Hari semakin malam, Binar belum bertemu dengan Adnan setelah peristiwa tadi pagi. Entah apa yang sudah terjadi padanya.
"Di mana, Adnan?" tanya Binar yang melihat Candra sedang berjalan.
Candra menghentikan langkahnya lalu mendekat, "Tuan, pergi untuk beberapa hari dan juga meminta maaf karena tidak bisa berpamitan pada, Nona."
"Kau pasti tahu di mana, Adnan?" Binar kembali bertanya.
"Maaf jika saya lancang, sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan hubungan Anda dan tuan?" Candra balik bertanya.
"Tidak ada!" jawab Binar sembari memalingkan wajahnya. Dia selalu melakukan itu jika sedang berbohong.
Binar pun melangkah meninggalkan Candra karena dia tahu tidak akan berhasil mengorek informasi darinya. Namun, dia menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Kirim dua pengawal wanita untuk berjaga di depan kamarku! Aku tidak ingin ada yang masuk bebas selain Adnan!" perintah Binar pada Candra.
Tanpa mendengar jawaban dari Candra Binar melanjutkan langkahnya menuju kamar. Sembari berpikir ke mana Adnan pergi.
Binar berpapasan dengan Marcello, dia sudah sangat kesal dengan apa yang dilakukan oleh Marcello.
"Candra, itu juga termasuk dia!" teriak Binar pada Candra yang masih berdiri di posisinya tadi.
Candra mengerti maksud dari Binar, dia menatap dengan penuh selidik terhadap Marcello. Mungkin ini adalah alasan Adnan untuk menyendiri.
"Apa yang kau lihat?!" tukas Marcello pada Candra.
"Hentikan semua rencanamu! Karena aku tidak akan membiarkan dirimu menghancurkan kebahagiaan, Tuan Adnan! Jika kau masih bersikeras aku akan menghabisimu dengan tanganku sendiri!" saran Candra dengan nada mengancam.
"Kau ... jaga perkataanmu! Aku adalah Marcello Raymond!" pekik Marcello yang kesal dengan apa yang dikatakan oleh Candra.
"Iya. Kau adalah Marcello Raymond tetapi yang memiliki kuasa adalah Adnan Raymond!" balas Candra dengan tegas sembari berjalan meninggalkannya.
"Sialan kau, Candra!" gerutunya sembari berjalan keluar dari rumah.
Dengan wajah dan hati kesal Marcello mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sekarang yang dibutuhkannya adalah menenangkan diri untuk mencari langkah berikutnya.
Ponselnya berdering, dia menghentikan mobilnya lalu melihat pada layar ponsel siapa yang menghubunginya. Tertera nama Belva, sebenarnya dia tidak ingin berhubungan kembali dengan Belva.
Dia mengabaikannya, Belva pun memberinya pesan singkat. Dan mengatakan jika saat ini ada orang yang tak dikenalnya sedang berdiri di depan pintu.
Marcello pun segera menghubungi Belva dan menyuruhnya untuk tidak membuka pintu sebelum dia datang. Setelah mengatakan itu, dia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah Belva.
Selama di Jeju, Belva menyewa sebuah rumah untuk ditinggalinya. Dia menginginkan hidup yang tenang dengan semua kegiatannya.
Tidak begitu lama, Marcello tiba tepat di rumah Belva. Dia keluar dari mobil dan melihat sekeliling, tidak ada orang yang mencurigakan sama sekali.
Dia menekan bel rumah, Belva melihat dari layar yang menempel di dinding dekat pintu. Senyumnya merekah tatkala melihat Marcello sudah ada di depan pintu.
Belva mulai memasang raut wajah ketakutan lalu membuka pintu rumahnya. Tanpa berkata apa-apa dia langsung memeluk Marcello.
"Untunglah kamu datang jika tidak aku akan merasa ketakutan semalaman ini," paparnya dengan nada sedih.
"Ayo kita masuk," kata Marcello sembari melepaskan pelukannya.
Marcello merangkul Belva lalu berjalan memasuki rumah. Pintu tertutup sangat rapat, sehingga tidak memungkinkan orang untuk masuk kedalam.
"Kau mau minum apa?" tanya Belva dengan lembut.
"Apa saja," jawabnya singkat.
Belva pun berjalan menuju pantry sedangkan Marcello duduk dibatas sofa. Dia masih memikirkan rasa kesal akibat perkataan Candra.
