Chapter 9 - Bab 8

Aku memperoleh kembali kesadaranku dengan mendapati diriku duduk di kursi belakang mobil yang bergerak.

Kepalaku berdenyut-denyut kesakitan. Aku mencoba menyentuh kepalaku tetapi aku tidak bisa menggerakkan tanganku karena tanganku terikat di belakangku.

"Apa-apaan ini!" rutukku pelan.

"Ah, akhirnya kau bangun juga!" seru seseorang.

Aku menoleh ke arah suara itu berasal dan melihat Sigmund duduk di sebelahku. Mataku membelalak ngeri ketika ingatan tentang apa yang terjadi sebelumnya melintas di benakku. Dengan tergesa-gesa, aku berlari menjauh darinya sampai punggungku membentur pintu.

"Menjauh dariku, pengisap darah!" Aku berteriak, tetapi segera menyesalinya.

"Demi Tuhan, dia vampir, Rosanne. Kamu seharusnya tidak memprovokasi dia seperti itu. Sekarang tamatlah riwayatku," ucapku dalam hati dengan nada panik.

Aku pikir dia akan menamparku atau setidaknya membentakku seperti yang selalu dilakukannya. Tapi tiba-tiba, dia malah menertawakanku. "Tenang, Tuan Putri! Aku sudah bilang aku tidak akan menyakitimu, kan?"

"Jadi, apa yang kamu inginkan dariku?" tanyaku.

"Sudah kubilang aku hanya ingin membawamu ke rumahku," jawabnya.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan ketika kita sampai di rumahmu? A—apakah kamu akan mem—membunuh aku?" Aku tergagap pada bagian terakhir.

"Membunuhmu?" Sigmund tertawa. "Jika aku ingin membunuhmu, aku akan melakukannya bersama dengan gadis-gadis yang lain."

Mulutku menganga. "Kamu membunuh gadis-gadis lain?"

Senyumnya secara otomatis menjawab pertanyaanku.

"Oh tidak! Dia telah membunuh gadis-gadis yang lain. Dan aku tahu dia pasti akan membunuhku juga, meskipun dia bilang dia tidak akan membunuhku. Aku harus keluar dari sini," kataku dalam hati.

Dengan tangan terikat, aku mencengkeram pegangan pintu dan berusaha menariknya agar terbuka. Tapi tentu saja terkunci.

"Tidak berguna. Aku telah mengaktifkan kunci untuk anak-anak. Kamu tidak akan pernah bisa membuka pintu itu," Sigmund memberitahuku.

Aku menghela nafas. Sambil menyandarkan kepalaku ke jok mobil, aku menatap ke luar jendela. Yang bisa aku lihat hanyalah pepohonan dan aku mulai merasa bosan.

Duduk tegak, aku memutar-mutarkan pergelangan tanganku, mencoba membebaskan tanganku dari tali. Tetapi talinya sangat erat sehingga aku tidak bisa melonggarkannya.

"Bisakah kamu membuka ikatannya? Pergelangan tanganku sakit," aku memohon.

"Maaf, tidak bisa, Putri. Aku tidak bisa mengambil risiko kamu mencoba melarikan diri lagi" kata Sigmund dengan tegas.

"Aku berjanji tidak akan mencoba kabur. Selain itu, kita sedang berada di kendaraan yang bergerak sekarang. Kemana aku bisa pergi?" kilahku.

Sigmund mengangkat bahu. "Kamu mungkin akan mencoba melompat keluar dari mobil lagi seperti apa yang kamu coba lakukan tadi."

"Itu ide yang bodoh. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. Jadi tolong lepaskan aku!" Aku memohon padanya.

"Tidak!" dia membentakku, "Kamu sendiri yang memintanya. Kamu seharusnya tidak mencoba melarikan diri sejak awal."

"Aku benci kamu," pekikku.

Aku memalingkan kepalaku darinya dan menatap ke luar jendela lagi, memperhatikan pepohonan yang kami lewati. Setelah mengemudi untuk waktu yang lama, pemandangan di luar jendela perlahan berubah dari hutan lebat menjadi rumah-rumah. Di ujung jalan, aku melihat tanda sebuah restoran. Dan tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku.

"Bisakah kita mampir ke restoran itu?" tanyaku, menggerakkan kepalaku ke arah restoran di depan kami.

"Kenapa?" Sigmund bertanya balik dengan curiga.

"Aku harus ke kamar mandi," aku berbohong.

"Kamu sudah menggunakan kamar mandi sebelum kita memulai perjalanan ini, bukan?" ujar Sigmund.

"Sebenarnya, pada waktu itu, aku tidak sempat buang air kecil karena pikiranku sibuk dengan rencana pelarianku," dalihku.

"Itu bukan salahku. Kamu seharusnya pipis daripada mencoba melarikan diri," Sigmund mengomeliku.

