Beberapa menit kemudian, ada suara ketukan di pintu.
"Apakah itu Sigmund lagi?" pikirku. "Tapi mengapa dia harus mengetuk pintu? Biasanya dia langsung masuk tanpa bertanya. Jadi mungkinkah itu orang lain?"
Suara ketukan datang lagi untuk kedua kalinya. Duduk tegak, aku bertanya, "Siapa itu?"
"Ini Lupita," jawab seseorang dari sisi lain pintu. "Saya pelayan pribadi anda, Yang Mulia."
Turun dari tempat tidur, aku berjalan ke arah pintu dan mencoba membukanya, tetapi pintu itu masih terkunci.
"Pintunya terkunci," kataku padanya.
"Saya tahu, Tuan Putri, saya hanya meminta izin anda untuk masuk," jawab pelayan itu dengan polos.
"Jika kamu tahu pintunya terkunci, mengapa kamu harus mengetuk? Kamu bisa masuk tanpa harus meminta izin," aku memarahinya.
"Maaf, Yang Mulia," dia meminta maaf, suaranya sedikit bergetar, "Ini prosedurnya. Lord Sigmund mengatakan kepada saya bahwa sebelum saya melakukan sesuatu, saya harus meminta izin anda terlebih dahulu."
"Prosedur sialan!" rutukku.
"Bolehkah saya masuk sekarang, Putri?" Lupita meminta izin.
Aku menghela nafas. "Oke, masuklah!"
Pintu terbuka dan Lupita, gadis berambut pirang yang tampak beberapa tahun lebih tua dariku, masuk, membawa nampan yang ditutupi dengan tutup perak.
"Aku membawakan makanan anda, Yang Mulia. Lord Sigmund telah meminta saya untuk membawakan makanan untuk anda," Lupita menjelaskan dengan sopan.
"Terima kasih, Lupita. Tolong taruh saja di sana!" Aku menunjuk ke meja samping tempat tidur.
"Baik, Tuan Putri." Perlahan-lahan, Lupita berjalan melintasi ruangan ini dan lalu meletakkan nampan makanan di meja samping tempat tidur.
"Bisakah kamu berhenti memanggilku Yang Mulia, Tuan Putri, Putri, atau semacamnya? Itu sangat menjengkelkan," protesku padanya.
"Lalu saya harus memanggil anda apa, Yang Mulia?" tanya Lupita dengan gugup.
"Namaku Rosangela. Tapi kamu bisa memanggilku Rosanne," jawabku dengan sebuah senyuman tulus.
"Tapi anda ini seorang putri dan saya hanya seorang pelayan. Saya seharusnya tidak memanggil anda dengan nama depan anda," ujar Lupita dengan takut-takut.
"Jadi, panggil aku Rosanne saat kita sendirian, oke?" suruhku.
"Oke, Tuan—" katanya, tetapi dengan cepat mengoreksi dirinya ketika aku memelototinya, "Rosanne."
"Bagus!" seruku.
"Bo—bolehkah saya bertanya sesuatu, Rosanne?" Lupita bertanya dengan ragu.
"Tentu saja. Tanyakan saja!" aku menjawab.
"Lord Sigmund memberitahu saya bahwa nama anda adalah Putri Mirabelle. Tetapi mengapa anda mengatakan bahwa nama anda adalah Rosangela?" dia bertanya dengan penasaran.
"Karena nama asliku adalah Rosangela. Mirabelle adalah nama yang diberikan Raja Bellamy beberapa menit yang lalu," aku menerangkan.
Lupita mengangguk. "Oh saya mengerti."
"Sebaiknya anda memakan makanananda sekarang, Rosanne, sebelum makanannya dingin," saran Lupita.
"Oke." Aku berjalan menuju tempat tidur dan duduk di ujungnya.
"Kamu tidak akan pergi?" tanyaku pada Lupita karena dia terus berdiri di tempatnya dekat meja.
"Lord Sigmund memerintahkan saya untuk menemani anda saat anda makan," jelasnya.
"Oh," aku berkomentar singkat.
Membuka tutup perak, aku menemukan sepiring spaghetti Bolognese dengan sepasang garpu dan sendok, dan segelas air.
Aku mengambil garpu dan bermaksud memakan spaghetti Bolognese itu, tetapi tiba-tiba sebuah pikiran muncul di benakku, "Bagaimana jika Sigmund meracuni makanan ini?"
Aku mengamati spageti di piringku dengan curiga. Tampaknya tidak ada yang salah dengan spageti ini. Dagingnya juga tampak sehat. Warna saus tomatnya sedikit lebih gelap, tapi aku pikir tidak apa-apa. Air di gelas itu sangat jernih. Tidak ada tanda-tanda obat di dalamnya. Tetapi aku harus berhati-hati. Meskipun aku tidak dapat menemukan sesuatu yang aneh dalam makanan dan air ini, itu tidak berarti bahwa makanannya tidak beracun.
"Ada apa, Rosanne?" tanya Lupita bingung.
"Sigmund tidak meracuni makananku, kan?" aku bertanya padanya dengan jujur.
"Saya bisa menjamin bahwa makanan ini tidak diracuni, Rosanne," dia meyakinkan aku.
"Aku tidak mempercayaimu. Jika makanan ini tidak beracun seperti yang kamu katakan, maka buktikan!" aku menantangnya.
