Aku mendongak dan mendapati seorang pria berdiri di depanku. Dia menawarkan tangan kepadaku untuk membantuku berdiri.
Aku membeku karena terpesona dengan rupa pria di hadapanku. Aku tahu aku pernah mengatakan bahwa Pangeran Maximilian adalah pria paling tampan yang pernah aku temui. Tetapi setelah dipikir-pikir, pria ini adalah pria paling tampan yang pernah aku lihat.
Pria itu tampak muda. Dia seperti berusia di akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan. Dia tinggi, ramping, dan berotot. Dia memiliki kulit putih yang cerah. Tapi ini sangat aneh karena kulitnya tidak sepucat vampir lainnya.
Rambutnya cokelat. Alis cokelatnya tebal dan lebat. Dia memiliki mata biru yang berkilau, hidung yang mancung, dan bibir yang tipis.
"Ya Tuhan, dia sangat tampan. Aku tidak tahu mengapa aku begitu tertarik dengannya semudah ini. Mungkinkah itu cinta pada pandangan pertama?" pikirku.
"Apakah kamu baik-baik saja?"Aku dibawa keluar dari lamunanku ketika pria itu melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Oh ya, aku baik-baik saja," jawabku dengan malu-malu.
"Biarkan aku membantumu!" Dia mengulurkan tangannya padaku.
Aku meraih tangannya dan dia dengan cepat membantuku berdiri.
"Terima kasih,"ucapku berseri-seri.
Dia mengangguk dan memberiku sebuah senyuman yang mempesona menyebabkan lesung pipi muncul di setiap pipinya.
Aku terpukau oleh kehangatan senyumannya.
"Tunggu! Anda adalah Putri Mirabelle, cucu Raja Bellamy, bukan?" ia bertanya dengan heran.
"Ya, benar. Maaf, tapi siapa Anda?" aku bertanya balik.
"Namaku Ivan Wolfgang. Aku diundang untuk menghadiri pesta ini," Ivan mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku menjabat tangannya. "Oh, hai, Ivan. Senang bertemu denganmu."
"Senang bertemu denganmu juga, Yang Mulia," katanya dengan sopan.
"Tolong jangan panggil aku seperti itu! Panggil saja aku dengan namaku, oke?" ujarku.
"Terserah kau saja, Mirabelle," katanya.
"Namaku bukan Mirabelle, tapi Rosangela," aku ingin meneriakkannya, tetapi aku memilih untuk tidak mengatakannya. Aku baru saja bertemu dengan Ivan. Aku tidak yakin bisa mempercayainya atau tidak. Karenanya, aku tidak ingin berbagi kisah hidupku dengannya.
"Ngomong-ngomong, apa yang kamu lakukan di sini, Mirabelle?" Ivan bertanya dengan penasaran.
"Aku harus bertanya hal yang sama padamu." Aku menyeringai.
"Sejujurnya, aku bosan di pesta. Itu sebabnya aku memutuskan untuk melihat-lihat istana ini. Kau tahu, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku datang ke sini, dan aku ingin melihat perubahan yang telah mereka lakukan di sini ketika aku pergi," dia menceritakan kepadaku.
Jawabannya mengejutkan aku. "Jadi, kamu pernah ke sini sebelumnya?"
Dia mengangguk. "Ya, tapi itu sudah lama sekali."
"Oh, begitu," aku berkomentar.
"Bagaimana denganmu, Mirabelle? Kenapa kau di sini, bukan di pestamu sendiri?" dia bertanya.
"Sebenarnya, aku bermaksud pergi ke kamar mandi, tapi akhirnya aku malah tersesat," jawabku jujur.
Dia terkekeh. "Aku tidak bisa mempercayainya! Kau tersesat di rumahmu sendiri?"
"Jangan salahkan aku! Aku baru saja tiba di sini beberapa hari yang lalu, jadi aku belum punya waktu untuk menjelajahi seluruh kastil," aku beralasan.
"Faktanya adalah aku tidak punya waktu untuk menjelajahi kastil ini karena aku harus menghabiskan sebagian besar waktuku di kamar," aku menambahkan dalam pikiranku.
"Aku mengerti. Jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang? "
"Aku ingin kembali ke ruang pesta sebelum tunangan dan pengawalku panik dan memberitahu kakekku tentang hal itu."
"Tunanganmu? Maksudmu Pangeran Maximilian?"
"Ya." Aku mengangguk.
"Dan siapa pengawal yang kamu maksudkan?" Tanyanya.
"Sigmund," jawabku.
Dia tampak kaget. "Jadi Sigmund adalah pengawalmu sekarang?"
"Ya," jawabku, "Kenapa?"
"Tidak apa-apa." Ivan menggelengkan kepalanya dan memberiku sebuah senyuman.
"Bisakah kamu menunjukkan padaku jalan ke ruang pesta, Ivan? Karena aku benar-benar melupakannya," aku meminta bantuannya.
"Tentu saja. Ayo kita pergi!" ajaknya.