"Aku tahu ini salahku. Tapi tolong mampir ke restoran itu sebentar! Aku benar-benar perlu buang air kecil. Tolong!" Aku memohon.

"Tidak. Kita tidak akan berhenti untuk menggunakan toilet," dia menolak permintaanku.

Menolak untuk menyerah begitu saja, aku menemukan alibi lain, "Aku juga lapar. Aku belum makan apapun sejak sebelum kamu menculikku. "

"Seolah aku peduli," gumam Sigmund cukup keras sehingga aku bisa mendengarnya.

"Ya Tuhan, dia sangat menyebalkan!" aku menggerutu dalam hati.

"Bisakah kamu setidaknya membelikan aku sesuatu untuk diminum? Tenggorokanku terasa kering." Aku mencoba trik lain.

"Jika kamu tidak ingin tenggorokanmu terasa kering, kamu harus berhenti bicara sekarang," dia menyentak aku.

"Tolonglah!" aku memohon, "Aku tidak bisa menahannya lagi. Dan aku bisa mati kelaparan dan dehidrasi sebelum kita sampai ke rumahmu jika kamu tidak membiarkan aku makan atau minum apapun. "

Sigmund tidak mengatakan apa-apa. Dia sepertinya tengah merenungkan permohonanku sekarang. Setelah kesunyian yang cukup lama, Sigmund mengeluarkan pisau dari saku jaketnya.

Aku mulai panik. Terakhir kali aku melihatnya mengeluarkan pisau, dia akhirnya menyayat pergelangan tanganku.

"Apa yang akan kamu lakukan?" pekikku.

Dia mengabaikan pertanyaanku dan berkata, "Berbalik!"

"Ke—kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Aku bilang berbalik!" dia mengulangi perintahnya dengan marah.

Aku berbalik dengan patuh, tidak ingin membuatnya semakin marah.

Aku menggigil ketakutan ketika aku merasakan ujung tajam pisau menyentuh kulitku. Namun, alih-alih menyayat pergelangan tanganku seperti apa yang aku pikir akan dia lakukan, dia memotong tali yang mengikat pergelangan tanganku hingga terlepas.

Aku memeriksa pergelangan tanganku; memar mulai terbentuk di tanganku. Aku menggosok memar itu dengan lembut, berusaha mengurangi rasa sakitnya sedikit.

"Mampir dulu ke itu! Kita akan istirahat sebentar dan membeli sesuatu untuk dimakan putri kita," Sigmund mmemerintah sang pengemudi.

Aku bertanya-tanya mengapa dia terus memanggilku putri. Demi Tuhan aku adalah sanderanya.

"Baik, Tuanku," jawab pria di belakang kemudi.

"Terima kasih," ucapku sambil tersenyum secara terpaksa.

Dia hanya menjawab dengan anggukan singkat.

Pengemudi membelokkan mobil ke tempat parkir restoran.

Sigmund membuka kunci pintu dan menarikku keluar dari mobil bersamanya.

"Jangan mencoba hal bodoh atau kamu tidak akan menyukai konsekuensinya! Apakah kamu mengerti?" dia memperingatkan aku.

Aku mengangguk. "Oke."

Dia menoleh ke si pengemudi. "Tunggu disini!"

"Baik, Tuan," jawabnya.

"Ayo kita pergi!" Sigmund meraih lenganku dan menarikku ke depan.

Kami mulai berjalan menuju restoran. Begitu kami memasuki restoran, dia membawaku ke sebuah meja di sudut ruangan.

Setelah kami duduk, seorang wanita muda dengan seragam pelayan oranye mendekati kami. Dia memegang buku catatan dan pensil di tangannya.

"Selamat malam," dia menyambut kami dengan senyum yang ramah. "Mau pesan apa?"

"Kami pesan dua porsi ikan dan keripik dan dua botol air mineral," kataku.

Sigmund mengerutkan kening. "Dua?"

"Ya, satu untukku dan yang lain untukmu," aku menjelaskan.

"Tidak, aku tidak ingin makan apapun. Hanya satu porsi ikan dan keripik dan sebotol air untuknya," ia berbicara kepada pelayan.

Si pelayan mencatat pesanan kami. "Oke, satu porsi ikan dan keripik dan sebotol air mineral. Apakah aku benar?"

"Ya," jawab Sigmund, "Bisakah kami membawa pergi pesanan kami? Kami sedang terburu-buru."

"Tentu saja. Tunggu sebentar! Saya akan segera kembali dengan pesanan anda." Pelayan itu akan pergi, tetapi aku menahannya.

"Tunggu!" kataku.

Dia berbalik untuk menghadapku dan bertanya, "Ada apa lagi?"

