Binar terbangun di pagi hari dengan seluruh tubuhnya terasa nyeri. Semalam dia tertidur karena kelelahan menangis dan menerima permainan kasar Adnan yang tidak bisa dihindari lagi.
Dia tidak menyangka jika Adnan yang menikah dengannya bisa memiliki sisi gelap seperti ini. Ditatapnya Adnan yang masih terlelap di sampingnya, perlahan Binar beranjak dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Dalam kamar mandi ada sebuah cermin, menatap dirinya lewat cermin itu. Tubuhnya penuh dengan luka yang ditinggalkan oleh Adnan semalam.
Rasa sedih menyeruak dalam hatinya, dia berjalan ke arah shower lalu memutar keran shower. Bulir-bulir air yang keluar dari shower menetes pada tubuhnya.
Rasa perih akibat luka yang terkena oleh air shower ditahannya. Namun, dia sungguh kecewa dengan apa yang dilakukan olehnya Adnan.
Pada akhirnya dia pun menangis, meski menahan agar suaranya tidak terdengar hingga keluar. Membersihkan seluruh tubuhnya dengan sabun lalu membasuhnya dengan air.
"Hentikan tangisanmu Binar Cavalli—kau bukan wanita lemah!" Binar berkata sembari menghapus air matanya dan mengeringkan tubuhnya.
Dengan menguatkan hati dia membuka gagang pintu kamar mandi, membuka pintunya lalu berjalan keluar. Dia berpikir jika Adnan sudah terbangun tetapi apa yang dipikirkannya salah. Karena Adnan belum terbangun dari tidurnya.
Binar bergegas menuju sebuah ruangan yang ada di dalam kamar. Dia mengambil pakaian yang bisa menutupi semua jejak yang ditinggalkan oleh Adnan. Selesai berpakaian dia duduk di depan meja rias, melihat wajahnya dengan saksama.
Diambilnya perlengkapan untuk merias wajahnya, dia menutupi sembab di area matanya. Dalam benaknya dia tidak ingin memperlihatkan semua kesedihan karena perlakuan Adnan.
Meski tidak terlihat sempurna caranya menutupi kesedihannya. Dia beranjak dari duduknya lalu berjalan perlahan keluar dari kamar.
Binar terpaku saat melihat Candra sudah ada di depan pintu. Meski dia sudah menutupi sembab di daerah matanya. Namun, Candra masih bisa melihatnya dengan jelas.
"Bawakan sarapanku ke gazebo!" perintah Binar pada Candra lalu berjalan melewatinya begitu saja.
Candra hanya menatap kepergian Binar, dia melihat sekilas ke arah dalam. Di mana Adnan masih terlelap, dia tahu jika sisi gelapnya sudah muncul maka Adnan bisa tertidur dalam jangka waktu yang lama.
Dia menutup kembali pintu kamar dengan rapat, Candra berjalan menuju pantry untuk memerintahkan koki menyiapkan sarapan untuk Binar yang sudah berada di gazebo. Dan menyuruh para pelayan untuk tidak masuk kedalam kamar Adnan.
"Silakan, Nona."
Pelayan itu berkata setelah meletakan semua menu makanan dan minuman di atas meja. Dia pergi setelah melihat Candra datang mendekat dan memberi tanda untuk pergi.
"Ada yang ingin kau katakan padaku?!" tanya Binar yang melihat Candra berdiri tegap di hadapannya.
Binar menunggu Candra mengatakan apa yang ingin dibicarakan sembari menyantap menu yang sudah tertata rapi di atas meja.
"Maafkan saya, Nona...," kata Candra sembari membungkukkan tubuhnya.
"Untuk apa kau minta maaf? Apa kau melakukan kesalahan padaku?" Binar kembali bertanya padanya dengan nada dingin meski sebenarnya dia ingin menghajar orang di depannya itu.
"Semua itu salah saya ... Sehingga sisi gelap Tuan Adnan muncul," imbuh Candra.
"Duduklah dan ceritakan padaku!" perintah Binar pada Candra.
Candra menghela napasnya, mungkin ini adalah saatnya dia menceritakan semuanya pada Binar. Semua penderitaan yang diterima Adnan semasa kecil yang menumbuhkan sisi gelapnya.
"Kau mau cerita atau diam saja?" tukas Binar yang sedari menunggu Candra bicara.
Candra kembali menghela napasnya, dia pun mulai menceritakan semuanya pada Binar. Sebenarnya dia sudah sejak lama mengenal Adnan.