Dia merasa jika Candra tidak menghormatinya, yang di hormatinya hanya satu orang yaitu Adnan. Marcello mengepalkan tangannya mengadakan rasa kesal yang begitu memuncak.
Belva berjalan dari pantry, dilihatnya Marcello yang kesal. Ini pasti karena Binar, itulah yang ada dalam benak Belva saat ini.
"Apa yang kau pikirkan?" Belva bertanya sembari meletakan dua buah botol minuman di atas meja.
"Aku sangat kesal dengan Candra! Andai saja aku memiliki kekuasaan maka akan aku habisi dia!" tukas Marcello.
"Tenangkan dirimu, jangan menghadapi semuanya dengan emosi. Jika kamu emosi maka akan terlihat kelemahanmu," ungkap Belva sembari membelai lembut paha Marcello.
Marcello menatap kedua mata Belva, dia melihat wanita yang selalu ada di dekatnya. Tidak pernah berkata sinis atau mengusirnya.
"Andai saja lebih dulu bertemu denganmu, mungkin aku akan mencintaimu." Ungkap Marcello sembari menyentuh pipi
"Kamu bisa mencobanya sekarang, cobalah membuka hatimu untukku." Balas Belva.
"Aku tidak tahu apakah bisa," imbuhnya sembari memantap wajah Belva.
Belva tersenyum, dalam benaknya inilah waktu baginya untuk merebut hati Marcello. Dia pun berkata jika cinta Marcello tidak sebesar cinta Binar padanya.
Dia tahu dengan pasti bagaimana sifat Binar, yang tidak akan mudah melupakan cinta pertamanya. Karena Marcello adalah cinta pertama bagi Binar. Dan sekarang dirinya akan merebut itu dari Binar Chavali.
Tanpa ada keraguan Belva beranjak lalu duduk dibatas pengakuan Marcello. Dengan senyum lembut dia menatap Marcello, diperlihatkanlah sisi yang begitu baik seperti seorang wanita yang sangat mencintainya.
Marcello menatap lekat wajah Belva, dia kembali berpikir apa yang dikatakan olehnya. Untuk mencoba membuka hatinya, apakah itu harus dilakukan atau tidak.
Perlahan bibir Belva mulai mendekat dan akhirnya dia mencium sekilas bibir Marcello. Saat dia hendak melepaskan ciumannya, tangan Marcello menyentuh tengkuk lehernya. Sehingga Belva tidak melepaskan ciumannya.
Kedua lidah mereka saling bertautan di dalam rongga mulut. Permainan mereka semakin memanas, baik lidah atau tangan semuanya bekerja untuk saling memuaskan hasrat.
Suara dering ponsel Marcello berdering, dia hendak mengabaikannya. Namun, dering ponselnya terus saja berbunyi dan itu sangat mengganggu. Dia menghentikan permainannya lalu mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
Tertera nama Binar di layar ponselnya, ada rasa terkejut tetapi senang. Karena Binar menghubunginya dengan cepat dia menyuruh Belva untuk turun dari pangkuannya.
Belva penasaran siapa yang menghubungi Marcello dan mengganggu kesenangannya. Marcello beranjak dari duduknya lalu mengangkat telepon.
"Halo Bi...," ucapnya setelah mengangkat telepon.
Mendengar nama Bi, Belva sangat kesal mengapa Binar selalu mengganggu kesenangannya. Sejak dulu hingga sekarang dia selalu menjadi penghalang.
Marcello terus memanggil-manggil nama Binar tetapi tidak ada jawaban. Belva semakin kesal dibuatnya, dia berjalan mendekat pada Marcello.
"Mungkin Binar hanya menggodamu saja," bisiknya sembari memeluk Marcello dari belakang.
"Bi ... Ada apa Bi? Ayo jawab?" ucap Marcello, tetap saja Binar tidak menjawab.
"Aku harus pergi!" kata Marcello sembari menutup sambungan teleponnya.
"Tunggu, Marcello!" panggil Belva yang melihatnya pergi.
Marcello melepaskan kedua tangan Belva yang melingkar di tubuhnya. Tanpa mengucapkan kata lagi dia pergi meninggalkan rumah Belva.
"Sialan kau Binar!!" pekiknya setelah kepergian Marcello sembari melempar sebuah gelas yang ada di atas meja.