Tidak banyak yang bisa aku lakukan di kamar besar ini dan aku mulai merasa bosan. Tidak peduli apapun yang terjadi, aku harus mencari cara untuk melarikan diri dari tempat ini atau aku akan menjadi gila. Tetapi bagaimana aku bisa melakukan itu?
Tidak mungkin untuk melompat keluar dari jendela mengingat kamar ini berada di lantai paling atas. Jadi satu-satunya cara untuk melarikan diri adalah melalui pintu. Aku tahu itu mungkin tidak ada gunanya, tetapi patut dicoba.
Aku berjalan menuju pintu dan menggedornya berulang kali. "Lupita, siapa saja, apa kalian ada di luar? Tolong bukakan pintunya!"
Tidak ada jawaban.
Aku menggedor pintu lagi, kali ini lebih keras. "Tolong bukakan pintunya!"
"Maaf, Tuan Putri, kami tidak bisa membuka pintu ini," jawab Lupita dari sisi lain pintu.
"Tidak bisakah kamu membuka pintu ini sebentar? Aku butuh bantuanmu di sini," aku beralasan.
"Maaf, Tuan Putri, kami tidak bisa," ucap Lupita dengan menyesal.
"Tolonglah...!" pintaku.
Sejenak hanya keheningan yang ada, tapi akhirnya pintunya terbuka.
"Apa yang bisa saya bantu, Tuan Putri?" tanya Lupita.
"Aku ingin kamu membantuku membuka pintu ini. Itu saja," kataku sambil melangkah keluar dari kamar.
Namun dua penjaga berdiri di depan pintu, menghalangi jalanku.
"Minggir!" aku memerintahkan tetapi mereka tidak bergerak.
"Aku bilang minggir!" aku mengulangi kata-kataku sembari menggertakkan gigi.
"Tuan Putri, Lord Sigmund telah memberitahu anda bahwa anda tidak diizinkan melangkah keluar dari kamar ini, bukan?" salah satu penjaga mengingatkan aku.
"Tidak mengizinkanku melangkah keluar dari kamar ini ya?" Aku menyeringai.
"Oke, sesuai keinginannya. Aku tidak akan melangkah keluar dari kamar ini. Tapi bisakah kalian minggir sedikit?" pintaku.
Para penjaga saling memandang dengan bingung.
"Tolong!" aku memohon.
Para penjaga akhirnya bergerak ke samping.
Aku mengambil beberapa langkah mundur dan kemudian berlari keluar kamar, melewati para penjaga.
"Sigmund hanya mengatakan bahwa kalian tidak boleh membiarkan aku melangkah keluar dari kamarku. Tapi dia tidak pernah bilang aku tidak bisa keluar dari kamarku, kan?" aku mengejek mereka sambil terkekeh.
Namun kemenanganku tidak bertahan lama karena aku tiba-tiba berbenturan dengan dada seseorang. Aku mendongak dan mendapati bahwa itu adalah penjaga lain.
Penjaga di depanku meraih lenganku dan menyeret aku ke dalam kamarku lagi.
"Maaf, Yang Mulia, tetapi anda tidak diizinkan meninggalkan kamar anda," ujarnya.
"Sstt!" Aku meletakkan jari telunjukku di bibir penjaga itu. "Siapa putrinya di sini?"
"Maaf?" Dia tampak bingung.
"Aku bertanya padamu, siapa tuan putrinya di sini?" aku mengulangi pertanyaanku.
"Anda, Yang Mulia," jawabnya.
"Oke, kalau begitu diamlah dan dengarkan kata-kataku! Aku ingin keluar dari kamar ini sekarang dan kalian semua tidak bisa menghentikan aku. Paham?" tegasku.
Lupita berkata, "Tapi Yang Mulia Raja memberitahu kami—"
"Karena raja tidak ada di sini," potongku, "jadi kalian harus mengikuti perintahku karena aku adalah putri kalian, mengerti?"
"Tapi Putri, kami—"
"Jika kalian membantahku, aku akan melaporkan kalian ke Kakek—maksudku kepada Raja Bellamy. Dan mari kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya!" aku menggertak.