"Bisakah kamu memberitahu aku di mana letak toilet wanita?" aku bertanya.

"Toilet wanita ada di sebelah sana." Dia menunjuk ke lorong di seberang meja kami.

"Terima kasih." Aku tersenyum padanya.

Pelayan itu mengangguk, berbalik lagi, lalu bergegas ke dapur.

Begitu pelayan itu menghilang ke dapur, aku berdiri dari kursiku. Tanpa diduga, Sigmund ikut berdiri.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku.

"Aku ingin mengikuti kamu ke kamar kecil," jawabnya dengan dingin.

"Tidak, kamu tidak perlu mengikuti aku. Aku berjanji tidak akan mencoba melarikan diri lagi," kataku.

"Usaha yang bagus, Putri. Tapi aku tidak percaya jika kamu pergi ke toilet sendirian," seru Sigmund.

"Baiklah. Tapi kamu harus menunggu di luar, oke?" aku menuntut.

Dia mengangguk. "Sepakat."

Aku berjalan menuju toilet wanita dengan Sigmund mengikuti di belakangku.

"Kamu punya waktu satu menit," katanya padaku ketika aku memasuki toilet wanita.

Aku membanting pintu toilet di belakangku dan menguncinya. Mataku mengamati ke sekitar kamar mandi. Aku tersenyum ketika melihat jendela di atas wastafel.

"Sempurna! Seperti yang aku harapkan," pikirku.

Aku naik ke atas wastafel dan mendorong jendela hingga terbuka, berhati-hati agar tidak membuat suara. Aku melirik ke belakang untuk terakhir kalinya sebelum mengayunkan kakiku satu demi satu, dan kemudian melompat keluar dari kamar mandi.

Aku mendarat di tanah hanya untuk melihat sepasang sepatu kulit hitam di depan wajahku. Mendongak, aku menelan ludah ketika mendapati Sigmund berdiri di hadapanku dengan ekspresi marah.

Tiba-tiba, Sigmund menarik rambutku dan memaksaku berdiri dengan kasar. "Aku selalu memperlakukanmu seperti seorang putri dan ini caramu membalasku."

"Lepaskan aku! Kamu menyakitiku," aku merintih kesakitan.

"Cukup! Aku sudah selesai bersikap baik denganmu." Dia akhirnya melepaskan rambutku, tetapi hanya untuk mengangkatk tubuhku dan melemparkanku ke atas bahunya seperti sekarung kentang. Setelah itu, dia berjalan menuju tempat parkir.

"Turunkan aku!" aku berteriak. Aku memukul punggungnya dan meronta-ronta.

Sigmund mengabaikanku dan terus berjalan menuju tempat parkir. Begitu kami mencapai mobil, dia membuka pintu belakang dan melemparkanku ke dalam mobil.

"Aduh!" aku mengerang kesakitan.

Sigmund masuk ke dalam mobil dan menutup pintu di belakangnya. Dia kemudian menarikku ke posisi duduk dan memutar lenganku di belakang punggungku. Akhirnya, dia mengambil tali yang tergeletak di lantai mobil dan mengikatnya dengan erat di pergelangan tanganku.

"Lepaskan aku!" Aku menggeliat, mencoba melepaskan pergelangan tanganku.

Sigmund memutar tubuhku dengan kasar dan tiba-tiba menutupi mataku dengan sebuah kain.

"Apa yang kamu lakukan?" aku memprotes.

"Aku tidak ingin kamu melihat kemana kita pergi sekarang," katanya.

"Kamu tidak harus melakukan ini. Aku—"

"Diam!" Dia berteriak, menyela perkataanku.

Sebenarnya, aku masih ingin berdebat dengannya. Tapi aku memilih untuk diam.

"Jalanka mobilnya!" Sigmund memerintah pengemudi.

"Bagaimana dengan makananku?" Aku tahu dia mengatakan kepadaku untuk tutup mulut tetapi aku tidak tahan untuk bertanya tentang hal itu.

"Lupakan makanannya! Kamu tidak akan makan apapun selama sisa perjalanan ini," kata Sihmund dengan marah.

Aku mengeluh, "Tapi—"

"Ini adalah hukumanmu," dia memotong ucapanku, "kamu seharusnya sudah memikirkan konsekuensinya sebelum kamu mencoba melarikan diri lagi."

"Ini tidak adil!" aku berteriak.

"Aku sarankan kamu untuk tutup mulut, Putri, atau aku harus membungkammu," dia mengancam aku.

Aku menutup mulutku.

"Itu baru gadis yang baik!" Sigmund mengacak-acak rambutku sambil terkekeh.

Aku menjauhkan kepalaku darinya dan mulai bergeser ke samping sampai lenganku menabrak pintu mobil. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela dan memejamkan mata, berharap tidur akan segera membawaku pergi dari sini.