Ketika kami keluar dari ruang singgasana, aku berhenti melawan karena aku tahu itu tidak berguna. Sigmund menggendongku melewati banyak lorong dan menaiki beberapa tangga sampai kami mencapai sebuah kamar.
Begitu dia meletakkanku di tepi tempat tidur, aku mengamati kamar ini. Ruangan ini sangat besar. Kupikir ini sepuluh kali lebih besar dari kamarku di rumah keluarga Sinclair. Kamar ini memiliki tiga pintu: yang pertama adalah pintu keluar, dan dua lainnya mungkin untuk kamar mandi dan lemari pakaian.
Dinding di kamar ini dicat merah. Sementara itu, langit-langit dicat putih. Sebuah lampu kristal tergantung di langit-langit. Dan terakhir, lantai kayu ditutupi dengan karpet merah.
Tempat tidur dengan empat tiang tempat aku duduk saat ini disandarkan ke dinding di tengah ruangan. Seprai dan selimutnya berwarna putih, sementara bedcover dan bantal berwarna merah marun. Di sisi kanan dan kiri tempat tidur, ada masing-masing sebuah nakas dengan lampu di atasnya.
Ada dua sofa di sini: yang pertama di kaki tempat tidur, dan yang terakhir adalah di dekat jendela yang ditutup dengan tirai beludru merah.
"Mulai sekarang, ini akan menjadi kamar tidurmu. Sampai kamu dapat merasa betah tinggal di sini, kamu tidak diizinkan meninggalkan kamar ini tanpa izin Raja atau aku," Sigmund memberitahuku.
"Kamu tidak bisa mengurungku di kamar ini sepanjang waktu," aku memprotes.
"Tentu saja aku bisa," seru Sigmund.
"Bagaimana dengan makananku? Tidak ada makanan di sini. Apakah kamu akan membiarkan aku mati kelaparan?" keluhku.
"Jangan khawatir tentang itu! Makanan akan dibawakan kepadamu tiga kali sehari," kata Sigmund.
"Bagaimana jika aku perlu menggunakan kamar mandi?" tanyaku dengan bodoh, meskipun aku tahu bahwa salah satu pintu di ruangan ini mungkin mengarah ke kamar mandi.
Dia menangkupkan daguku dan memaksaku untuk melihat sisi kiri kamar ini. "Kamar mandinya ada di sana. Kamu terlihat berantakan. Mandi sekarang! Raja Bellamy tidak suka sesuatu yang kotor di istananya."
"Kau ingin aku mandi di tengah malam? Tidak mungkin! Disini sangat dingin. Selain itu, mandi di malam hari tidak baik untuk kesehatan," aku menolak.
"Lakukan apa yang aku katakan sekarang atau aku akan menyeretmu ke kamar mandi dan memandikanmu sendiri," Sigmund mengancamku.
Aku menggertakkan gigiku karena kesal. "Baiklah, kamu menang."
"Lalu, tunggu apa lagi? Pergi ke kamar mandi sekarang!" Sigmund membentakku.
Terkejut, aku melompat hingga berdiri dan bergegas menuju kamar mandi.
Aku hampir menutup pintu ketika tiba-tiba aku teringat sesuatu yang penting. Aku menjulurkan kepala keluar dari pintu dan berkata, "Tunggu! Bagaimana dengan pakaianku? Aku tidak punya pakaian lain kecuali apa yang aku kenakan sekarang."
"Lemari pakaian ada di sana." Sigmund menunjuk ke pintu di sebelah kamar mandi. "Ada ratusan pakaian dan sepatu yang menunggu untuk dipakai."
"Bagaimana jika pakaiannya—"
"Jika pakaian itu tidak pas untukmu," tukasnya, "aku akan memanggil penjahit kerajaan besok. Dia akan mengukur badanmu dan membuat pakaian yang indah untukmu."
"Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian," dia menyela. "Pergi ke kamar mandi! Sekarang!"
