"Aku sangat membenci raja vampir itu," gerutuku sambil menghentakkan kakiku dengan kesal begitu aku kembali ke kamar, "Pertama-tama, dia memerintahkan anak buahnya untuk menculikku. Kemudian, dia membawaku ke kerajaan vampir yang bodoh ini, dan memaksaku untuk menerimanya sebagai kakekku. Setelah itu, dia mengurungku di kamar ini seperti seorang tahanan dan membuatku kelaparan hanya karena aku tidak ingin mengkonsumsi darah. Dan sekarang, dia merencanakan pernikahanku dengan orang asing. Aku benci dia. Aku benci dia. Aku benci dia."
Dengan marah, aku mengambil setiap bantal di tempat tidur dan melemparkannya ke lantai.
"Tok-tok-tok..." Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku.
"Ini aneh! Sigmund tidak pernah mengetuk pintu sebelum memasuki kamarku. Jadi mungkinkah itu Lupita?" pikirku.
"Siapa itu?" tanyaku dengan marah.
"Ini Maximilian," jawab seorang pria di sisi lain pintu.
"Maximilian? Kedengarannya familiar. Tapi di mana akupernah mendengar nama itu ya?" tanyaku dalam hati.
Seolah orang itu bisa membaca pikiranku, dia menambahkan, "Umm... aku calon suamimu."
"Oh ya bagaimana mungkin aku lupa? Itu adalah nama pangeran yang diperkenalkan Kakek sebagai calon suamiku," gumamku.
"Pergi saja, Pangeran Maximilian! Aku tidak ingin bertemu denganmu," kataku kepadanya.
"Aku tidak akan pegi kemana-mana sebelum kamu membuka pintu ini. Aku bisa menunggu sepanjang malam jika perlu," dia bersikeras.
Kesal, aku pergi ke pintu dan membukanya. "Kamu bilang kamu tidak akan pergi ke manapun sebelum aku membuka pintu ini. Lihat nih aku sudah membuka pintu. Jadi kamu bisa pergi sekarang!"
Aku hendak menutup pintu lagi, tetapi Pangeran Maximilian meraih tanganku, menahanku. "Setidaknya mari kita bicara dulu!"
Aku mengibaskan tangannya dan menyilangkan lenganku di dada. "Apa yang ingin kamu katakan?"
"Bisakah kita bicara di dalam?" tanyanya.
Aku mengangkat alis. "Mengapa?"
"Kamu tidak ingin pengawalmu mendengar percakapan kita, kan?" Dia menggerakkan kepalanya ke arah sepuluh pengawal yang berdiri di depan kamarku.
Aku memutar bola mataku. "Oke, masuk! Tapi biarkan pintunya terbuka! Aku tidak ingin berada di ruangan tertutup bersamamu."
Dia mengangkat bahu. "Sesuai keinginanmu."
Kami berdua melangkah ke dalam kamarku dan membiarkan pintunya terbuka.
"Bicaralah sekarang!" suruhku.
"Putri, aku hanya ingin tahu. Mengapa kamu begitu marah ketika Raja Bellamy memberitahumu bahwa kita akan menikah?" dia bertanya dengan penasaran.
"Kamu bertanya kenapa? Aku bahkan tidak mengenalmu. Dan tiba-tiba, kakekku memperkenalkan kamu sebagai calon suamiku. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa tentang itu. Dia bahkan tidak bertanya kepadaku dulu apakah aku ingin menikah denganmu atau tidak. Tentu saja, aku punya hak untuk marah," aku menjelaskan.
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu, Putri. Tetapi kamu harus memahami satu hal. Kita adalah sepasang mate. Apakah kamu tahu arti seorang mate?" tanyanya seolah aku ini orang bodoh.
Aku memutar bola mataku dengan jengah. "Ya, ya, aku tahu apa itu mate. Kakekku sudah menjelaskannya padaku saat makan malam tadi, ingat? Selain itu, aku telah membaca banyak buku tentang vampir dan serigala yang menceritakan tentang pasangan mate."
"Aku senang kamu tahu apa artinya mate. Jadi kamu mengerti bahwa kita ditakdirkan untuk bersama, kan? Kamu ditakdirkan untuk menjadi istriku. Itu sebabnya kita harus menikah," Pangeran Maximilian menerangkan.
