Duduk di sofa dekat jendela, aku mengamati pemandangan pepohonan di luar. Matahari bersinar terang pagi ini. Sayang sekali, aku tidak bisa keluar dari kamar ini untuk menikmati hari yang cerah.
Tiba-tiba, aku mendengar bunyi klik saat pintu dibuka. Aku tidak perlu berbalik untuk mengetahui bahwa orang yang baru datang adalah Sigmund.
"Apa yang kamu lakukan di sana?" Sigmund bertanya.
Aku memalingkan kepala ke pintu dan melihat Sigmund berdiri di sana dengan nampan di tangannya.
"Seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan itu padamu. Apa yang kamu lakukan di sini di pagi hari? Kamu seharusnya sedang tidur sekarang, kan?" aku bertanya balik.
"Ya, aku seharusnya tidur. Tetapi aku memutuskan untuk memeriksa kamu terlebih dahulu sebelum aku pergi tidur," jawab Sigmund.
"Memeriksa aku? Jadi kamu ingin memastikan bahwa aku tidak mencoba melarikan diri lagi? Kau lihat, aku masih terjebak di sini sekarang dan tidak bisa pergi ke manapun. Puas?" kataku dengan nada kesal.
Mengabaikan sarkasmeku, Sigmund berjalan ke tempat tidur dan meletakkan nampan yang dibawanya di atas nakas.
"Kemarilah! Aku membawakan sarapan untukmu," suruhnya.
"Apa?! Kamu membawakan aku sarapan? Bukankah kamu mengatakan bahwa kamu akan membuat aku kelaparan sampai aku bersedia minum darah?" aku mengejeknya.
"Aku tidak sekejam itu, Putri. Melihat betapa keras kepalanya dirimu, aku tahu kau lebih suka kelaparan daripada minum darah. Karena itulah aku sengaja membawakan kamu makanan yang tidak mengandung darah. Jadi makanlah sarapanmu sekarang!" serunya.
"Tidak, terima kasih," aku menolak.
"Apakah kamu tidak lapar?" Sigmund tampak khawatir.
"Tidak, aku tidak lapar; aku kelaparan. Tetapi apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah memakan makanan yang kamu bawa karena aku tahu kamu memasukkan darah ke dalamnya," jawabku dengan keras kepala.
"Sudah kubilang makanan ini tidak mengandung darah. Lihatlah! Ini hanya sandwich." Sigmund mengambil piring dari nampan dan menunjukkan kepadaku sandwich di atasnya.
Aku mengamati sandwich itu dengan curiga. "Aku tidak mempercayaimu."
"Kemarilah dan periksa sendiri!" perintah Sigmund.
Aku mengerti mengapa dia ingin aku datang ke sana. Saat ini aku sedang duduk di bawah sinar matahari. Sigmund mungkin takut dia akan terbakar oleh matahari jika dia mendekatiku.
"Mengapa bukan kamu saja yang datang ke sini?" aku menantangnya.
Dia terdiam.
Aku menyeringai.
Sigmund meletakkan piring di atas nampan kembali dan mengambilnya. Tanpa diduga, dia mulai menghampiriku.
Mataku membelalak karena terkejut. "Ka—kamu tidak terbakar matahari?"
Dia menyeringai. "Tidak." Sigmund lalu meletakkan nampan di atas meja kopi di depan sofa tempat aku duduk.
Aku merasa bingung. "Tapi Lupita—"
"Lupita adalah vampir muda," dia memotong kalimatku, "Semakin tua vampir, semakin mereka terbiasa dengan matahari."
"Jadi berapa umurmu?" tanyaku penasaran.
"Katakan saja aku lebih tua dari anggota keluarga tertua kamu yang masih hidup," jawabnya.
Aku terkekeh geli. "Hahaha itu lucu. Kau tahu, keluarga tertuaku yang masih hidup adalah kakekku, raja vampir, jadi maksudnya kamu lebih tua dari kakekku?"
"Cukup! Sekarang makan sarapanmu!" Sigmund menunjuk ke piring.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak."
"Makan makananmu dan aku akan memberitahumu kabar baik," kata Sigmund.
