Perjalanan menggunakan mobil ini benar-benar berjalan sangat lelet. Untuk waktu yang lama, aku mencoba sebaik mungkin untuk tertidur, tetapi dalam posisi yang sangat tidak nyaman ini dengan tangan terikat di belakang, itu tidak berhasil.
Aku sangat lapar; perutku terus berbunyi. Aku yakin Sigmund juga bisa mendengarnya mengingat betapa kerasnya suara itu. Tetapi sebagai penculik yang kejam, dia mengabaikan aku.
Untuk menghabiskan waktu, aku mulai menarik tali yang mengikat pergelangan tanganku, berharap aku bisa melonggarkannya. Tapi itu malah membuatnya semakin kencang.
"Hentikan, Putri! Usahamu tidak berguna. Kau tidak akan pernah bisa melepaskannya," kata Sigmund dengan dingin.
Mengabaikannya, aku terus menarik-narik tali yang mengikat tanganku. Tetapi bahkan setelah pergelangan tanganku mulai memar, talinya belum juga terlepas.
"Sudah kubilang ini tidak berguna," Sigmund mengejekku. "Berhenti sekarang!"
Aku tidak mendengarkan kata-katanya dan terus menggeliat-geliat. Perlahan, aku merasakan darah menetes di lenganku. Tetapi dengan keras kepala aku menolak untuk berhenti berusaha untuk melepaskan diri dari jeratan tali ini.
Tiba-tiba, Sigmund meraih bahuku dengan kasar. "Aku bilang berhenti! Apakah kamu tidak menyadari di mana kamu berada sekarang? Kamu sedang berada di mobil yang penuh dengan vampir. Kamu tidak tahu efek yang dapat ditimbulkan oleh darahmu kepada kami."
Aku membeku. Sigmund benar. Aku dikelilingi oleh sekelompok vampir sekarang. Darahku bisa menarik perhatian mereka. Bagaimana jika mereka menggigit dan membunuhku?
"Maafkan aku. Tolong jangan sakiti aku!" aku memohon.
"Kami tidak akan menyakitimu. Tapi kamu harus berjanji bahwa kamu akan berhenti berusaha untuk melepaskan ikatanmu. Mengerti?" Sigmund meremas bahuku, membuatku mendesis kesakitan.
Aku mengangguk. "Iya."
"Iya apa?" dia membentakku.
"Iy—iya," aku tergagap, "Aku berjanji tidak akan mencoba melepaskan ikatanku lagi."
"Bagus!" Sigmund akhirnya melepaskan bahuku.
Aku menyandarkan punggungku di kursi kulit, berusaha untuk merasa tenang. Tiba-tiba, perutku bersuara lagi.
"Aku lapar," bisikku.
"Sudah kubilang kau tidak akan makan apapun sampai kita tiba di rumahku. Ini adalah hukumanmu karena mencoba melarikan diri," seru Sigmund dengan sengit.
"Dengar! Aku tidak tahu apakah vampir perlu makan atau tidak. Tapi aku ini manusia. Aku perlu makan atau aku akan mati kelaparan," aku menjelaskan dengan putus asa.
"Kamu tidak akan mati hanya karena kamu tidak makan selama satu atau dua hari," ucap Sigmund dengan dingin.
"Bisakah kamu setidaknya memberiku air? Tolong!" aku memohon. Aku sangat haus. Mulutku terasa kering sekali.
Sigmund menghela nafas frustrasi. Ada keheningan selama beberapa detik sampai aku mendengar suara tutup botol air mineral dibuka.
Sigmund meletakkan botol itu ke bibirku. "Minumlah!" perintahnya sambil memiringkan botol agar air segar mengalir di tenggorokanku.
Namun sebelum aku bisa menghilangkan dahaga sepenuhnya, Sigmund sudah menjauhkan botol itu dari mulutku.
"Hei, aku masih haus," protesku.
"Cukup! Perjalanan kita masih panjang. Kita tidak punya waktu untuk istirahat hanya untuk pergi ke toilet," seru Sigmund.
"Ya Tuhan, kau sangat menyebalkan!" aku berteriak dengan frustasi, tetapi dia mengabaikanku.
Kami duduk diam selama beberapa jam berikutnya dan aku mulai merasa bosan.
"Apakah kita sudah sampai di sana?" tanyaku dengan tidak sabar
"Belum," jawab Sigmund.
"Apakah kita sudah sampai?" aku mengulangi pertanyaanku setelah beberapa menit berlalu.
"Belum," jawabnya.
Beberapa menit kemudian, aku bertanya lagi, "Apakah kita sudah sampai?"
"Aku bilang belum," Sigmund membentakku.
Alih-alih takut padanya, aku memilih untuk bertanya lagi, menantangnya, "Apakah kita sudah sampai?"
"Bisakah kamu berhenti bertanya padaku pertanyaan yang sama berulang kali?" tanya Sigmund dengan geram.
"Mungkin jika aku bisa melihat kemana kita pergi, aku tidak perlu bertanya berulang kali," jawabku.
"Cukup! Aku sudah muak dengan bibirmu," ujar Sigmund dengan nada kesal.
Tiba-tiba Sigmund memaksa mulutku terbuka, memasukkan kain ke dalamnya, dan mengikatnya di belakang kepalaku, menyumpalku.
"Hmm... hmm..." aku berteriak.
"Ah akhirnya aku bisa mendapatkan ketenangan," Sigmund mengejekku sambil tertawa.
Aku sangat marah pada Sigmund. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa karena tanganku terikat, mulutku disumpal, dan mataku ditutup. Jadi aku hanya menyandarkan kepala ke jendela dan mulai menghitung waktu yang berlalu.
🌹🌹🌹🌹🌹
"Bangun!" Seseorang mengguncang bahuku dengan keras.
Ini aneh. Aku tidak ingat tertidur. Aku membuka mata, tetapi yang bisa kulihat hanyalah kegelapan. Aku mulai panik tetapi kemudian aku ingat bahwa mataku ditutup sekarang.
"Bangun, Putri!" seseorang mengulangi perkataannya. Aku mengenali suara ini. Itu suara milik Sigmund, pemimpin para penculikku.
Aku mencoba bertanya kepadanya apa yang terjadi tetapi suaraku teredam oleh kain yang menyumpal mulutku.
"Kita sudah sampai," Sigmund mengumumkan.
Kakiku gemetar ketakutan. Kami akhirnya tiba di rumahnya. Aku tidak tahu apa yang dia siapkan untukku di tempat ini.