayang kepadaku. Mungkin karena usiaku yang lebih muda dari teman-teman seangkatan. Mungkin juga karena aku yang anak bungsu ini, bagi mereka cocok diperlakukan sebagai adik kecil. Aku yang suka bermanja-manja dengan kakak senior perempuan, karena punya 'kakak perempuan' membuatku merasa aman tinggal di kota B ini sendiri.

Aku hanya punya 1 kakak laki-laki yang usianya terpaut 4 tahun. Saat itu dia tetap tinggal dan bekerja di kota kelahiran kami bersama Mama. Papa sudah lama meninggal, jadi dia merasa bertanggungjawab untuk menjaga Mama. Dan mengizinkan aku untuk merantau ke kota B, mengambil jurusan impianku di universitas terkemuka sebagai mahasiswa undangan.

Tapi siapa sangka, selama tiga tahun disayang oleh para senior yang kuanggap sebagai kakak-kakak perempuan ini, malah berakhir sebagai bencana dalam hidupku.

Malam itu, 15 tahun yang lalu. Hari Sabtu yang mendung. Sejak siang aku sudah bersiap-siap untuk pergi bersama kak Sania. Salah satu senior favoritku ini, sering ikut dalam project nyata sebagai freelancer. Padahal dia belum lulus. Aku kagum dengan prestasinya, bermimpi untuk bisa seperti dia.

Hari itu, kak Sania mengajakku ke sebuah hotel baru di pinggiran kota. Katanya dia dapat tawaran mengerjakan project desain videography untuk grand launching hotel ini. Dalam rangka survey dan berkenalan dengan pemilik project, dia diundang rapat di hotel itu.

Kak Sania mengajakku ikut. Katanya, ini bisa jadi kesempatan belajar yang bagus. Dia berencana untuk minta izin melibatkanku sebagai anggota lepas dalam project ini. Sebagai pemagang. Kesempatan emas seperti ini jangan sampai lepas, katanya.

Sore itu kak Sania menyetir mobilnya menuju hotel, aku yang duduk di sebelahnya makin kagum dengannya. Masih mahasiswi, tapi sudah bisa punya penghasilan dan punya mobil sendiri dari hasil pekerjaan. Aku juga mau seperti kak Sania.

Sepanjang perjalanan perasaanku campur aduk, bahagia, bangga, optimis dan cemas. Cemas karena baru pertama kali hadir dalam suasana project nyata, juga entah kenapa aku cemas karena pertemuan ini berlangsung di hotel. Tapi, project ini kan mengenai promosi hotel, pasti harus survey lokasi juga kan?

Kutepis perasaan was-was ini. Berusaha untuk menikmati perjalanan menuju hotel yang lumayan lama. Nyaris 1.5 jam, akhirnya kami memasuki halaman parkir hotel itu.

Lokasi hotel yang berada di pinggiran kota, dengan pemandangan alam natural di sekelilingnya, lebih cocok disebut resort. Kami langsung menuju lounge, bertemu dengan lima orang laki-laki. Dua orang memperkenalkan diri sebagai rekan kak Sania, dari perusahaan advertising. Sementara tiga orang lagi adalah orang dari pihak hotel.

Kami berkeliling hotel, melihat fasilitas apa saja yang ada. Dan potensi-potensi apa saja yang dimiliki. Tugasku adalah mencatat semua dengan rapi. Kami juga mengunjungi beberapa tipe kamar. Sampai akhirnya kami diundang untuk melihat kondisi vip room di lantai 7. Pemandangan balkon ke arah lembah di sayap timur membuatku terpana. Belum pernah aku melihat visual seindah itu.Pemandangan seperti ini harusnya diabadikan. Sayang, aku tidak bawa kamera hari itu.

"Sebaiknya kita semua makan malam dulu, nih. Sebelum pertemuan ini kita akhiri." Pak Suryo, yang mengenalkan diri sebagai PR hotel menawarkan kepada kami.