Bahkan mereka berteman semenjak masih kanak-kanak, Candra adalah putra dari asisten ayahnya Adnan. Itu sebabnya dia memilih untuk selalu ada di sisi Adnan.
Semasa kecil Adnan mendapatkan perlakuan buruk dari ibunya. Sehingga sedikit demi sedikit kegelapan mulai menyelimutinya. Dia menjadi seperti itu jika sisi gelapnya muncul.
"Dan Nona harus ingat jangan sekali saja mengatakan jika tuan adalah seorang iblis. Jika tuan mendengar itu maka dia tidak bisa mengontrol emosinya," ungkap Candra.
"Jadi itulah sebabnya...," Binar berkata sembari menatap ke arah bunga mawar merah yang sedang bermekaran.
"Saya harap Nona tidak meninggalkan tuan, saya mohon jadilah penerang bagi tuan karena hanya Nona yang bisa menghilangkan kegelapan di dalam hati tuan. Saya mohon," permintaan Candra pada Binar.
Ponsel Candra berdering, dia meminta izin untuk mengangkat teleponnya. Binar mengangguk seraya mengizinkan dia untuk pergi. Dia pun beranjak dari duduknya lalu berjalan meninggalkan Binar.
Apakah yang dikatakan oleh Candra benar adanya, jika Adnan sudah mengalami begitu banyak penderitaan semenjak dia kecil. Bahkan penderitaan itu disebabkan oleh ibunya sendiri.
Seorang ibu yang biasanya akan mengorbankan dirinya demi kebahagiaan anaknya. Apakah akan sanggup membuat menderita anaknya sendiri. Itulah yang menjadi masalah dalam benak Binar.
Binar sudah selesai dengan sarapannya, dia memutuskan untuk kembali kedalam kamar. Melihat kembali keadaan Adnan, apakah masih tertidur apa sudah bangun.
Dia memberanikan dirinya untuk melihat pria yang sudah membuatnya kesakitan dan merasa terhina. Dengan semua perlakuannya semalam. Namun, dia kembali terpikirkan oleh cerita Candra tentang penderitaan Adnan semenjak kecil.
Langkah kakinya terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Dia kembali ragu dengan dirinya, apakah dia akan masuk atau tidak. Bagaimana jika Adnan masih dikuasai oleh sisi gelapnya.
Apakah dia akan melakukan hal yang terjadi semalam. Binar menarik napasnya dengan panjang lalu mengembuskannya dengan pelan. Tangannya memegang gagang pintu kamar, perlahan dia membuka pintu kamarnya.
Adnan masih tertidur, Binar melangkah mendekat secara perlahan. Dia tidak ingin membangunkan Adnan, ditatapnya wajah Adnan yang masih terlelap. Wajahnya terlihat tenang dikala terlelap seperti ini.
"Apa kau begitu menderita? Sehingga menumbuhkan sisi gelap yang bisa membuatmu hilang kendali,"
Rasa iba muncul di hati Binar, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Dia membutuhkan sedikit waktu untuk mencerna semuanya.
Binar menyentuh rambut Adnan yang menutupi matanya. Disibakkannya rambutnya dengan lembut lalu kembali menatapnya penuh dengan perasaan yang tidak menentu.
Dia mengenal napasnya lalu menarik tangannya, dia bermaksud untuk mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas.
"Jangan pergi," Adnan berkata dengan suara serak sembari memegang tangan Binar.
"Aku hanya akan mengambil ponselku," jawabnya dengan lembut.
Adnan menarik tangan Binar dengan kuat, sehingga Binar terperosok kedalam pelukannya. Binar terdiam sejenak, dia tidak ingin melawan karena hatinya masih memikirkan semua penderitaan yang pernah dirasakan Adnan dulu.
Pelukan Adnan semakin erat, tangannya menyentuh dagu Binar lalu menaikkannya sehingga dia dengan bebas mencium bibirnya dengan lembut.
Ciuman yang lembut itu membuat Binar terhanyut, sehingga dia melupakan apa yang sudah terjadi semalam. Matanya membulat tatkala tangan Adnan menyentuh bagian dadanya.
Binar kembali teringat akan perlakuan Adnan semalam. Rasa takut mulai menerpanya, dia takut jika Adnan melakukan hal yang sama seperti semalam.
Dia menghentikan ciuman dan pergerakan tangan Adnan dengan lembut agar tidak membuatnya tersinggung.
"Kita lanjutkan nanti—aku ingin ke toilet dulu," kata Binar dengan lirih dan ada rasa takut di setiap kata yang keluar dari bibirnya.