Adnan melihat Binar yang berjalan keluar dari kamar mandi. Menatapnya sekilas, ada keraguan dalam dirinya. Apakah harus membicarakan padanya atau tidak. Dia menghela napas.
"Duduklah," ujar Adnan pada Binar.
Binar menatap Adnan sekejap, dia merasa jika pria yang sedang duduk di atas sofa itu sedang memikirkan sesuatu. Dia pun berjalan perlahan menghilangkan sedikit rasa takut dalam dirinya.
Dia duduk tepat di samping Adnan, menunggu apa yang hendak dikatakan olehnya. Namun, perutnya mulai meronta ingin melahap semua makanan yang sudah tertata rapi di atas meja, tepat di hadapannya.
"Kamu lapar?" tanya Adnan pada Binar, "makanlah dulu setelah itu aku akan mulai bicara."
"Apa boleh?" tanya balik Binar sembari menunjuk makanan di atas meja.
Entah mengapa rasa waspada terhadap Adnan menipis tatkala dia melihat makanan yang menggugah itu. Semua makanan terasa lekat di matanya, air liurnya seperti hendak menetes.
"Hentikan wajah imutmu itu! Cepat makan!" imbuh Adnan yang sebenarnya tidak tahan untuk langsung menyerangnya dengan kecupan.
Namun, dia melempar semua yang ada dalam pikirannya. Karena Adnan tidak ingin membuat Binar semakin takut akan dirinya. Dan juga dia memberikan sedikit waktu padanya sesuai dengan permintaanya tadi.
Binar pun langsung menyantap makanan dengan lahap. Jiwa cueknya kembali muncul sehingga dia tidak peduli jika ada orang yang memperhatikan gaya makannya yang seperti seorang gadis cilik.
"Makan pelan-pelan saja," kata Adnan sembari menghapus noda di ujung bibir Binar dengan lembut.
Tanpa banyak kata, Binar langsung menyiapkan satu sendok makanan kedalam mulut Adnan. Di terkejut dengan apa yang dilakukan olehnya. Mengapa dirinya bisa melakukan hal seperti ini, wajahnya sedikit memerah lalu dia memalingkan wajahnya dan berusaha bersikap sewajarnya.
"Kau selalu membuatku tidak bisa mengontrol diriku!" Adnan berbisik di telinga Binar lalu meniup daun telinganya dengan pelan.
"Siapa yang menggoda? Kamu terlalu percaya diri saja!" timpal Binar sembari berusaha untuk meningkatkan tingkat kewaspadaannya.
Adnan mendekatkan dirinya pada Binar dengan perlahan. "Selesaikan makannya, setelah itu minum obat palsu istirahat."
Sebenarnya dia ingin menyerang Binar dengan kecupan dan pelukan hangat. Namun, dia kembali teringat akan perkataan Binar tadi untuk memberinya waktu.
Dia takut jika dirinya terlalu memaksakan kehendaknya. Maka Adnan akan kehilangan Binar untuk selama-lamanya. Itulah yang tidak diinginkan olehnya karena dia sangat mencintai Binar.
Binar selesai menyantap semua makan yang disiapkan tadi. Dia menatap Adnan yang sedang melamun, entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Aku sudah selesai," ucap Binar terapi Adnan tidak merespons.
Dia memegang pundak Adnan pelan, sehingga membuat Adnan tersadar dari lamunannya.
"Ada apa?" tanya Binar.
"Tidak ada apa-apa, kau sudah selesai?" jawabnya sembari dibarengi dengan pertanyaan.
"Sungguh? Jika ada yang ingin kamu ingin katakan ya katakan saja," timpal Binar.
"Baiklah aku akan menceritakan pengalaman yang membuatku menjadi seperti iblis," ungkapnya.
Namun, sebelum memulai menceritakannya terdengar suara ketukan pintu. Adnan menyuruhnya masuk, pintu kamar terbuka. Betapa terkejutnya Binar tatkala melihat siapa yang berjalan masuk.
"Apa aku mengganggumu, Ayah?" Marcello berkata dengan santainya sembari melihat ke arah Binar.
"Ada apa kau kemari?" Adnan tidak menjawab pertanyaannya melainkan melayangkan pertanyaan baru padanya.
"Aku ingin bicara sebentar dengan Binar," jawabnya tanpa ada rasa canggung.
