"Aku membencimu." Aku meraih salah satu bantal di tempat tidur dan melemparkannya ke pintu dengan marah.
Berbaring di tempat tidur, aku memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba, aku mendengar bunyi klik saat pintu dibuka.
Aku memalingkan kepalaku ke pintu dan melihat Sigmund. Dia menendang bantal yang tergeletak di lantai di depan pintu dan mulai mendekatiku.
"Bangun!" suruhnya.
Aku menoleh ke sisi lain, mengabaikannya.
"Putri, bangun atau aku akan memaksamu," dia mengancam.
Dengan enggan, aku duduk dan menghadapnya. "Apa?"
"Makan!" Dia meletakkan nampan yang dia pegang di meja samping tempat tidur.
Aku melihat makanan di atas nampan. Itu adalah steak daging sapi dan saus darah yang sama yang aku lihat di ruang makan.
Aku menatap makanan itu dengan jijik. "Tidak! Aku tidak mau makan itu."
"Apakah kamu berencana untuk membuat dirimu mati kelaparan?" Sigmund membentakku, "Kamu belum makan apa-apa sejak kami membawamu ke sini. Sekarang makan makananmu tanpa mengeluh!"
"Itu bukan salahku. Aku tidak akan kelaparan jika kamu memberiku makanan," jawabku.
"Ini makanan. Menurutmu apa namanya ini?" geram Sigmund.
"Tapi makanan yang kamu berikan kepadaku berisi darah. Aku tidak ingin memakannya," tegasku.
"Jadi kamu tidak mau makan makanan ini? Oke, kalau begitu kamu tidak perlu makan apapun," Sigmund mengambil nampan dan melemparkannya ke lantai.
Aku ngeri dengan ledakan amarahnya.
"Lupita!" Sigmund berteriak.
Secepat kilat, Lupita memasuki kamar ini. "Iya, Tuanku?"
"Bersihkan kekacauan ini!" Sigmund memerintahkannya, menunjuk ke serpihan piring dan gelas di lantai.
"Baik, Tuanku," ucap Lupita.
Lupita bergegas keluar dari kamar. Sesaat kemudian, dia kembali dengan sapu dan pengki.
Ketika Lupita sedang menyapu lantai, Sigmund memelototiku. Aku mengalihkan pandanganku dari tatapan Sigmund, tidak ingin menghadapi kemarahannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Sigmund keluar dari kamarku sambil membanting pintu.
Aku menghela nafas lega melihat dia pergi.
Tiba-tiba, Lupita mendekatiku.
"Rosanne, apakah kamu lapar?" bisiknya.
"Apa yang kamu pikirkan? Aku belum makan apapun selama berhari-hari," jawabku dengan nada kesal.
"Sstt!" Lupita meletakkan jari telunjuknya di depan bibirku. "Diam! Aku tidak ingin Lord Sigmund mendengarkan kita."
"Maaf," ucapku.
"Ini! Aku punya sesuatu untukmu." Lupita mengeluarkan sesuatu dari kantong celemeknya dan memberikannya padaku.
Senyumku merekah ketika tahu itu adalah sebuah apel.
"Terima kasih," tuturku.
Dia mengangguk dan tersenyum padaku. "Makan apelmu sebelum Lord Sigmund kembali!"
"Oke." Aku mulai menggigit apel itu.
Lupita terus menyapu lantai sementara aku mengunyah apel yang dia berikan padaku.
Ketika dia selesai, dia undur diri dan langsung meninggalkan kamarku.
🌹🌹🌹🌹🌹
Sudut Pandang Sigmund:
Setelah meninggalkan kamar Putri Mirabelle, aku menunggu di ujung lorong yang menuju kamarnya.
Aku menyadarkan punggung ke dinding dan berpikir, "Putri Mirabelle benar-benar mirip dengan ibunya. Penampilannya, sikapnya, keberaniannya, dan terutama sikap keras kepalanya: semuanya sangat mirip dengan Putri Claribelle."
"Aku ingin tahu berapa lama dia akan terus menolak makanan yang kuberikan padanya, dan kapan dia akhirnya akan menerima kenyataan bahwa dia adalah setengah vampir dan cucu dari raja vampir. Melihat betapa keras kepalanya dia, aku pikir itu akan memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan."
Beberapa menit kemudian, aku melihat Lupita keluar dari kamar tidur Putri Mirabelle dan berjalan ke arahku.
"Tuanku." Lupita menundukkan kepalanya padaku.
"Bagaimana?" tanyaku padanya.
"Semuanya berjalan sesuai rencana, Tuanku. Putri Mirabelle telah memakan apel yang anda berikan pada saya," jawab Lupita sambil tersenyum.
"Bagus!" seruku, "Setidaknya sekarang dia sudah makan sesuatu."
Ya, akulah yang memerintahkan Lupita untuk memberikan apel kepada sang putri, dan meminta Lupita untuk membuatnya tampak seperti dia memberikannya secara diam-diam. Aku juga menyuruh Lupita untuk membawakannya secangkir teh pagi ini. Dia adalah putri vampir yang telah kucari selama bertahun-tahun. Bagaimana aku bisa membiarkannya mati kelaparan hanya karena kekeraskepalaannya?
"Kamu bisa pergi sekarang Lupita," titahku
"Baik, Tuanku." Lupita menundukkan kepalanya dan segera pergi.
Menatap kamar Putri Mirabelle, aku berkata dengan percaya diri, "Cepat atau lambat kamu akhirnya akan menyerah, Putri. Lihat saja nanti!"