Ivan dan aku terus berjalan sampai kami mencapai tangga. Akhirnya, kami turun.
"Hai, Mirabelle," Randolph menyapaku di bawah tangga.
Aku menjawabnya dengan anggukan singkat.
"Maaf, Mirabelle. Sebenarnya, aku ingin menjemputmu di kamarmu, tapi Ivan tidak akan mengizinkanku." Dia memelototi Ivan.
"Bagaimana aku bisa membiarkan playboy sepertimu di dekat Mirabelle?" Ivan mencela.
"Hei, aku bukan playboy ya," Randolph membela diri.
"Ya, tapi kamu pria berengsek," cibir Ivan.
Randolph menganga. "Apa?"
Mereka berdua mulai bertengkar.
Aku terkikik oleh kekonyolan dua saudara ini.
"Tunggu? Ada apa denganku? Apakah aku benar-benar baru saja terkikik pada penculikku? Oh, situasi penculikan ini pasti membuatku gila,"pikirku.
Aku tidak tahu mengapa aku tidak takut sekarang seperti ketika aku diculik oleh Sigmund. Mungkin karena ini bukan pertama kalinya aku diculik, atau mungkin karena mereka memperlakukan aku dengan baik sejauh ini. Tapi aku tidak boleh lengah. Mereka mungkin hanya menunggu waktu yang tepat untuk melakukan rencana jahat mereka kepadaku.
Tiba-tiba aku ditarik keluar dari lamunanku ketika Ivan memegang tanganku dan menarik aku ke depan. "Ayo, Mirabelle! Lebih baik kita pergi ke dapur sekarang. Kamu pasti lapar. "
Ivan dan aku mulai berjalan menuju dapur.
"Hei, aku belum selesai denganmu," Randolph berteriak pada Ivan dan aku sambil mulai mengejar kami.
Randolph dan Ivan tidak bisa berhenti bertengkar tentang sesuatu yang konyol sampai ke dapur. Aku hanya menggelengkan kepala melihat perilaku mereka.
Ketika kami tiba di dapur, mataku tertuju pada seorang lelaki tua jangkung di belakang meja dapur. Laki-laki itu tampaknya mendekati usia 50 tahun. Tapi dia masih tampak bugar dan berotot pada usianya. Satu-satunya yang membuatnya tampak tua adalah rambut pirangnya yang beruban di bagian samping.
"Halo Rosangela. Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu," ucap pria tua itu dengan senyum hangat.
Mataku melebar. "Kamu tahu nama asliku?"
"Tentu saja. Aku tahu segalanya tentangmu." Dia menyeringai.
Ucapannya membuatku takut. Mereka pasti telah membuntuti aku dari dunia manusia hingga ke kerajaan vampir jika mereka mengklaim bahwa mereka tahu segalanya tentang aku.
"Tunggu! Kamu bilang kamu tahu segalanya tentang aku, tapi kenapa Ivan dan Randolph terus memanggilku Mirabelle jika mereka sudah tahu nama asliku?" tanyaku dengan penasaran.
"Karena kamu memperkenalkan diri sebagai Mirabelle, jadi kupikir kamu ingin dipanggil dengan nama itu," jawab Ivan.
"Jangan salahkan aku! Ivan mendesak aku untuk memanggil kamu Mirabelle," tuduh Randolph.
Ivan memelototinya.
"Yah, karena kalian semua sudah tahu nama asliku, jadi aku tidak ingin kalian memanggilku Mirabelle lagi. Tolong panggil saja aku Rosanne! Itu kependekan dari Rosangela," ujarku pada mereka.
"Oke," ucap kedua saudara itu secara serempak.
Aku berbalik menghadap lelaki tua itu lagi. "Maafkan aku. Tapi siapa anda, Tuan? "
"Namaku Adolph Wolfgang," jawab pria itu. "Dia putraku, Randolph." Dia menggerakkan kepalanya ke arah Randolph. "Dan itu Ivan, betaku," Dia menunjuk Ivan.
"Jadi, aku benar-benar diculik oleh keluarga psikopat? Hebat!" pikirku dengan sarkastik.
"Tapi tunggu!" Aku menambahkan, "Adolph memberitahuku bahwa Ivan adalah beta. Apa itu? Aku pikir aku harus bertanya kepadanya sendiri."
"Apa itu beta?" aku bertanya.
Adolph akan berbicara, tetapi Ivan menyela, "Kamu akan segera mengetahuinya, Rosanne."
Keengganan Ivan untuk menjawab pertanyaanku hanya menambah rasa penasaranku.
"Kenapa kamu tidak bisa memberitahuku sekarang?" tanyaku.
"Percayalah kepadaku! Kamu tidak ingin tahu, Rosanne," kata Randolph sambil tersenyum dengan gugup.
Sikap aneh mereka memicu kecurigaanku. Aku ingin membombardir mereka dengan banyak pertanyaan, tetapi aku memutuskan untuk menahan diri. Aku yakin mereka tidak akan pernah memberitahu aku jika aku bertanya kepada mereka secara langsung. Jadi aku harus mencaritahu tentang hal itu sendiri entah bagaimana caranya.
"Kamu pasti lapar," Adolph tiba-tiba mengganti topik pembicaraan, "Aku membuat telur dadar keju dan daging. Apakah kamu tidak masalah dengan itu? "
"Ya, tidak apa-apa," jawabku.
"Silakan duduk!" suruhnya.
Aku duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja dapur. Ivan duduk di sampingku. Sementara itu, Randolph duduk di seberang kami.
Adolph menaruh piring di hadapan kami bertiga. Setelah itu, dia duduk di sebelah Randolph dengan sepiring makanan untuk dirinya sendiri.
Aku menusuk telur dadar dengan garpu dan kemudian memasukkan telur dadar itu ke mulutku. Adolph, Ivan, dan Randolph mulai makan juga.
Aku senang akhirnya aku tidak perlu makan sendirian lagi seperti ketika aku berada di kerajaan vampir.
Tunggu! Berbicara tentang vampir, aku belum pernah melihat vampir makan makanan manusia sebelumnya. Setidaknya tidak tanpa darah di dalamnya. Tapi aku tidak melihat setetes darah pun di makanan ketiga orang ini.
"Aku tidak tahu bahwa vampir bisa makan makanan manusia tanpa menambahkan darah terlebih dahulu," aku berseru.
"Itu karena kami bukan vampir," kata Randolph dengan mulut penuh.
Terkejut, aku menjatuhkan garpu.
"Mereka pasti bercanda. Aku tahu mereka bukan manusia. Tetapi mengapa mereka mengatakan bahwa mereka bukan vampir?" aku berpikir dengan bingung.
Sejujurnya, aku agak takut untuk mengetahui jawabannya, tetapi aku tetap harus menanyakannya. "Jika kalian bukan vampir, lalu siapa kalian?"
"Kamu tidak ingin tahu, Rosanne," ujar Ivan dengan dingin.
"Tidak, aku ingin mengetahuinya, Ivan," aku bersikeras.
Mereka saling memandang dengan penuh arti. Ketika Adolph menganggukkan kepalanya, Ivan akhirnya angkat bicara, "Kami adalah werewolf."