"Aku tidak peduli," aku setengah berteriak, "Mate atau bukan, aku tidak akan menikahimu."
"Kenapa kamu tidak mau menikah denganku?"
"Sudah kubilang aku bahkan tidak mengenalmu. Bagaimana kamu bisa mengharapkan aku menikahi orang asing?"
"Aku tahu kita baru saja bertemu sekarang. Tapi kita masih punya waktu untuk saling mengenal sampai hari pernikahan kita. Aku yakin kita akan menjadi sangat akrab sampai saat itu tiba. Tolong beri aku kesempatan!"
"Pangeran vampir ini sangat naif. Aku pikir aku bisa memanfaatkannya untuk kabur dari sini," pikirku.
"Baiklah. Aku rasa itu patut dicoba. Aku akan memberi kamu kesempatan untuk melihat apakah kita bisa akrab atau tidak," aku berbohong.
"Terima kasih, Putri." Tiba-tiba, Pangeran Maximilian memelukku.
Aku benar-benar ingin mendorongnya, tetapi aku tahu itu akan merusak aktingku. Jadi aku memutuskan untuk memeluknya kembali. Setelah beberapa detik, dia akhirnya melepaskan pelukan kami.
"Silakan duduk! Aku ingin bertanya beberapa hal tentang masalah mate ini." Aku menunjuk ke arah tempat tidurku.
Pangeran Maximilian dan aku kemudian duduk berhadap-hadapan di tepi tempat tidur.
"Oke, tanyakan saja!" seru Maximilian.
"Kamu dan kakekku bilang kita ini mate, kan? Tetapi bagaimana kamu tahu bahwa aku adalah matemu?" aku bertanya dengan penasaran.
"Dari aromamu," dia menjawab, "kamu memiliki aroma yang paling memabukkan yang pernah aku cium, yang membuat aku tertarik kepadamu. Itulah yang membuatku tahu bahwa kamu adalah mateku."
"Tapi kita baru saja bertemu beberapa menit yang lalu. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa aku adalah matemu secepat itu? Selain itu aku yakin bahwa kakekku dan ayahmu sudah lama mempersiapkan pernikahan kita."
Pangeran Maximilian terkekeh. "Mungkin kamu tidak bisa mengingatnya. Tapi sebenarnya, ini bukan pertemuan pertama kita."
Aku mengerutkan alisku. "Maksud kamu apa?"
Dia tersenyum. "Aku pernah bertemu denganmu ketika kamu masih bayi."
Aku terkejut. "Apa?!"
Dia mengangguk. "Iya. Jadi aku sudah tahu bahwa kamu adalah mateku sejak dulu."
"Itu tidak masuk akal," aku berkomentar.
Mengabaikan komentarku, Pangeran Maximilian memegang tanganku. "Kau tahu, Putri, aku sangat putus asa ketika aku mendengar bahwa kamu tiba-tiba hilang setelah orang tuamu meninggal. Tapi aku senang kamu sudah kembali sekarang."
"Tapi jika aku benar-benar matemu, mengapa aku tidak bisa mengetahui bahwa kamu adalah mateku?" tanyaku dengan curiga.
"Kamu tidak akan mengetahuinya karena kamu hanya seorang setengah vampir," jawabnya.
"Oh begitu." Aku mengangguk tanda mengerti.
"Jadi Pangeran Maximilian, apa kamu seperti para vampir dalam cerita yang pernah kubaca yang terobsesi dengan pasangan mereka dan akan melakukan apa saja untuk membawanya ke pelukanmu?" tanyaku penasaran.
"Tidak, Putri, aku berbeda dengan vampir-vampir yang pernah kamu baca di buku-buku itu," Maximilian membantah.
"Jika kamu benar-benar berbeda seperti apa yang kamu katakan, maka buktikanlah!" aku menantangnya.
"Bagaimana aku bisa membuktikan kepadamu bahwa aku berbeda?" Maximilian bertanya.
"Itu mudah! Bawa aku keluar dari sini dan kemudian aku akan memper— tidak, maksudku aku akan mencoba untuk mempercayaimu," jawabku.
"Mengapa kamu ingin aku mengeluarkanmu dari sini?"
"Aku diculik, dibawa ke kerajaan vampir ini di luar kehendakku, dan dikurung di kamar tidurku sepanjang waktu, jadi mengapa aku tidak ingin keluar dari sini?"