"Untuk apa? Karena tidak ada yang perlu dibicarakan langsung lagi!" timpal Binar dengan nada dingin.
"Bi ... Masih banyak yang harus kita bicarakan lagi, aku mohon Bi...," balas Marcello dengan memohon.
Binar sudah tidak tahan dengan apa yang diucapkan oleh Marcello. Dia beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju balkon untuk menghirup udara segar.
"Kau membuatku muak!" tukas Binar sembari berjalan.
Adnan hanya diam, dia menahan emosinya yang sudah tak tertahankan. Kepalan tangannya semakin kuat, itu tanda darahnya sudah mendidih.
"Apa belum cukup? Dia adalah istriku bukan kekasihmu!" ucap Adnan dengan nada dingin.
"Meski dia istrimu tetapi dia masih sangat mencintaiku," sambungnya.
"Pergi dari kamarku! Jika tidak aku bisa menghabisimu!!" Adnan berkata dengan penekanan.
Marcello merasa aura yang dikeluarkan oleh Adnan sudah berbeda. Bukan takut dengan Adnan sudah geram. Namun, dia merasa senang karena dia akan membuat sesuatu yang membuat Adnan melepaskan Binar untuk selama-lamanya.
"Aku akan keluar tetapi dalam beberapa hari ini aku akan tinggal di rumah!" katanya sembari berjalan keluar dari kamar.
Bug! Dengan sekuat tenaga Adnan memukul dinding dengan sangat kerasnya. Sehingga terluka, darah segar mengalir dari tangannya. Semua itu tidak di sadari olehnya.
Dia berjalan menuju balkon, dia melihat seorang wanita yang sedang berdiri memandangi langit. Hanya ada bulan tanpa bintang.
Adnan mendekap lembut Binar dari belakang, Binar sedikit terkejut tetapi dia bisa mengetahui jika yang mendekapnya itu adalah Adnan.
"Masuklah dia sudah pergi," bisiknya pada Binar.
Binar terdiam sejenak lalu dia menyadari jika tangan yang memeluknya itu meneteskan darah. Dengan cepat dia melepaskan pelukan Adnan.
"Apa ini? Apa yang terjadi? Kalian berkelahi? Untuk apa kau berkelahi dengannya?" pertanyaan bertubi-tubi dilayangkan oleh Binar sembari menyentuh tangan Adnan yang berdarah.
"Kau mengkhawatirkan aku, Sayang?" tanya Adnan dengan lirih dan senyum yang merekah.
Adnan senang dengan reaksi yang Binar perlihatkan padanya. Dia mengira jika Binar akan melepaskan pelukannya lalu pergi meninggalkan dirinya dengan artian dia menghindar.
"Cepat katakan apa yang sudah terjadi? Apakah ini terasa sakit" Binar kembali bertanya pada Adnan dan tidak menjawab pertanyaan Adnan yang tadi.
"Tidak sakit, karena kau telah menyembuhkannya." Jawabnya.
Binar menarik tangan Adnan lalu berjalan memasuki kamar. Dia menyuruh Adnan untuk duduk di atas tempat tidur. Sedangkan di berjalan menuju almari guna mengambil kotak obat.
Kotak obat sudah ada di tangan, Binar kembali berjalan mendekat pada Adnan. Dia duduk tepat di samping Adnan, membuka kotak obat itu lalu mengambil botol obat untuk mengobati luka di tangan Adnan.
Tangan Adnan secara refleks hendak tertarik karena perih yang di rasa.
"Apa terasa sakit?" Binar bertanya dengan lembut sembari mengecup lengan di sekitar luka.
Adnan hanya menatap Binar dengan lekat, dia begitu sangat mencintai wanita yang ada di hadapannya itu. Tidak ada niatan untuk meninggalkannya.
Binar selesai mengobati luka Adnan lalu membalutnya dengan perban. Dia beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju almari untuk menyimpan kotak obat.
Ponsel Binar berdering, Adnan yang melihatnya di atas nakas berniat untuk mengambil ponselnya. Dia melihat nomor tidak dikenal, Binar langsung mengambil ponselnya lalu melihat nomor yang tertera di layar ponsel.
"Dia lagi," gumamnya sembari mematikan ponselnya.
"Siapa dia?" tanya Adnan penuh rasa ingin tahu.
"Aku tidak tahu. Dia selalu ingin bertemu denganku dan selalu mengancamku," jawabnya.