Mereka saling memandang dan akhirnya sama-sama mengangguk.
"Baik, Yang Mulia, anda bisa pergi sekarang," ucap salah satu penjaga.
"Bagus!" seruku.
Aku berjalan keluar dari kamar. Yang menyebalkannya adalah para penjaga dan Lupita mengikutiku.
Aku berbalik dan bertanya dengan marah. "Kenapa kalian mengikutiku?"
"Ini prosedurnya, Yang Mulia," jawab salah satu penjaga.
"Aku tidak suka diikuti. Jadi tetaplah di sini, oke?" aku memerintahkan.
"Tapi Yang Mulia—"
"Aku akan segera kembali. Aku janji," selaku, "kalian semua harus menungguku di sini! Ini perintah dari tuan putrikalian, mengerti?"
"Baiklah, Putri. Tapi tolong jangan pergi terlalu jauh," pesan Lupita.
"Jangan khawatir! Aku hanya ingin melihat-lihat istana ini," ujarku dengan sebuah senyuman palsu.
Tanpa menunggu jawaban mereka, aku cepat-cepat meninggalkan mereka.
Aku berjalan di sepanjang lorong, mencari cara untuk melarikan diri dari tempat ini.
"Putri Mirabelle?" tiba-tiba, seseorang meneriakkan nama baruku.
Aku melirikke belakang melalui bahuku dan melihat Sigmund berjalan ke arahku.
"Oh tidak!" gumamku.
Aku berbelok ke kiri dan mempercepat langkahku.
"Putri Mirabelle, tunggu!" Sigmund memanggilku.
Aku mengabaikannya dan terus berjalan.
"Mirabelle," teriaknya.
Aku mempercepat langkahku lagi.
"Mirabelle, berhentilah berjalan!" Dia terdengar marah.
Aku tidak melihat ke belakang dan terus berjalan.
"Mirabelle." Sigmund, yang berhasil menyusulku, menangkap lenganku dan memutar badanku untuk menghadapnya.
"Mengapa kamu tidak menjawab walaupun aku sudah memanggilmu berkali-kali, Putri?" tanya Sigmund dengan marah.
"Kamutadi memanggilku?" aku bertanya balik, pura-pura tidak tahu.
"Ya, aku terus memanggil namamu. Mirabelle, Mirabelle, tetapi kau malah terus berjalan menjauh dariku," Sigmund menjelaskan dengan nada kesal.
Aku menepuk jidatku. "Oh ya aku lupa bahwa itu namaku sekarang. Maafkan aku. Aku pikir kamu memanggil orang lain."
"Lupakan! Ngomong-ngomong, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Sigmund bertanya.
"Aku hanya sedang melihat-lihat istana ini saja," jawabku dengan polos.
"Hanya melihat-lihat istana ya?"
"Iya!"
Tiba-tiba, Sigmund memelintir lenganku, menyebabkanku merintih kesakitan.
"Pembohong! Aku tahu kamu berusaha melarikan diri," geramnya.
"Aku tidak berusaha melarikan diri. Sekarang lepaskan aku! Kamu menyakiti aku," ujarku.
Sigmund melepaskan lenganku dan memelototiku. "Siapa yang memberimu izin untuk meninggalkan kamarmu?"
"Ini juga rumahku. Aku tidak perlu izin untuk melakukan apapun di rumahku sendiri. "
"Tidak, ini bukan rumahmu melainkan milik raja."
"Tapi kamu bilang raja adalah kakekku, jadi aku—"
"Diam!" Sigmund memotong ucapanku. "Ayo kembali ke kamarmu sekarang!" Dia meraih tanganku.
"Oke." Aku melepaskan pegangannya. "Aku akan kembali ke kamarku. Tapi sekarang biarkan aku berjalan-jalan di sekitar tempat ini dulu."
"Tidak!" seruya dengan dingin. "Ayo!" Sigmund menyambar lenganku dan menarikku ke depan.
"Baiklah, baiklah. Lepaskan aku! Aku bisa berjalan sendiri."
Sigmund mengabaikanku dan terus menyeretku bersamanya.