"Apa kabar baiknya?" tanyaku.
"Makan dulu!" titahnya.
"Baiklah." Aku mengambil sandwich dan menggigit sepotong besar.
Setelah selesai makan, aku menuntut, "Sekarang aku sudah makan sarapanku, beri tahu aku apa kabar baiknya!"
"Coba tebak, Putri? Raja berkata mulai sekarang, kamu diizinkan meninggalkan kamarmu dan kamu bebas mengelilingi istana ini," Sigmund menjelaskan.
Hatiku merasa senang mendengar berita itu. "Apakah kamu serius?"
Dia mengangguk sambil tersenyum. "Iya."
"Hebat!" aku berseru dengan gembira.
"Aku pikir aku harus keluar sekarang. Karena ini pagi hari, sebagian besar vampir pasti sedang tertidur sekarang. Maka mungkin aku bisa menemukan cara untuk melarikan diri," pikirku.
Aku berdiri dan buru-buru berlari ke pintu.
"Kamu mau pergi kemana?" Sigmund bertanya sambil mengikutiku.
"Menjelajahi kastil ini," jawabku.
Aku mencoba membuka pintu dan ternyata tidak dikunci. Namun ketika aku melangkah keluar dari kamar, dua orang pengawal dan Lupita menghalangi jalanku.
"Apa-apaan ini? Kamu bilang aku bebas mengelilingi istana ini," protesku.
"Ya, tetapi Raja telah memerintahkanmu untuk membawa setidaknya dua pengawal dan seorang pelayan bersamamu saat kamu berada di luar kamar," Sigmund menerangkan.
"Tidak, aku tidak ingin diikuti oleh pengawal atau pelayan. Aku tidak akan mencoba melarikan diri jika itu yang kamu khawatirkan. Aku berjanji. Lagipula bagaimana aku bisa lari dari tempat ini? Ada penjaga di setiap sudut istana ini, mengawasiku dari waktu ke waktu. Tidak ada jalan keluar di sini. Jadi tolong biarkan aku berkeliling di tempat ini sendirian. Oke?"
"Aku tahu kamu tidak bisa melarikan diri dari sini, Putri, tetapi kamu masih membutuhkan pengawal untuk perlindunganmu."
"Aku tidak membutuhkan orang lain untuk melindungiku karena aku dapat menjaga diriku sendiri dengan baik. Lagipula aku berada di dalam istana. Aku adalah sang putri. Tidak akan ada yang berani menyakiti aku di sini. "
"Kita tidak akan pernah tahu, Putri. Jadi kita tidak bisa mengambil risiko."
"Bisakah kau berhenti bersikap menyebalkan, Sigmund? Aku hanya ingin melihat-lihat istana ini sebentar dan aku tidak membutuhkan pengawal."
"Pergi dengan dua pengawal atau tetap tinggal di kamarmu selama sisa hari ini," dia mengancamku.
"Hanya dua pengawal ya? Kenapa tidak 10 saja sekalian?" geramku.
"Itu ide yang bagus! Aku pikir dua pengawal tidak cukup untuk melindungimu," ujar Sigmund.
"Robert," Sigmund berbicara kepada salah satu penjaga, "panggil 8 pengawal lagi ke sini! Kita tidak bisa mengambil risiko soal keselamatan putri kita, kan?"
"Baik, Tuanku," kata penjaga tadi sambil menundukkan kepalanya, dan akhirnya dia pergi.
"Apa?!" Mulutku menganga.
Secepat kilat, Robert kembali dengan 8 pengawal lagi.
"Semua pengawalmu sudah ada di sini, kamu bebas menjelajahi kastil ini sekarang," ucap Sigmund sambil menyeringai.
"Aku benci kamu," teriakku. Berbalik, aku memasuki kamarku lagi.
"Tunggu! Putri, mengapa kamu malah masuk ke kamarmu lagi? Kamu bilang kamu ingin menjelajahi kastil ini, bukan?" Sigmund meledekku.
"Lupakan saja!" Aku membanting pintu hingga tertutup di depan wajahnya.
Aku bisa mendengar Sigmund dan para penjaga tertawa di sisi lain pintu.