"Ba—bagaimana saya bisa membuktikannya?" dia tergagap.
"Cicipi!" suruhku.
Lupita mengerutkan kening. "Makanan ini?"
"Tentu saja," seruku.
"Maafkan saya, tapi saya tidak diizinkan memakan makanan untuk keluarga kerajaan," ucap Lupita.
"Karena kamu tidak ingin mencicipinya, aku yakin kamu telah memasukkan sesuatu ke dalam makananku," tuduhku.
Lupita mendengus kesal. "Baiklah, Rosanne, saya akan mencicipinya untukmu."
"Bagus!" seruku.
Aku menyerahkan garpu pada Lupita. Dia menggunakan garpu itu untuk mengambil spaghetti beserta dengan saus tomat dan daging, dan kemudian membawanya ke mulutnya. Setelah dia menelan makanan itu, aku menunggu sekitar lima menit untuk melihat apakah ada reaksi racun, tetapi tidak ada yang terjadi.
"Kau lihat? Makanan ini aman, Rosanne," ujar Lupita.
"Baiklah. Aku akan memakannya sekarang, tetapi hanya karena kamu memaksaku, oke?" kataku dengan keras kepala.
Lupita menahan tawa.
Aku mengambil sendok yang tergeletak di sebelah piring dan mengambil sesendok spageti dengan saus tomat dan daging. Segera setelah aku memasukkan makanan itu ke dalam mulutku, rasa metalik dari darah menghantam lidahku.
"Apa yang kamu berikan padaku, Lupita?" pekikku
"Ini spageti," jawab Lupita.
"Aku tahu ini spageti," balasku, "Tapi terbuat dari apa sausnya?"
"Itu—itu terbuat dari darah," Lupita tergagap.
"Apa?!" Mulutku ternganga. "Kamu memberi aku darah?"
Dia mengangguk.
Gelombang rasa mual tiba-tiba menyapuku, dan aku merasa seperti akan muntah. Berdiri, aku bergegas ke kamar mandi dan dengan cepat membuang apa yang baru saja aku makan ke wastafel. Setelah itu, aku menyalakan keran dan membiarkan airnya mengalir ke saluran pembuangan air sebelum mematikan keran.
"Apakah kamu baik-baik saja, Rosanne?" Lupita bertanya dengan cemas begitu aku meninggalkan kamar mandi.
"Mengapa kamu memberiku darah, Lupita? Kau tahu aku manusia bukan vampir, kan?" aku mengeluh.
Lupita menundukkan kepalanya dengan menyesal. "Maafkan aku, Rosanne. Ini perintah Lord Sigmund."
"Bawa kembali makanan ini, Lupita! Aku tidak ingin makan makanan seperti ini," aku menyuruhnya.
"Tolong habiskan makan malammu, Rosanne! Lord Sigmund akan menghukumku jika beliau tahu kamu tidak ingin makan makanan yang aku buat," pintanya.
"Dengar! Aku rela memakan makanan yang kamu buat jika makanan itu bisa dimakan. Tapi aku tidak bisa makan ini. Kamu tahu mengapa? Karena makanan ini bukan makanan manusia; manusia tidak makan darah," aku menjelaskan.
"Tapi aku diperintahkan untuk membuatkan makanan itu untukmu," dalihnya.
"Maka itu bukan salahmu. Jadi tolong bawa kembali makanan ini dan tinggalkan aku sendiri!" pintaku.
"Tapi Rosanne—"
Aku memotong perkataannya, "Biarkan aku sendiri sekarang! Aku mohon!"
"Apa yang terjadi di sini?" Tiba-tiba Sigmund menerobos masuk ke dalam kamar.
"Tuanku." Lupita menundukkan kepalanya di depan Sigmund.
"Lupita, ceritakan apa yang terjadi di sini!" Sigmund menuntut penjelasan.
"Rosanne— Maksudku, Putri Mirabelle tidak mau memakan makanan yang saya bawa, Tuanku."
"Itu bukan salahnya. Kamu memerintahkan dia untuk membawakan aku makanan yang mengandung darah. Jadi aku tidak bisa memakan itu," aku membela Lupita.
"Kamu bisa meninggalkan kami sekarang, Lupita," perintah Sigmund.
"Baik, Tuanku." Dengan tergesa-gesa, Lupita meninggalkanku dan Sigmund sendirian.
"Dengar, Putri! Karena kamu akan tinggal di sini, mulai sekarang, kamu harus terbiasa dengan makanan kami," kata Sigmund dengan tegas.
"Tapi aku manusia, dan manusia tidak makan darah, terutama darah manusia lain," balasku.
"Secara teknis, kamu setengah manusia dan setengah vampir, jadi kamu bisa makan makanan ini."
"Tapi aku tidak terbiasa untuk vampir makanan. "
"Kalau begitu coba ini sehingga kamu akan perlahan-lahan terbiasa dengan itu!"
"Tidak mau!"
"Makan makanan yang Lupita bawakan untukmu atau kamu tidak akan makan apapun malam ini," dia mengancam.
"Aku lebih suka kelaparan kalau begitu," kataku dengan keras kepala.
"Oke, itu pilihanmu." Sigmund mengambil nampan makanan dan berjalan menuju pintu. Meninggalkan kamarku, dia menutup pintu setelah ia keluar dan segera menguncinya.
"Dia pasti tidak serius. Benar, kan?" ucapku.