"Oke, oke. Kamu tak usah membentakku seperti itu. Ingat! Jangan mengintip! Apakah kamu mengerti?" aku memperingatkannya.
"Aku tidak tertarik dengan bentuk tubuhmu. Jadi mengapa aku harus mengintip?" Sigmund mengejekku.
"Ya Tuhan, betapa kasarnya dia!" kataku dalam hati dengan marah. Sebelum dia bisa meledekku lebih lanjut, aku membanting pintu hingga tertutup dan menguncinya.
"Aku harus pergi sekarang. Tapi aku akan segera kembali untuk memastikan kamu mematuhi perintahku," Sigmund berteriak di sisi lain pintu.
"Terserah!" gerutuku.
Aku melepas pakaian kotor yang aku pakai dan melemparkannya ke sudut ruangan. Membuka tirai, aku melangkah kedalam bilik shower. Aku menutup tirai kalau-kalau Sigmund mendadak masuk ke dalam kamar mandi.
Aku menyalakan shower dan membiarkan air hangat membasahi seluruh tubuhku. Meraih sebatang sabun, aku menggosokkannya ke badanku. Setelah itu, aku berdiri di bawah guyuran shower lagi dan air segera menghanyutkan semua busa di tubuhku.
Takut kalau Sigmund mungkin akan tiba-tiba muncul, aku memutuskan untuk mematikan air dan segera keluar dari bilik shower. Aku mengambil jubah mandi putih dari meja rias dan memakainya. Aku juga mengambil handuk tangan dan menggosok rambutku sampai kering sebelum akhirnya menyisir rambut dengan sisir yang aku temukan.
Aku membuka kunci pintu dan menjulurkan kepala keluar. Memutar kepalaku ke kiri lalu ke kanan, aku ingin memeriksa apakah Sigmund ada di kamar ini atau tidak. Ketika aku yakin keadaannya aman, aku melangkah keluar dari kamar mandi dan menuju ke walk-in closet.
Mulutku ternganga. Sigmund tidak bercanda ketika dia mengatakan kepadaku bahwa ada ratusan pakaian dan sepatu yang menunggu untuk dipakai disini. Karena pada kenyataannya, aku menemukan banyak sekali pakaian yang tergantung di dalam walk-in closet ini. Lusinan pasang sepatu juga diletakkan dengan rapi di rak-rak di sini.
Aku memeriksa rak-rak pakaian di sini, tetapi aku tidak bisa menemukan pakaian kasual. Yang aku temukan hanyalah gaun-gaun pesta. Aku terbiasa tidur dengan piyama atau setidaknya celana olahraga dan kaus atau tank top. Tapi sekarang aku tidak punya apa-apa untuk dipakai saat tidur di sini. Ya, aku menemukan beberapa gaun tidur di antara gaun-gaun itu. Tapi aku pikir itu terlalu glamor untuk seleraku. Jadi aku juga tidak ingin memakainya.
"Tidakkah mereka mempunyai piyama di sini?" tanyaku dengan nada kesal.
"Mungkin aku harus bertanya pada Sigmund saat dia kembali," pikirku.
Aku mondar-mandir di walk-in closet, menunggu Sigmund kembali dengan tidak sabar.
"Dia bilang akan segera kembali ke sini. Tapi kenapa dia butuh waktu begitu lama?" gerutuku.
Setelah sekian lama, akhirnya, pintu lemari terbuka dan Sigmund masuk.
"Kamu di sini rupanya, Putri! Aku pikir kamu telah melarikan diri," ujar Sigmund.
"Akhirnya kamu kembali juga." Aku menghembuskan nafas lega.
"Mengapa? Sudah merindukanku?" dia mengejekku.
"Ya, aku sangat merindukanmu sampai aku tidak bisa bernapas," kataku dengan sarkasme.
Sigmund terkekeh, tetapi kemudian mengerutkan kening ketika dia melihat aku masih mengenakan jubah mandi. "Kenapa kamu belum berpakaian?"
