Chapter 45 - Bab 44

Begitu Ivan pergi, aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu. Aku mencoba untuk membula pintu itu, tetapi ternyata pintunya terkunci dari luar.

Sambil mendesah, aku menyandarkan punggungku ke pintu.

"Ibu, aku takut. Mengapa ini harus terjadi padaku lagi? Mengapa ada begitu banyak orang yang ingin menculik aku?" aku bertanya pada diri sendiri dengan sedih.

Aku menyentuh dadaku, berusaha mencengkeram liontinku seperti yang selalu kulakukan setiap kali aku merasa takut atau gugup. Tapi yang mengejutkan adalah liontin itu tidak ada di sana.

"Ya Tuhan, di mana liontinku?" Aku mulai panik.

Aku ingat bahwa aku meletakkan liontin itu di saku rahasia gaunku sebelum pergi ke pesta. Jadi aku berharap masih liontin itu masih ada di sana.

Aku berlari ke meja rias dan mengeluarkan gaunku dari tas jinjing. Aku memeriksa sakunya, tetapi aku tidak dapat menemukan liontinku di sana.

Aku menumpahkan semua isi tas jinjing ke meja rias. Tapi aku tidak melihat liontinku. Yang ada hanya sepatu hak tinggi, tiara, anting, dan cincin pertunanganku.

"Oh tidak! Di mana liontinku? Apakah liontin itu jatuh? Atau apakah penculikku mencurinya?" aku bertanya dalam hati.

"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Itu satu-satunya hal yang ibuku tinggalkan untukku. Tapi sekarang aku sudah kehilangan itu." Air mata mulai mengalir di wajahku.

"Apakah kamu sedang mencari ini?" Tiba-tiba seseorang bertanya.

Aku berbalik dan melihat Ivan berdiri di ambang pintu, mengangkat liontinku.

Aku berlari ke arahnya dan merebut liontin itu dari tangannya. "Kamu seharusnya tidak mencuri liontinku."

"Aku tidak bermaksud mencuri liontinmu, Mirabelle. Itu jatuh dari gaunmu, jadi aku ingin mengembalikannya padamu sekarang," jelasnya.

"Apakah kamu pikir aku akan mempercayaimu?" Aku meletakkan kedua tanganku di pinggang.

"Aku tidak memintamu untuk mempercayaiku. Tapi kamu harus tahu, Mirabelle. Aku tidak pernah ingin mencuri liontinmu. Aku tahu betapa berartinya liontin itu bagimu. Karena itu dari ibumu, kan?"

Aku menyipitkan mata dengan curiga. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa liontin itu milik ibuku? Aku tidak ingat pernah bercerita tentang liontinku sebelumnya. "

"Aku tahu tentang liontin itu karena ibumu pernah memberitahuku tentang itu," dia beralasan.

Penjelasannya masuk akal, tapi aku curiga bahwa dia tidak mengatakan yang sebenarnya.

"Kamu siapa sebenarnya, Ivan? Mengapa kamu sepertinya mengenal ibuku dengan sangat baik?" aku bertanya dengan penasaran.

Pertanyaanku jelas membuatnya terkejut, tetapi ia dengan cepat memulihkan diri dari rasa keterkejutannya. "Tentu saja, aku mengenalnya dengan sangat baik karena dia adalah teman baikku," dalih Ivan.

"Pembohong! Aku tahu kamu lebih dari sekadar teman ibuku. Jadi katakan padaku siapa kamu sebenarnya, Ivan!" Aku menuntut kejujuran darinya.

"Aku ... aku ..." ucap Ivan ragu-ragu.

"Ah, aku senang akhirnya kau bangun, Putri," seseorang menimpali.

"Siapa kamu?" Aku bertanya pada pria berambut pirang yang baru saja menerobos masuk ke dalam ruangan ini.

Pria itu tampaknya berusia di awal dua puluh tahunan. Dia tampan, berkulit putih, tinggi, ramping, dan berotot.

