Chapter 7 - Bab 6

Tatkala aku terbangun, kudapati ruangan ini kosong. Sepertinya Sigmund telah pergi ketika aku sedang tidur. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Mengintip melalui lubang di papan yang menutupi jendela, aku bisa melihat langit telah menjadi gelap.

Samar-samar, aku mendengar langkah kaki mendekat. Aku buru-buru menjatuhkan diri ke ranjang. Membenamkan kepalaku di selimut, aku pura-pura tidur.

Pintu terbuka dan Sigmund masuk ke dalam kamar.

"Bangun! Kita harus pergi sekarang," perintahnya.

Aku berbaring tak bergerak, terus berpura-pura tertidur.

Aku mendengar Sigmund mendesah. "Aku tahu kamu sudah bangun. Bangun sekarang sebelum aku memaksamu."

Aku duduk dan menghadapnya. "Dengar! Aku tidak akan pergi ke mana-mana denganmu sampai kamu menjelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi di sini dan mengapa kamu menculikku."

"Aku akan menjelaskannya kepadamu nanti. Sekarang ayo pergi!" Dia meraih lenganku, menarikku sampai berdiri, dan menyeret aku ke depan.

Aku mengibas tangannya. "Tidak! Aku ingin kamu menjelaskan kepadaku sekarang."

"Aku ingin kamu ikut denganku sekarang. Kita bisa melakukan ini dengan cara baik-baik atau kasar," dia mengancam.

"Baiklah. Kamu menang. Aku akan pergi bersamamu dengan sukarela. Tapi setidaknya kamu harus mengembalikan liontinku," pintaku.

"Sudah kubilang aku akan mengembalikannya nanti," katanya.

"Tidak, aku ingin liontin itu kembali sekarang," aku bersikeras.

Dia memelototiku dengan marah.

"Aku mohon! Liontin itu sangat berharga bagiku. Itu adalah satu-satunya hal yang ditinggalkan oleh ibu kandungku untukku," aku memohon.

Mendengar permohonanku, tiba-tiba ekspresinya melembut. Sigmund mengeluarkan liontinku dari sakunya. Sebelum aku bisa bereaksi, dia memutar badanku.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku.

"Diam!" dia membentakku.

Dia menggerakkan rambutku ke samping dan memasangkan liontin itu di leherku.

Aku menyentuh liontin yang kini melingkar di leherku dan menatapnya dengan gembira.

Aku berbalik dan menatap Sigmund. Aku berkata, "Terima kasih."

"Ayo pergi!" Dia memegang tangan kananku dan memaksaku untuk berjalan keluar dari ruangan ini bersamanya.

"Kemana kamu akan membawaku?" tanyaku penasaran.

"Ke rumahku," jawabnya dengan dingin.

"Dan di mana rumahmu itu?" aku bertanya lagi.

"Kamu terlalu banyak bertanya," keluh Sigmund.

Keheningan menyelimuti kami. Ketika kami berjalan di sepanjang lorong, aku melihat sebuah jendela yang tidak ditutupi papan melalui pintu kamar mandi yang dibiarkan terbuka. Sebuah ide terlintas di kepalaku. Aku tahu bahwa jendela itu kecil tapi mengingat betapa kurusnya aku, kupikir aku bisa muat di sana.

"Tunggu! Tunggu!" Aku berhenti berjalan.

Sigmund menoleh ke arahku. "Apa?"

"Aku perlu buang air kecil," kataku padanya.

Sebelum dia bisa menjawab, aku menyerobot terlebih dahulu, "kamu bilang ini akan menjadi perjalanan yang panjang, kan? Maka kamu harus mengizinkan aku buang air kecil sekarang atau aku harus buang air kecil di dalam mobilmu saat kamu mengemudi."

"Pergi! Kamar mandinya ada di sebelah sana!" Dia menunjuk ke pintu yang aku lihat tadi.

Aku bergegas ke kamar mandi begitu dia melepaskan genggaman tangannya padaku.

"Cepat!" Sigmumd berteriak padaku.

"Iya," kataku sambil membanting pintu di belakangku.

Dengan sangat hati-hati, aku naik ke atas wastafel yang terletak di bawah jendela dan melihat keluar. Syukurlah aku berada di lantai dasar sehingga aku tidak akan terluka bahkan jika aku melompat keluar dari jendela.

Aku mendorong jendela, dan untungnya jendela itu tidak terkunci. Dengan cepat, aku memanjat jendela itu, lalu meloncat keluar jendela, dan mendarat dengan sempurna di atas semak-semak. Aku berdiri dan dengan cepat berlari menuju hutan, meninggalkan gedung tempat mereka menyanderaku.

'Akhirnya aku bebas,' pikirku dengan bahagia.