Pak Suryo mempersilahkan kami semua duduk di meja makan. Kamar VIP ini kondisinya lebih mirip dengan unit apartemen. Selain kamar tidur, juga ada ruang makan dan pantry. Bahkan ada ruang duduk dengan rak buku di samping sofa, seperti perpustakaan mini. Tidak lama setelah pak Suryo menelpon bagian dapur, pintu kamar diketuk.

Dua troli penuh makanan didorong masuk ke kamar. Para karyawan dapur kemudian menghidangkan berbagai jenis makanan yang belum pernah aku lihat kecuali di majalah. Aku berulangkali terpana, sejak masuk kamar ini. Baru pertama kali aku masuk kamar hotel semewah ini, dengan layanan sesempurna ini. Berbagai ide untuk media promosi sudah melintas dalam imajinasiku. Ah, saat itu aku betul-betul bahagia. Merasa jalan menuju masa depanku di bidang pekerjaan kelihatan makin jelas.

Bersama dengan karyawan dapur, dua orang rekan pak Suryo ikut permisi meninggalkan kamar setelah menerima panggilan dari front office. Pak Suryo mempersilahkan kami berempat untuk mulai makan malam bersama beliau.

Kak Sania sepertinya tahu, kalau aku merasa gugup. Dia membantuku untuk memilih makanan, menawarkan aku mencicipi beberapa hidangan. Dan menyodorkan segelas jus jeruk dingin kepadaku. Kak Sania sungguh perhatian, aku merasa aman di dekatnya.

Aku mencicipi jus jeruk yang penampilannya cantik sekali. Pak Suryo menjelaskan bahwa, buah yang dipakai untuk semua jus di hotel ini diambil dari petani lokal. Jadi keberadaan hotel ini sendiri juga memberi efek positif buat perkebunan lokal.

Ah, rasa jusnya sedikit berbeda. Tapi aku melihat ada daun mint dan irisan kulit jeruk di dalamnya. Ah! Pasti ini karena ada campuran ini yang membuat rasanya sedikit berbeda. Agak eksotis.

Selama makan, pak Suryo, kak Sania dan 2 rekannya terlibat pembicaraan ringan. Aku merasa sebagai anak bawang, lebih baik diam saja. Tiba-tiba aku merasa agak pusing, aku pikir mungkin karena suhu di kamar yang dingin dan siang tadi lupa makan karena sibuk bersiap-siap. Aku masuk angin?

Aku coba minum air mineral, tapi pusingnya semakin menjadi. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan leherku. Ada apa ini? Kak Sania yang melihat kondisiku langsung bertanya,

"Kenapa? Kamu ga enak badan?"

"Pusing...kak. Kepalaku rasanya kliyengan." Dan kemudian gelap. Aku tidak bisa membuka mataku lagi. Sayup-sayup kudengar suara kak Sania memanggilku. Tapi kemudia semua senyap.

...

Ah! Silau... Ugh! Sudah jam berapa ini? Aku berusaha membuka mata dan bangun. Tapi, kenapa rasanya lemas sekali. Untuk mengangkat tanganku pun rasanya sulit. Sekujur tubuhku terasa nyeri, terutama di bagian pinggangku. Rasanya seperti mau patah. Aku kenapa? Ini dimana??? Cahaya terang ini datang dari arah kiri, kuikuti arah cahaya datang. Jendela? Ini sudah pagi?

Tapi ini dimana? Kepalaku terasa sakit sekali, dengan susah payah kubuka mataku. Sambil memicingkan mata, kuamati sekelilingku, di hadapanku ada sofa dan coffee table. Dan itu? Itu kan meja makan dan pantry? Terasa familiar, itu tempat kita makan malam tadi kah? Ini di kamar hotel? Kenapa aku tidur disini? Kenapa?

Kemana kak Sania? Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang terasa nyeri, saat aku menoleh ke sisi kanan, seketika jantungku seperti mau melompat keluar dari dadaku. Kenapa ada laki-laki di sebelahku? Aaaah!