Luka yang ada di tubuh Binar berangsur-angsur sudah pulih. Luka di lehernya pun sudah tidak terasa sakit dan sudah sembuh. Hanya bekas lukanya saja masih terlihat samar-samar di area lehernya.
Rencana semula Adnan hanya akan tinggal beberapa hari saja di Jeju. Namun, pekerjaannya tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Banyak masalah yang benar-benar menyita waktunya.
"Sayang, sepertinya malam ini aku akan pulang terlambat." Adnan berkata pada Binar yang sedang duduk di depan meja riasnya.
Dia hanya terdiam, memikirkan cafe yang sudah dirintisnya dari nol. Meski dia tahu semua perkembangan cafe-nya itu. Dan dia pun yakin dengan kemampuan Ga Eun dalam mengurus cafe.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" bisik Adnan pada Binar.
Bisikkan itu membuat Binar tersadar dari lamunannya, dia melihat Adnan yang sudah berada tepat di belakangnya dari cermin di depannya.
"Tidak ada hal penting," jawabnya sembari melanjutkan apa yang belum terselesaikan.
Adnan memeluk Binar dari belakang, "Jangan berbohong padaku atau aku tambah hukuman untukmu!"
Binar menghela napasnya lalu berkata, "Hanya ancaman saja yang bisa kau katakan padaku hah?"
Adnan tersenyum, dia melihat wajah kesal istrinya ini. Entah mengapa dia merasa sangat menyukai wajah Binar yang sedang kesal jika tidak suka dengan apa yang dikatakan olehnya.
"Apa kau rindu dengan cafe?" Adnan kembali bertanya dengan nada menggoda.
"Iya ... Ops!" Binar menjawab.
Binar mengatakan ops karena tangan Adan yang mulai nakal menyentuh bagian dadanya. Dia berusaha melepaskan tangan Adnan dengan lembut agar suaminya itu tidak tersinggung.
"Bukankah kau harus segera pergi?" tanya Binar untuk menghindar dari tangan Adnan yang masih tidak mau melepaskannya.
"Kau selalu membuatku tidak ingin pergi," sambungnya sembari mengecup lembut pucuk kepala Binar dengan lembut.
"Ayolah selesaikan pekerjaanmu sehingga aku bisa kembali mengurus bisnisku!" Binar berkata dengan tersenyum agar Adnan benar-benar bisa melepaskannya pagi ini.
Adnan pun melepaskan tangannya lalu dia membalikkan tubuh Binar. Sehingga mereka saling berhadapan. Dia mengatakan agar Binar tidak pergi seperti hari itu tanpa izinnya.
"Ok aku janji tidak akan seperti kemarin," Binar berjanji sembari mengangkat kelima jarinya seraya bersumpah.
Tanpa mengatakan apa-apa dan dengan senyumnya, Adnan mengecup sekilas bibir Binar. Dia benar-benar tidak ingin melepaskan wanita ini. Namun, apa dayanya karena banyak hal yang harus dikerjakan olehnya saat ini.
Terdengar suara ketukan pintu kamar, juga terdengar suara Candra yang meminta izin untuk masuk. Adnan pun mengizinkan Candra untuk masuk kedalam kamar.
Pintu kamar terbuka perlahan, terlihat Candra yang sudah siap memasuki kamar. Dia berjalan dengan penuh hormat.
"Sudah saatnya kita pergi, Tuan!" ucap Candra untuk mengingatkan tuannya.
Adnan mengangguk lalu dia mengatakan pada Candra untuk menyiapkan sarapan untuk Binar sebelum pergi ke perusahaan. Karena dia tidak bisa sarapan bersama istrinya itu.
"Jangan pikirkan aku! Kau pergi saja, aku bisa meminta itu pada juru masak," kata Binar karena dia tidak ingin merepotkan Candra yang sudah siap akan pergi bersama Adnan.
Candra tersenyum, dia mengangguk tetapi sebelum dia pergi sudah mengatakan pada koki untuk menyiapkan sarapan untuk Binar.
"Apa dia sudah mengaku?" Adnan bertanya pada Candra tentang pria yang menyerang Binar.
"Dia cukup keras kepala! Itu menandakan dia orang yang benar-benar kepercayaan seseorang," Candra menjawab sembari terus berjalan mengikuti langkah Adnan.
