Chapter 22 - Bab 21

"Aku seharusnya berkeliling istana ini ketika aku masih punya kesempatan," ucapku dalam hati dengan penuh penyesalan, "Meskipun aku harus diikuti oleh sepuluh pengawal dan pelayan, setidaknya aku akan merasakan sedikit kebebasan. Tapi karena kekeraskepalaanku, aku sekarang terjebak di kamar ini lagi."

Aku berbaring di ranjang, berusaha tidur siang. Setidaknya jika aku tidur, aku tidak akan terus memikirkan kebodohan yang telah aku lakukan.

Namun ketika aku baru saja tertidur, aku langsung tersentak bangun mendengar suara pintu terbuka.

Aku duduk dengan cepat dan melihat Sigmund berjalan ke arahku dengan Lupita di belakangnya.

"Yang Mulia Raja mengundang beberapa tamu untuk makan malam malam ini. Beliau ingin kamu bergabung dengannya  dalam jamuan makan malam,"seru Sigmundtanpa basa-basi.

"Tidak, aku tidak akan datang," tolakku.

"Ini bukan pilihan. Entah kamu datang ke makan malam itu dengan sukarela atau aku akan menyeret kamu ke sana," ujar Sigmund dengan dingin.

"Aku tidak peduli apa yang akan kamu lakukan padaku. Apapun yang terjadi, aku tidak akan pergi makan malam. Karena aku tidak ingin minum darah," aku menegaskan.

Sigmund mendengus kesal. "Kamu tidak perlu makan apapun jika kamu tidak mau, tetapi kamu harus datang ke makan malam itu apapun yang terjadi."

"Tapi—"

"Tidak ada tapi-tapian," Sigmund menyela,"Bersiaplah sekarang! Lupita akan membantumu."

Sebelum aku sempat berdebat dengannya, Sigmund berbalik dan langsung keluar dari kamarku dengan tergesa-gesa.

"Ayo Rosanne, aku akan membantumu bersiap-siap," ajak Lupita.

Dengan enggan, aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Setelah mandi sebentar, Lupita membantuku mengganti bajuku menjadi gaun merah muda dan sepatu hak tinggi putih. Setelah itu, dia mengoleskan riasan yang alami di wajahku.

Segera setelah aku siap, Sigmund menjemput aku dan mengantarku ke ruang makan. Sungguh menyebalkan karena sepuluh pengawalku, Lupita dan beberapa pelayan lainnya mengikuti di belakang kami.

Dua penjaga pintu berdiri di depan pintu ruang makan. Mereka membuka pintu kayu ek besar, memperlihatkan ruang makan yang glamor dengan meja makan panjang yang ditempati kakekku dan beberapa tamu yang sedang mengobrol.

"Putri Mirabelle dan Lord Sigmund," salah satu penjaga pintu mengumumkan.

Tiba-tiba, ruangan ini menjadi sunyi, dan mata semua orang tertuju padaku. Aku merasa gugup di bawah tatapan penasaran mereka.

Sigmund dan aku kemudian memasuki ruangan, sementara itu, semua penjaga dan pelayan menunggu di luar.

"Ini dia cucu perempuanku!" Kakekku tersenyum padaku seraya bangkit dari kursinya.

Semua tamu berdiri dari tempat duduk mereka juga secara serempak.

"Kakek—"

Sigmund mencubit lenganku, seketika memotong kata-kataku.

"Aduh!" Aku merintih pelan.

"Panggil kakekmu Yang Mulia ketika kalian di depan yang lain!" dia berbisik di telingaku.

"Maafkan aku. Maksudku, Yang Mulia, apakah anda memanggil saya?" aku mengulangi ucapanku.

"Iya, Sayangku,"jawabRajaBellamy, "Aku ingin memperkenalkan kamu kepada para anggota dewan. Kemarilah!"

Aku berjalan canggung menuju kepala meja tempat kakek menungguku. Sigmund mengikuti di belakangku.

"Semuanya," Raja Bellamy mulai berbicara, "Aku perkenalkan kepada kalian Putri Mirabelle, anak perempuan dari mendiang putriku, Putri Claribelle."

Para tamu sedikit menundukkan kepala mereka untuk menghormati kehadiranku.

Aku memaksakan sebuah senyuman pada mereka.

"Duduklah, Mirabelle!" Kakek menunjuk ke kursi di sampingnya.

Aku berjalan ke kursi yang disebutkan Kakek dengan Sigmund di belakangku. Seorang pelayan menarik kursi untuk aku duduki.

"Terima kasih," ucapku sambil duduk. Setelah itu, Sigmund duduk di sebelahku.

Mataku melirik ke dua kursi kosong di hadapanku. Aku bertanya-tanya siapa penghuni kursi itu nantinya.

Suara terbukanya pintu kayu ek yang besar mengalihkan perhatianku ke pintu masuk ruang makan ini. Dan kuperhatikan semua orang di ruangan ini juga melakukan hal yang sama.

Seorang lelaki yang tampaknya seusia dengan kakekku dan seorang lelaki lain yang tampak berusia di pertengahan dua puluhan masuk ke ruangan ini. Pria tua itu memiliki mata hijau dan rambut cokelat yang beruban di sampingnya. Sementara itu, pria muda itu tinggi, ramping dan berotot dengan rambut pirang dan mata hijau cerah.