"Siapa yang membiarkan Putri Mirabelle meninggalkan kamarnya?" Sigmund bertanya sambil marah-marah kepada para penjaga dan Lupita begitu kami sampai di depan kamar tidurku.
Semua penjaga dan Lupita menundukkan kepala dengan menyesal.
Seorang penjaga maju dan menjawabnya, "Maaf, Tuanku. Kami telah mencoba melarang Tuan Putri pergi, tetapi Putri Mirabelle bersikeras—"
"Cukup!" tukas Sigmund, "Jika ini terjadi lagi, aku akan memberikan kalian semua hukuman yang bahkan tidak bisa kalian bayangkan."
Semua penjaga dan Lupita tampak ketakutan.
"Sekarang kamu." Sigmund menoleh padaku. "Ayo masuk ke dalam!"
Sigmund menarik aku ke dalam kamar dan kemudian melemparkan aku ke atas tempat tidur.
"Apakah kamu lupa apa yang dikatakan Raja Bellamy padamu kemarin? Yang Mulia Raja mengatakan kamu tidak diizinkan meninggalkan kamarmu tanpa izin darinya. Lalu mengapa kamu melanggar aturan?" Sigmund memarahi aku.
"Ini bukan salahku. Kalian telah mengurungku di kamar ini selama berhari-hari dan aku merasa bosan. Jadi aku hanya ingin melihat-lihat tempat ini. Memangnya apa yang salah dengan itu?" aku membela diri.
"Cukup!" bentak Sigmund. "Aku akan memaafkanmu kali ini. Tetapi lain kali kamu mencoba melarikan diri lagi, aku akan memastikan kamu akan mendapatkan hukuman yang pantas kamu terima."
"Sudah kubilang aku tidak berusaha kabur," aku berbohong.
"Kamu tidak mencoba kabur tetapi mencoba melarikan diri, kan?"
"Aku tidak akan mencoba lari jika kamu tidak mengunci aku di sini seperti seorang tahanan."
"Kamu bukan tahanan di sini, tapi kamu adalah putri kami."
"Jadi kalian, para vampir, punya kebiasaan untuk mengurung putri kalian di kamarnya?"
"Tidak, kami tidak seperti itu. Kami mengurungmu di sini karena kamu tidak berperilaku baik dan kami tidak dapat membiarkan kamu mencoba melarikan diri."
"Jika aku benar-benar putri kalian seperti yang kalian katakan padaku, mengapa kalian takut aku akan mencoba melarikan diri? Kenapa?" aku menuntut penjelasan darinya.
"Dengar!" Sigmund meraih bahuku. "Raja Bellamy hanya ingin cucunya ada di sini. Jadi kami harus memastikan bahwa kamu tinggal di sini bersamanya. Jika kamu meninggalkan tempat ini, itu akan menjadi akhir hidup kami. Aku harap kamu akan bekerja sama dengan kami."
"Mengapa aku harus melakukan apa yang dia inginkan? Aku bahkan bukan cucunya," gerutuku.
"Ya, kamu adalah cucu Yang Mulia Raja," Sigmund bersikeras.
"Tidak, aku bukan cucunya," aku membantah, "Apakah kamu percaya bahwa aku adalah seorang setengah vampir? Itu sangat konyol! Jika aku memang setengah vampir, dimana taringku? Mengapa aku tidak terbakar oleh sinar matahari? Aku bahkan tidak takut pada bawang putih, perak, atau apapun yang kakian takuti. Lalu itu menjelaskan bahwa aku adalah manusia biasa, bukan?"
Mengabaikan kata-kataku, Sigmund berujar dengan dingin, "Aku memiliki beberapa tugas untuk dijalankan sekarang, tetapi aku akan kembali nanti. kamu sebaiknya tidak mencoba melarikan diri lagi atau aku tidak punya pilihan selain mengikat kamu ke tempat tidur."
Sebelum aku bisa menjawab, Sigmund bergegas keluar dari kamarku.
"Mengapa Sigmund selalu menggagalkan upaya pelarianku?" Aku menjambak rambutku dengan frustrasi.
"Sepertinya aku harus mencoba cara lain untuk melarikan diri dari sini," pikirku.