Kami mulai berjalan menyusuri koridor. Ivan membawaku melewati banyak lorong dan beberapa belokan. Tapi jalan yang kami ambil tampak asing. Aku tidak ingat bahwa aku melewati jalan ini ketika aku meninggalkan ruang pesta.
"Ivan?" Aku menepuk pundaknya.
Langkahnya terhenti dan dia berbalik untuk menatapku. "Iya?"
"Aku pikir ini bukan jalan yang tepat untuk ke ruang pesta. Jangan bilang kau tersesat juga," kataku dengan curiga.
"Jangan khawatir, Mirabelle! Kita tidak tersesat," dia meyakinkan aku, "aku hanya ingin membawamu ke suatu tempat terlebih dahulu sebelum kita kembali ke ruang pesta."
"Kemana kamu akan membawaku?"tanyaku dengan waspada.
"Tunggu dan lihat saja!" Dia mengedip padaku.
Aku punya firasat bahwa ada sesuatu yang salah. Tapi aku tidak ingin mencurigai Ivan. Dia sangat baik dan tampan. Aku tidak berpikir seseorang seperti dia akan memiliki niat jahat.
Kami terus berjalan. Rupanya, Ivan membawa aku ke halaman belakang. Yang mengejutkan adalah ada taman yang indah di sini. Taman ini ditata dengan halaman rumput, hamparan bunga, dan air mancur. Taman ini dihiasi dengan bunga berwarna-warni dan ini tampak sangat indah.
"Sangat indah!"seruku dengan terkagum-kagum.
"Ya, cantik," gumam Ivan.
Aku menoleh untuk melihat Ivan. Alih-alih menatap pemandangan di depan kami, dia menatapku tajam.
"Ivan, mengapa kamu menatapku seperti itu?"tanyaku, mengerutkan kening.
"Kamu mirip sekali dengannya," jawab Ivan, tidak mengalihkan pandangannya dariku.
"Siapa?" Aku menyipitkan mata dengan bingung.
"Ibumu, Claribelle," dia menjelaskan.
"Apakah kamu kenal ibuku?"aku bertanya.
"Ya, kami sudah mengenal sejak lama," jawabnya.
"Apakah kamu kenal ayahku juga?"aku bertanya sekali lagi.
Aku tidak tahu mengapa wajahnya tiba-tiba berubah menjadi pucat saat aku menyebutkan soal ayahku.
"Hmmm ..." dia ragu-ragu, "Ya, aku dulu kenal dia."
"Siapa namanya?"tanyaku.
Mata Ivan membelalak. "Kamu tidak tahu nama ayahmu sendiri?"
Aku menggelengkan kepala. "Sayangnya tidak, aku tidak tahu. Tidak ada yang pernah memberitahu aku tentang nama ayahku."
"Bahkan kakekmu juga tidak memberitahumu?"
"Tidak. Kakekku selalu membicarakantentang ibuku. Tidak pernah sekalipun kakek memberitahu aku tentang ayahku."
Ivan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Nama ayahmu adalah Donovan Grandville."
"Jadi nama asliku adalah Rosangela Grandville?" Aku bergumam.
"Maaf?" dia bertanya karena dia tidak bisa mendengar apa yang baru saja aku katakan.
"Tidak apa-apa." Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Kau tahu, Mirabelle, ibumu sangat tertarik untuk berkebun. Dia mengatakan kepadaku bahwa dia menanam semua bunga di sini sendirian," Ivan menceritakan kepadaku.
"Benarkah?"tanyaku.
Dia mengangguk.
"Sepertinya kau mengenal ibuku dengan baik," aku berkomentar.
"Ya, kami memang dekat saat itu," jawabnya.
"Jadi, kamu teman ibuku?"aku mengajukan pertanyaan lain.
"Iya," jawabnya.
"Apakah kamu juga dekat dengan ayahku?" aku bertanya lagi.
"Tentu saja," jawabnya. "Kamu harus tahu, Mirabelle. Ayahmu sangat mencintai ibumu dan kamu. Kalian berdua adalah segalanya baginya."
"Aku senang mengetahui bahwa aku sangat berarti bagi ayahku," kataku dengan berurai air mata.
Tidak tahu harus bicara apa lagi, aku memilih untuk mengalihkan pandanganku dari Ivan, dan menikmati pemandangan indah di hadapanku.
"Maaf, Mirabelle," tiba-tiba Ivan berkata.
Bingung, aku menoleh untuk menatapnya dan bertanya, "Untuk apa?"
"Untuk ini." Sebelum aku bisa bereaksi, Ivan mengeluarkan saputangan dari sakunya dan menempelkannya di mulut dan hidungku.
Aroma kloroform yang kuat menghantam lubang hidungku. Aku mencoba menahan nafas. Tetapi itu tidak bertahan lama, karena hanya dalam beberapa detik saja, paru-paruku sangat membutuhkan oksigen dan aku dipaksa untuk bernapas melalui kain itu.
Pengelihatanku mulai buram dan kelopak mataku terasa berat. Aku mencoba untuk melawan, tetapi itu tidak berguna. Seluruh tubuhku terasa sangat lemas.
"Kakek, tolong aku!"adalah hal terakhir yang kupikirkan sebelum kegelapan menelanku.