Mereka berdua mengenakan setelan jas berwarna hitam yang terlihat mahal dan sepasang sepatu hitam mengkilap. Perbedaan di antara mereka adalah pria tua itu mengenakan mahkota di kepalanya, sementara pria muda itu tidak.

"Raja Ignatius dan Pangeran Maximilian dari kerajaan Ambersky," seorang penjaga pintu mengumumkan.

"Jadi nama pemuda tampan ini adalah Maximilian dan dia adalah seorang pangeran vampir? Keren!" batinku.

Ketika Raja Ignatius dan Pangeran Maximilian berjalan ke meja, kakekku bangkit dari tempat duduknya lagi, dan yang lainnya langsung mengikuti tindakan sang raja

Aku terlalu terpesona dengan ketampanan pangeran Maximilian  sampai aku tidak bisa bangkit dari kursiku. Karena aku menjadi satu-satunya yang tetap duduk, Sigmund meraih lengan atasku dan menarikku supaya berdiri.

Kedua raja itu saling bertukar salam. Kakekku duduk. Para pelayan menarik kursi untuk Raja Ignatius dan putranya dan mereka akhirnya duduk di kursi yang ada di seberangku. Perlahan, semua tamu termasuk aku mengikuti jejak mereka.

"Mirabelle, ini Raja Ignatius, sahabatku," Raja Bellamy memperkenalkannya padaku.

Dengan ragu, aku melambaikan tangan padanya. "Oh halo."

"Putri Mirabelle, suatu kehormatan bisa bertemu denganmu," Raja Ignatius berkata sambil tersenyum.

"Terima kasih, Tuan," tuturku.

"Sebenarnya Yang Mulia," sang raja mengoreksi.

"Oh, maaf, Yang Mulia," aku meminta maaf.

Setelah itu, kakekku memperkenalkan putra Raja Ignatius padaku. "Dan Mirabelle. Ini adalah Pangeran Maximilian, calon suamimu."

Mataku membeliak. "Apaku?!"

"Jadi Raja Bellamy belum memberitahumu?" Raja Ignatius bertanya dengan heran.

"Mengatakan tentang apa?" aku bertanya balik dengan bingung.

"Kamu dan Pangeran Maximilian akan menikah. Dia akan menjadi suamimu di masa depan," Raja Ignatius menjelaskan.

"Kakek, apa yang kakek bicarakan? Kakek ingin aku menikahi orang asing itu?" Aku menunjuk Pangeran Maximilian dengan marah.

Oke, aku akui bahwa Pangeran Maximilian mungkin adalah pria paling tampan yang pernah aku temui. Tetapi itu tidak berarti bahwa aku ingin menikah dengannya tanpa mengenalnya terlebih dahulu.

"Dia bukan orang asing, Mirabelle. Dia adalah putra temanku. Aku sudah mengenalnya sejak lama," kata kakekku dengan tenang.

"Kakek mungkin kenal siapa dia, tapi aku tidak mengenalnya. Bagaimana kakek bisa memaksa aku untuk menikah dengan seseorang yang belum pernah aku temui sebelumnya?" aku mengeluh.

"Itu sebabnya aku ingin kamu bertemu dengannya sekarang. Aku dan ayah Pangeran Maximilian telah memutuskan tanggal pernikahan kalian. Dan itu akan diadakan pada hari ulang tahun kamu yang ke 17 yang akan datang dalam waktu kurang dari 3 minggu lagi," Raja Bellamy menuturkan kepadaku.

"Kalian bahkan telah memutuskan tanggalnya. Oh aku tidak percaya ini. Kapan aku bilang aku setuju untuk menikah dengannya, Kakek? Kakek seharusnya bertanya kepadaku terlebih dahulu sebelum memutuskannya," protesku.

"Aku tidak butuh persetujuanmu untuk menikah dengannya. Kau tahu, aku adalah rajanya di sini, dan yang terpenting adalah Pangeran Maximilian adalah matemu," ujar Raja Bellamy dengan angkuh.

"Mateku?" tanyaku bingung.

"Ya, matemu," jawab sang raja, "itu seperti belahan jiwa di duniamu. Dia ditakdirkan untuk menjadi suamimu. Kamu akan menikah dengannya apapun yang terjadi."

"Tidak, aku tidak akan menikah dengannya," kataku dengan tegas.

"Ya, kamu akan menikah dengan dia," paksa kakekku.

"Tidak, aku tidak akan menikah dengannya."

"Ya, tentu saja kamu akan menikah dengan dia."

"Aku tidak akan menikah dengan dia. Tidak akan pernah," aku berteriak.

Sebelum kakekku dapat mengucapkan sepatah kata pun lagi, aku lekas berdiri dan bergegas menuju pintu.

"Putri, tunggu!" Sigmund memanggilku.

"Biarkan dia!" Aku mendengar kakekku berbicara ketika aku keluar dari ruang makan.

"Lupita, bisakah kamu membawaku kembali ke kamarku sekarang? Aku tidak ingat jalan ke sana," pintaku.

Lupita melirik ke ruang makan. Ketika Raja Bellamy menganggukkan kepalanya, Lupita menjawab, "Tentu, mari kita pergi, Tuan Putri!"

Akhirnya, Lupita memimpin jalan menuju ke kamarku dan para pengawal dan pelayan dengan menyebalkannya mengikuti di belakang kami.