"Sore ini aku ingin melihatnya!" ungkap Adnan lalu memasuki mobilnya. Mobil pun berjalan meninggalkan rumah menuju perusahaan.
Binar yang masih berada di dalam kamar berniat untuk keluar untuk sarapan. Namun, sebelum dia membuka pintu kamar, terdengar ketukan pintu.
Dia pun membuka pintu kamarnya dan melihat sudah ada seorang pelayan yang membawakan sarapan untuknya.
"Mengapa kau membawanya kemari? Aku berniat untuk menyantapnya di luar," ucap Binar pada pelayan itu.
"Jika, Nona mau menyantapnya di luar saya akan membawanya ke tempat yang Anda inginkan," jawab pelayan itu dengan penuh hormat.
"Bawalah ke gazebo," perintah Binar dengan lembut karena dia melihat sebuah gazebo dan ingin menikmati sarapannya di sana.
"Baik, Nona." Pelayan itu menjawab lalu dia berjalan menuju gazebo.
Binar mengikuti langkah pelayan itu sebab dia belum hafal tentang rumah yang sangat luas ini. Dia sendiri tidak tahu jika Adnan memiliki rumah di Jeju. Masih banyak rahasia yang belum terungkap tentang suaminya itu.
Taman yang sangat indah, udaranya masih terasa sangat segar. Binar duduk di sebuah kursi di dalam gezebo. Pelayan itu pun menata makanan dan minuman di atas meja.
"Selamat menikmati sarapan Anda, jika Nona membutuhkan saya bisa menekan tombol ini." Pelayan itu berkata. Binar mengangguk lalu dia pamit undur diri.
Dia menikmati suasana di pagi ini dengan perasaan tenang. Tanpa menyadari jika ada seseorang yang selalu memperhatikannya dari kejauhan. Orang itu selalu bisa menemukan di mana saja dia berada.
Binar selesai dengan sarapannya, ponselnya berdering. Dia melihat ke layar ponsel siapa yang menghubunginya.
"Nomor siapa ini?" gumamnya sembari mengerutkan dahinya.
Merasa ragu untuk mengangkat ponselnya, dia pun mengabaikan panggilan tersebut. Namun, ponselnya selalu berdering dan itu sangat mengganggu.
Pada akhirnya dia mengangkat telepon yang selalu mengganggunya.
"Hallo," sapanya pada orang di seberang telepon.
Binar menunggu jawaban dari orang yang menghubunginya. Akan tetapi, tidak ada suara sama sekali. Dia menunggu sejenak untuk memberikan kesempatan pada orang di seberang telepon.
"Hallo ... Jika tidak mau bicara jangan hubungi aku! Itu sangat mengganggu!" ujarnya dengan nada kesal pada seseorang yang berada di seberang telepon.
"Jangan di tutup!" terdengar suara seorang pria dari seberang telepon.
Mendengar suara seorang pria yang tidak dikenal, Binar berusaha untuk mengingat kembali dengan suara pria itu. Namun, dia sama sekali belum pernah mendengar suaranya.
"Siapa kau?!" tanya Binar pada pria yang ada di seberang telepon.
Pria itu tidak mengatakan siapa dirinya, dia hanya mengatakan semua maksudnya. Dia menginginkan bertemu dengan Binar tanpa dikuti oleh pengawal.
Binar merasa tidak perlu untuk bertemu dengan pria itu. Dia pun menolak untuk bertemu karena dia tidak mengenalnya sama sekali.
Terdengar nada ancaman dari pria itu, jika Binar tidak mau bertemu dengannya. Maka akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan dirinya.
Sudah geram dengan ancaman pria yang tidak dikenalnya itu, Binar menutup sambungan teleponnya. Ponselnya kembali berdering dan nomor yang menghubunginya adalah nomor yang sama.
Sudah lelah dengan semua itu, Binar pun mematikan daya ponselnya lalu berjalan memasuki rumah dengan hati kesal. Dia tidak tahu siapa pria itu dan mengapa ingin bertemu dengannya.
Tanpa menghiraukan seorang pelayan yang memberi hormat padanya, Binar berjalan dengan kekesalan menuju kamarnya.
"Siapa dia? Berani sekali mengancamku!" merutuk.