"Yah, itu yang akan aku ceritakan. Aku tidak dapat menemukan pakaian yang cocok untukku di walk-in closet ini," jelasku.
"Aku yakin semua pakaian ini sesuai dengan ukuranmu. Jadi apa yang salah dengan pakaian-pakaian itu?"
"Tidak ada yang salah dengan pakaiannya. Tapi aku tidak merasa ingin memakai salah satunya."
"Mengapa?"
"Sudah kubilang mereka tidak cocok untukku. Jadi, apakah kamu punya pakaian lain?"
"Tidak, aku tidak punya. Pakai saja salah satu dari pakaian ini! Semua pakaiannya cantik. Aku yakin pakaian itu akan cocok untukmu."
"Pakaian-pakaiannya itu bagus hanya jika kamu ingin memakainya untuk pesta dansa."
"Apa maksudmu?"
"Kau tahu, alasanku tidak ingin memakai semua pakaian itu adalah karena semuanya adalah gaun pesta. Bagaimana aku bisa memakainya untuk tidur?"
"Tidak semua dari pakaian itu adalah gaun pesta. Lihat! Yang ini adalah gaun tidur. Kamu bisa pakai ini untuk tidur." Dia mengambil gaun malam dari rak dan menyerahkannya padaku.
"Kamu menyebut ini gaun tidur? Tidak, aku tidak mau memakai ini." Aku melemparkan gaun dari Sigmund ke lantai.
"Lalu apa yang kamu pakai untuk tidur?"
"Pernahkah kamu mendengar tentang piyama? Kami, manusia, atau setidaknya aku, selalu memakainya untuk tidur. Jika kamu tidak memilikinya, mungkin kamu bisa mendapatkan aku celana panjang dan kaus."
"Tidak. Kamu seorang putri. Kamu tidak boleh mengenakan pakaian seperti itu. "
"Siapa yang memberitahumu apa yang harus dan tidak harus kukenakan?"
"Pakai saja ini atau kamu harus tidur telanjang!" Sigmund membentakku.
"Baiklah. Kamu menang. Lagi. Puas?" aku balas membentak.
Sigmund tersenyum dengan puas.
"Sekarang apa yang kamu lakukan di sini? Keluar sekarang supaya aku bisa berpakaian!" aku berteriak.
Tanpa mengatakan apapun lagi, dia berjalan keluar dari walk-in closet dan menutup pintu.
Selesai berpakaian, aku keluar dari lemari pakaian.
"Lihatlah dirimu! Aku sudah bilangkan kalau kamu akan terlihat cantik saat memakainya," puji Sigmund.
Aku memutar bola mataku. "Ya terserah."
"Aku pikir sudah waktunya bagi kamu untuk tidur. Selamat malam, Putri."
Sigmund mulai melangkah menuju pintu, tapi aku menghentikannya.
"Tunggu!"
Dia berbalik dan bertanya dengan jengkel. "Ada apa lagi?"
"Aku lapar. Bisakah kamu mengambilkan aku makanan?" pintaku.
Sigmund memelototiku.
"Hei. Jangan memelototi aku seperti itu! Kamu menculik aku sebelum aku makan malam. Dan kamu tidak membiarkan aku makan apapun di sepanjang perjalanan kita ke sini. Jadi jangan salahkan aku jika aku kelaparan sekarang!"
"Baiklah. Aku akan mengirim seseorang untuk membawakanmu makanan," ujarnya dengan dingin.
"Bagus!" seruku.
"Sama-sama," ejek Sigmund.
"Kamu pikir aku mau berterima kasih pada penculikku? Tidak akan pernah," kataku dengan tegas.
Sambil menggelengkan kepalanya, Sigmund berjalan keluar dari "kamar tidurku". Kemudian aku mendengar bunyi klik yang menunjukkan bahwa dia telah mengunci pintu.
Aku mendekati tempat tidur. Berbaring di atas selimut, aku menyandarkan kepala ke bantal sambil menunggu makanan dikirimkan.