"Oh maaf. Betapa kasarnya aku karena tidak memperkenalkan diri kepadamu lebih dulu! Hai, namaku Randolph Wolfgang." Dia mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku hanya menatap tangannya, tidak berminat menjabatnya.

Melihat aku tidak akan menjabat tangannya, Randolph dengan cepat menarik tangannya dengan kecewa.

"Wolfgang? Jadi kalian berdua adalah saudara?" tanyaku dengan nada mencibir dalam suaraku.

"Ya, semacam itu," jawab Randolph sambil mengangkat bahu.

"Aku tidak bisa mempercayainya! Aku diculik oleh keluarga psikopat," pikirku.

"Mandilah sekarang, Mirabelle! Setelah itu, turunlah! Kita akan sarapan bersama," suruh Ivan.

Sebelum aku bisa menjawab, Ivan berkata, "Ayo, Randolph, mari kita pergi!"

Ivan melingkarkan lengannya di bahu Randolph dan kemudian menyeretnya keluar dari kamar ini.

Sebelum menutup pintu, Randolph berkata kepada aku, "Aku akan kembali untuk memeriksa kamu lagi, Putri."

Mengetahui Ivan dan Randolph bisa kembali ke sini kapan saja, aku buru-buru pergi ke kamar mandi dan mandi sebentar.

Membungkus tubuhku dengan handuk, aku kembali ke kamar dan langsung menuju ke lemari.

Membuka pintu lemari pakaian, aku cukup terkejut menemukan bahwa lemari itu diisi dengan pakaian wanita. Pakaiannya terlihat agak kuno, tetapi semuanya masih dalam kondisi sempurna.

Aku mengeluarkan celana jeans biru yang warnanya sudah agak memudar dan kemeja merah dengan garis-garis biru, dan dengan cepat mengenakannya. Setelah itu, aku mengambil sepasang sandal dari lemari dan memakainya.

Tepat setelah aku selesai berpakaian seseorang mengetuk pintu.

"Sudah selesai, Mirabelle?" tanya Ivan dari balik pintu.

"Tunggu sebentar!" aku menjawab.

Aku mengambil sisir dari meja rias dan mulai menyisir rambutku dengan hati-hati. Akhirnya, aku mengikat rambut cokelat panjangku ke belakang menjadi ekor kuda.

Setelah selesai, aku berteriak, "Aku sudah selesai."

Ivan akhirnya membuka pintu kamar dan masuk.

"Wow, kamu terlihat cantik, Mirabelle! Pakaian itu sangat cocok untukmu," komentarnya.

"Aku tidak akan berterima kasih pada penculikku," balasku.

"Kamu tidak harus berterimakasih," katanya sambil menyeringai.

Aku memutar bola mataku padanya dengan jengah.

"Ayo, sarapan sudah hampir siap," katanya.

Ivan berjalan keluar dari kamar ini dan mulai berjalan menyusuri lorong. Aku mengikuti dengan cermat di belakangnya.

"Pakaian siapa ini?" tanyaku.

"Apakah penting untuk mengetahui milik siapa pakaian itu?" dia bertanya balik.

"Tentu saja. Aku berhak tahu pakaian siapa yang aku kenakan saat ini," jawabku.

Langkah Ivan tiba-tiba terhenti, jadi aku harus berhenti berjalan juga.

Dia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri sejenak sampai akhirnya dia berkata, "Pakaian itu milik istriku."

Aku terkesiap. "Jadi, kamu sudah menikah?"

"Ya, tapi istriku meninggal beberapa tahun yang lalu," katanya dengan berurai air mata.

"Aku sangat menyesal mendengarnya,"ucapku dengan penuh simpati.

Aku tahu bahwa bersimpati kepada penculikmu itu adalah hal yang salah. Tetapi aku tidak tahu mengapa ketika aku mendengar tentang kematian istrinya, tiba-tiba aku merasa sangat sedih.

"Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum masam.

Aku membalas senyumannya.

Akhirnya, Ivan terus berjalan bersamaku.