Pangeran Maximilian mendekatiku dan memeluk pinggangku dengan posesif.
"Lihat ini! Aku baru meninggalkan kamu kurang dari lima menit. Dan seseorang sudah mencoba untuk merebutmu dariku," gerutunya, memelototi Sigmund.
"Merebut dia katamu?" Sigmund tertawa terbahak-bahak. "Jangan berlebihan, Bung! Aku hanya ingin berdansa dengannya."
"Tidak ada yang bisa berdansa dengan tunanganku, kecuali aku. Kau dengar itu?" Maximilian menggeram.
"Itu bukan keputusanmu sendiri. Hanya Putri Mirabelle yang bisa memilih dengan siapa dia ingin berdansa," balas Sigmund.
Maximilian berbalik untuk menatapku. "Apakah kamu ingin berdansa dengannya?" tanyanya sambil menggertakkan gigi
Aku melirik Sigmund.
"Ponselmu," bisiknya.
"Aku lebih suka meminta Pangeran Maximilian untuk membelikanku ponsel baru daripada meminta bantuan Sigmund untuk meyakinkan Raja Bellamy untuk mengembalikan ponselku," pikirku, tidak peduli jika Maximilian bisa membaca pikiranku.
"Tidak juga," aku menjawab pertanyaan Maximilian, membuat wajah Sigmund nampak sedih.
"Kamu dengar itu? Dia tidak ingin berdansa denganmu," Maximilian mengolok-olok Sigmund.
Sigmund tidak mengucapkan sepatah kata pun; dia hanya berbalik dan berjalan menjauh dari kami.
"Ini minumanmu!" Pangeran Maximilian memberiku segelas air yang baru saja dia ambil untukku.
"Terima kasih," ucapku sambil tersenyum.
Aku meminum air itu dan kemudian meletakkan gelas yang telah kosong di atas meja.
"Apakah kamu ingin berdansa denganku sekarang?" Maximilian mengulurkan tangannya padaku.
"Tentu." Aku meletakkan tanganku di tangannya.
Sambil memegang tanganku, Pangeran Maximilian membawaku ke lantai dansa. Ketika kami sampai di sana, dia kemudian meletakkan tangannya yang lain di pinggangku, sementara aku meletakkan tanganku di bahunya.
Kami mulai menari mengikuti irama musik. Sesekali, Maximilian mengangkat tangannya dan memutar-mutarkan aku di bawahnya sebelum menarikku kembali kepadanya. Kami terus berdansa, mengulangi proses yang sama sampai musik berakhir.
Ketika sebuah lagu baru mulai diputar, Sigmund mendekati kami.
"Bisakah aku berdansa denganmu sekarang, Putri?" tanyanya penuh harap.
Aku menatap Pangeran Maximilian. Dia memelototi Sigmund.
"Aku sudah bilang padamu untuk menjauh dari tunanganku!" geram Maximilian.
"Aku pengawal pribadi Putri Mirabelle, Bung. Jika aku menjauhinya, bagaimana aku bisa melindunginya?" ucap Sigmund dengan tenang.
"Dia tidak membutuhkanmu untuk melindunginya karena dia sudah memiliki aku di sisinya," Maximilian menekankan.
"Serius? Pangeran manja seperti kamu mengharapkan untuk melindungi sang putri? Bahkan kamu masih membutuhkan pengasuhmu, Jasper, untuk melindungimu," ejek Sigmund.
"Jasper bukan pengasuhku; dia pengawalku," Maximilian mengoreksi.
Sigmund dan Maximilian terus berdebat. Aku memilih untuk menutup telingaku agar tidak mendengar pertengkaran mereka.
"Mengapa anak-anak lelaki ini tidak bisa berhenti bertengkar? Lebih baik aku pergi sekarang sebelum mereka membuatku lebih malu," batinku.
Aku mulai berjalan.
"Kamu mau pergi kemana, Putri?" Sigmund dan Maximilian bertanya pada saat yang sama.
"Aku harus pergi ke kamar mandi." Itu setengah kebohongan. Aku benar-benar tidak perlu menggunakan kamar mandi. Aku hanya ingin pergi dari dua pria kekanak-kanakan ini jadi aku memilih untuk pergi ke kamar mandi karena mereka tidak bisa mengikuti aku ke sana.
"Aku akan ikut denganmu," Sigmund bersikeras.
"Tidak, jangan biarkan dia ikut! Kamu harus pergi dengan aku!" tegas Maximilian.
"Aku ini seorang wanita dewasa. Aku bisa pergi ke kamar mandi sendirian," protesku.
"Tidak aman bagimu untuk pergi sendirian, Putri," tutur Sigmund.
"Aku benci mengakuinya, tetapi Sigmund benar, Rosanne. Mungkin berbahaya bagimu untuk pergi sendiri," ujar Maximilian.
"Kalian tidak perlu khawatir tentang aku! Kita ada di dalam istana sekarang. Tidak ada yang akan berani menyakiti aku di sini," aku beralasan.
Sigmund dan Maximilian berkata secara serempak, "Tapi—"
"Cukup!" aku berteriak, berhasil membungkam mereka.
"Kalian berdua terlalu melebih-lebihkan. Sekarang permisi, Bocah-bocah." Tanpa menunggu jawaban mereka, aku berjalan pergi.
"Apakah dia baru saja memanggil kita bocah?" aku mendengar Maximilian bertanya.
"Tidak, dia memanggilmu bocah, bukan aku," balas Sigmund.
Mereka berdua mulai bertengkar lagi. Aku mengabaikan mereka dan terus berjalan keluar dari ruangan ini.
Meninggalkan ruang pesta, aku berniat langsung menuju ke kamar mandi. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa aku tidak tahu di mana letak kamar mandinya. Alih-alih kembali ke ruang pesta untuk menanyakan arah ke kamar mandi, aku memutuskan untuk mencoba keberuntunganku dan mencari kamar mandinya sendiri. Akibatnya, aku tersesat di koridor-koridor yang menurutku lebih mirip seperti labirin ini.
Aku ingin kembali ke ruang pesta, tetapi aku tidak ingat jalan untuk sampai ke sana. Selain itu, tidak ada yang melewati lorong ini, jadi aku tidak bisa meminta bantuan mereka untuk mengantarku kembali ke ruang pesta.
"Aku seharusnya menerima tawaran Sigmund atau Maximilian untuk menemaniku ke kamar mandi. Jika aku melakukannya, aku tidak akan tersesat seperti ini," ucapku dalam hati dengan menyesal.
Aku berpikir untuk berteriak minta tolong. Tapi aku tidak ingin menarik perhatian yang tidak diinginkan. Istana ini sekarang dipenuhi ratusan vampir. Bagaimana jika orang yang mendengar teriakanku adalah vampir yang jahat? Dan kemudian mereka datang ke sini bukan untuk menolongku, melainkan untuk menghisap darahku.
Aku terus menyusuri koridor yang seperti labirin ini, berharap aku bisa menemukan jalan keluar atau setidaknya melihat seseorang untuk meminta bantuan.
Setelah berjalan selama beberapa menit, aku bertemu dengan persimpangan. Tanpa alasan tertentu, aku memilih untuk berbelok ke kanan.
Tepat ketika aku berbelok ke lorong sebelah kanan, tiba-tiba, aku menabrak seseorang hingga terjatuh ke lantai.
"Aduh!" aku merintih kesakitan.
"Maafkan aku. Apakah kamu baik-baik saja?" sebuah suara khawatir bertanya kepadaku.