Aku berlari secepat yang aku bisa melalui pepohonan lebat. Setelah berlari untuk waktu yang lama, aku mulai kehabisan nafas. Aku berhenti dan menyandarkan lenganku ke pohon untuk mengatur napas.
"Menurutmu, kamu mau pergi kemana, Putri?" Tiba-tiba sebuah suara bertanya, membuat bulu kudukku berdiri.
Aku melirik ke belakang melalui bahuku dan jantungku rasanya hampir copot ketika aku mendapati Sigmund berdiri di belakangku.
Tanpa pikir panjang, aku berlari lebih cepat ke dalam hutan dengan Sigmund di mengekor di belakangku.
Sesudah berlari selama beberapa menit, tiba-tiba, aku tersandung akar pohon dan jatuh ke tanah dengan keras.
"Aduh!" aku merintih kesakitan.
Pipiku terasa panas karena malu ketika aku mendengar Sigmund menertawakan aku.
"Apakah kamu sudah selesai mencoba melarikan diri?" tanya Sigmund dengan sinis.
"Belum," balasku dalam hati, tetapi aku malah mengangguk.
"Ayo. Biarkan aku membantumu!" Dia mengulurkan tangannya kepadaku.
"Tidak, aku bisa bangun sendiri," aku menolak.
"Baiklah. Terserah kamu saja." Sigmund melipat tangan di dadanya dan menyandarkan punggungnya ke sebuah pohon terdekat.
Aku berpura-pura akan berdiri, tetapi sebaliknya aku mengambil segenggam tanah dan melemparkannya ke mata Sigmund.
Sigmund mengeluarkan sumpah serapah sambil mencoba untuk mengusap kotoran dari matanya.
Mengambil keuntungan dari situasi ini, aku dengan cepat berdiri dan berlari ke dalam hutan lagi.
Namun setelah hanya beberapa detik, tiba-tiba aku menabrak dada seseorang. Aku mendongak dan mendapati Sigmund menyeringai padaku.
"Ba—bagaimana kamu melakukan itu? Ka—kamu tadi di belakangku. Ta—tapi bagaimana kamu bisa tiba-tiba muncul di hadapanku sekarang?" tanyaku dengan gagap.
Sigmund mengangkat bahu. "Anggap saja itu keahlianku!"
"Tetapi mustahil bagi manusia untuk melakukan itu," ucapku.
"Siapa bilang aku manusia?" ujar Sigmund.
"Apa maksudmu?" tanyaku kebingungan.
Sigmund tidak menjawab. Dia hanya menyeringai padaku, menunjukkan gigi-gigi depannya yang panjang dan tajam. Tunggu! Tidak, itu bahkan bukan gigi. Itu taring.
"Ka—kamu vam—vampir?" aku tergagap.
"Iya, benar," jawabnya dengan percaya diri, "Mengapa kamu pikir aku akan mencicipi darahmu jika aku bukan vampir?"
Setelah aku mendengar kebenaran tersebut, kakiku terasa sangat lemas hingga aku terjatuh dan semuanya mendadak menjadi gelap.