"Jadi kamu mencoba menipuku sehingga aku bisa membantumu melarikan diri dari sini?"
"Tidak, tidak, tidak, ini bukan tipuan, tapi ini ujian. Aku hanya ingin melihat seberapa tulus cintamu kepadaku."
"Maaf Putri, aku tidak bisa membantumu. Raja akan membunuhku jika dia tahu aku membantumu melarikan diri."
"Tidak, aku tidak akan membiarkan orang lain mati karenaku. Tidak lagi," pikirku, "Tapi aku harus keluar dari tempat ini apapun yang terjadi. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Pikirkan, Rosanne! Berpikirlah!"
"Hmmm ... aku yakin ada kesalahpahaman di antara kita," ucapku, "ketika aku bilang padamu aku ingin kau membawaku keluar dari sini, itu bukan berarti aku ingin keluar dari tempat ini selamanya. Tapi maksudku kamu bisa mengajakku keluar malam ini dan mungkin membawakanku makan di restoran atau semacamnya. Anggap saja ini kencan pertama kita. Bagaimana menurutmu?"
"Hmm..." Maximilian nampak ragu-ragu.
"Tolonglah, Pangeran Maximilian, bawa aku keluar dari sini malam ini!" aku memohon, "Kau tahu, makanan di sini sangat menjijikkan. Semuanya terbuat dari darah. Aku tidak tahan memakannya. Aku benar-benar ingin makan di luar sehingga aku bisa mendapatkan makanan normal. Aku kelaparan sekarang. Aku—"
"Oke, aku mengerti," Pangeran Maximilian menyela, "Jika itu yang kau inginkan, aku akan berbicara dengan Raja untuk membiarkan kita makan di luar malam ini."
Mataku berbinar mendengar ucapan Pangeran Maximilian. "Benarkah?"
Dia mengangguk. "Tapi setelah itu, kamu akan mencoba untuk percaya padaku, bukan?"
"Tentu saja!" seruku. Namun aku menambahkan dalam hati, "aku tidak akan mempercayaimu."
"Oke, kalau begitu aku akan menemui Raja Bellamy sekarang." Maximilian mulai berjalan ke pintu.
"Tunggu!" aku berteriak, menahannya.
Dia berbalik untuk menghadapku. "Ada apa lagi?"
"Ingat! Aku hanya mau pergi denganmu berdua saja. Aku tidak ingin semua pengawalku mengikuti kita," tuturku.
Maximilian mengerutkan kening. "Mengapa?"
"Kamu masih bertanya kenapa? Apakah kamu suka ketika sepuluh pengawal mengikutimu kemana saja dan mengawasi kamu sepanjang waktu? Aku juga butuh privasi tahu."
"Oke, hmmm, tapi... itu agak sulit. Aku pikir Raja Bellamy tidak akan setuju dengan syarat darimu."
"Kalau begitu jangan pernah berpikir untuk bertemu denganku lagi! Aku tidak ingin mempunyai suami yang tidak mau mendengarkan keinginanku."
"Hei, apa yang kamu bicarakan?" protesnya.
"Setujui syaratku atau kita tak akan pernah bisa bertemu lagi!" aku menegaskan.
Mulutnya ternganga. "Apa?!"
"Kalau begitu selamat tinggal, Pangeran Maximilian," kataku dengan marah.
"Tunggu! Tunggu! Oke, aku akan melakukannya. Tapi aku tidak berjanji itu akan berhasil seperti yang kamu inginkan," ujar Maximilian.
"Jika kau gagal, jangan pernah berpikir untuk muncul di hadapanku lagi!" aku mengancamnya.
Dia mengerutkan alisnya. "Apakah itu sebuah ancaman?"
Aku menyeringai. "Kamu benar sekali."
Maximilian menyentuh pipiku. "Kamu beruntung kamu adalah calon istriku, Putri. Jika kamu adalah orang lain, kamu mungkin tidak dapat hidup untuk melihat hari esok setelah mengancam seorang pangeran seperti aku."
Aku menelan ludah, sementara dia hanya menyeringai. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Pangeran Maximilian berjalan keluar dari kamarku dan menutup pintu setelahnya.
"Maximilian agak menakutkan. Aku harap dia tidak akan tahu bahwa aku hanya memanfaatkannya untuk melarikan diri dari sini, atau kalau tidak tamatlah riwayatku," batinku.