Aku membuka mataku perlahan, tetapi harus menutupnya lagi karena cahaya terang yang tiba-tiba.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Butuh beberapa saat untuk menyesuaikan dengan cahayadi sini.
Melihat ke sekeliling, dahiku berkerut. Kamar tempat aku berada sekarang tampak asing. Ini bukan kamar tidur di istana atau kamarku di London.
"Dimana aku? Bagaimana aku bisa sampai di sini?" aku bertanya pada diri sendiri.
Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi padaku. Setelah beberapa saat, bayangan tadi malam melintas di benakku.
Aku ingat pergi ke pesta dansa dengan Pangeran Maximilian. Di pesta itu, Raja Bellamy memperkenalkan aku sebagai cucunya dan mengumumkan pertunanganku dengan Pangeran Maximilian.
Bosan berjalan di sekitar ruang pesta, menyapa para tamu, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ketika Pangeran Maximilian pergi mengambilkan aku air, Sigmund mendekati aku dan meminta aku untuk berdansa dengannya. Tetapi kemudian Pangeran Maximilian kembali dan dia berdebat dengan Sigmund. Mereka meminta aku untuk memutuskan dengan siapa aku ingin berdansa, dan aku memilih Pangeran Maximilian daripada Sigmund. Akhirnya, Sigmund pergi dan aku berdansa dengan Pangeran Maximilian.
Ketika lagu berakhir, Sigmund meminta aku untuk berdansa dengannya lagi. Pangeran Maximilian tidak setuju jika aku berdansa dengan Sigmund. Akhirnya, Sigmund dan Maximilian mulai bertengkar sekali lagi.
Aku tidak ingin mendengar mereka bertengkar, jadi aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi sendirian. Tapi akhirnya aku tersesat dikoridor-koridor yang mirip seperti labirin.
Ketika aku sedang mencoba menemukan cara untuk kembali ke ruang pesta, tiba-tiba, aku bertemu dengan seorang pria. Siapa namanya? Ian? Ethan? Evan? Oh, benar, Ivan.
Aku meminta Ivan untuk mengantarkanku kembali ke ruang pesta. Namun, dia malah membawaku ke taman bunga yang terletak di belakang istana.
Kami berbicara tentang orang tuaku sampai tiba-tiba Ivan menempelkan sapu tangan ke mulut dan hidungku dan aku menjadi tidak sadarkan diri.
Ketika kesadaranku mulai kembali, aku melonjak dalam posisi duduk. "Ya Tuhan! Aku diculik. Lagi."
Aku akan berteriak minta tolong, tetapi seseorang tiba-tiba menyelaku, "Jika aku jadi kamu, aku tidak akan mencoba berteriak. Kita berada jauh dari mana-mana sekarang; tidak ada yang bisa mendengar teriakanmu di sini."
Aku menjentikkan kepalaku ke arah suara itu berasal dan mendapati seorang pria muda berdiri di ambang pintu.
"Ivan?"aku berhasil menyebutkan namanya.
"Hai, Mirabelle." Bibirnya melengkung membentuk sebuahsenyuman saat dia berjalan ke arahku.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku, Ivan? Aku pikir kamu pria yang baik. Tapi bagaimana kamu bisa menculikku seperti ini?"aku bertanya dengan marah.
Ivan duduk di tepi tempat tidur dan berkata dengan nada meminta maaf, "Maaf, Mirabelle. Sebenarnya, kami tidak ingin menculik kamu seperti ini. Tapi kami tidak punya pilihan lain."
"Tunggu! Dia bilang kami? Jadi dia tidak melakukan ini sendirian?" pikirku dengan jijik.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ivan. Sekarang beritahu aku! Mengapa kau menculikku?" aku menuntut penjelasan darinya.
"Aku berjanji akan menjelaskannya kepadamu nanti, Mirabelle," kata Ivan.
"Tidak, aku ingin kamu menjelaskannya kepadaku sekarang! Kamu harus memberitahuku mengapa kamu menculikku di pestaku—"aku berhenti tiba-tiba.
Saat kata pesta disebutkan, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku melihat ke bawah dan mendapati bahwa aku tidak lagi mengenakan gaun pesta, tetapi sekarang aku mengenakan piyama berwarna ungu.
"Aaaaah!"pekikku.
"Ada apa, Mirabelle?" Ivan bertanya dengan khawatir.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan pakaianku? Siapa yang sudah menggantipakaianku?" aku bertanyadengan panik.
"Aku," jawabnya polos.
Mulutku ternganga. "Apa?!"
"Maaf, tapi kamu akan merasa tidak nyaman mengenakan gaun pesta ketika kamu tidur, jadi aku memutuskan untuk mengganti pakaianmu. Tapi jangan khawatir! Aku bersumpah tidak melihat apa-apa,"jelasnya.
Aku memukuli dada Ivan berulang kali."Keparat kau! Beraninya kau mengganti pakaianku saat aku pingsan! Dan kau bilang tidak melihat apa-apa? Omong kosong!"
Ivan menangkap kedua tanganku. "Tenang, Mirabelle! Kau seharusnya tidak malu jika aku mengganti pakaianmu karena aku ..." dia tiba-tiba berhenti berbicara.
"Karena kamu apa?" Aku membentaknya dengan marah.
Ivan tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku untuk waktu yang lama.
"Karena kamu apa, Ivan?"aku mengulangi pertanyaanku dengan tidak sabar.
"Lupakan!"akhirnya dia berkata, menghindari pertanyaanku.
Aku hendak bertanya lagi, tetapi dia berkata lebih dulu, "Sebaiknya kamu menyegarkan diri sekarang! Ada pakaian untukmu di lemari. Atau kamu bisa mengganti bajumu dengangaun pestamu lagi jika kamu mau. Aku menyimpannya di tas itu." Dia menunjuk ke sebuah tas jinjing di atas meja rias.
Aku tahu tidak ada gunanya berdebat dengannya sekarang, jadi aku berkata, "Baiklah."
Ivan berdiri dan mulai menuju pintu. Dia membuka pintu dan berbalik untuk menghadapku.
"Aku akan kembali untuk memeriksamu nanti," katanya. Setelah itu, dia menutup pintu setelahnya.